Zakat dan Solidaritas Sosial
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D.
RAMADAN tahun ini memiliki makna yang spesial karena kita telah mengalami masa pandemi covid-19 dan menyelesaikan hajatan demokrasi lima tahunan Pemilu 2024.
Puasa sesungguhnya tidak sekadar menahan lapar dan dahaga yang dirasakan pada siang hari, tetapi juga bagaimana setiap muslim mampu menyukseskan ibadah sosial mereka secara paripurna, yaitu mampu membangun empati sekaligus solidaritas antarsesama tanpa membedakan status sosial.
Pelajaran penting puasa ialah solidaritas sosial untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan. Praktik puasa yang dilakukan bersama-sama selama Ramadan menghasilkan ikatan yang kuat di antara umat muslim dan umat lain yang berbeda agama.
Sedekah kepada sesama, terutama kepada duafa (orang-orang tidak mampu), menjadi acuan bahwa yang dimiliki setiap orang ialah bagian hak orang lain, bukan milik absolut individu. Hubungan vertikal dengan Tuhan dan relasi horizontal dengan manusia mendorong peduli untuk berbagi.
Hal sederhana dalam hal itu dipraktikkan melalui berbuka puasa (iftar) bersama. Bahkan, diriwayatkan dalam suatu hadis, memberi makan berbuka bagi yang berpuasa mendapat pahala setimpal dengan yang berpuasa (HR Tirmidzi). Di sinilah keagungan ibadah individu puasa sekaligus mengandung dimensi sosial.
Memberi (giving) dalam Islam menjadi fondasi utama. Pahala ibadah yang menempati solidaritas paling utama itu membangun egalitarianisme. Zakat, infak, dan sedekah menempati tempat yang mulia. Lewat ketiga ibadah tersebut, terjadi perputaran harta dan distribusi di masyarakat. Ajaran zakat itu juga mendorong terjadinya keadilan bagi semua kelas sosial masyarakat.
Dalam surah Al-Hasyr ayat 7 dijelaskan, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang kaya saja di antara kamu”. Oleh karena itu, individualiasme dilarang dalam Islam karena menimbulkan egoisme individu yang berdampak pada ketimpangan sosial.
Komponen zakat mencakup berbagai harta yang bertumbuh dan memiliki nilai ekonomi di masyarakat untuk disalurkan kepada mereka yang fakir miskin. Karena itu, memberi haruslah yang terbaik, bukan yang cacat atau buruk.
Uniknya, pengelolaan zakat ditekankan secara institusional, bukan secara individual diberikan langsung ke perorangan. Pendekatan itu mengajarkan penguatan solidaritas sosial akan tumbuh ketika ada sistem yang baik dalam pengumpulan dan pendistribusiannya
Nilai agung konsep itu ialah menghilangkan rasa inferioritas penerima dan superioritas pemberi. Pemberi bertindak melakukan kewajibannya, demikian juga penerima (mustahik) berhak atas hasil pengumpulan zakat. Membayarkan zakat, infak, atau sedekah mengandung perpaduan antara kedermawanan dan tanggung jawab yang harus ditunaikan karena di situ ada hak orang lain.
Manajemen modern zakat itu dijelaskan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 60, yaitu disalurkan kepada delapan kelompok penerima zakat, salah satunya pengelola zakat. Inti ajaran zakat itu ialah pengelolaan secara kelembagaan diharuskan untuk mendorong solidaritas dan keadilan sosial di masyarakat.
Penulis merupakan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Artikel ini telah dimuat di Media Indonesia pada 15/3/2024)