Visi Pembebasan Alquran
Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia
Alquran merupakan bacaan paling sempurna sekaligus merupakan mukjizat terbesar sepanjang masa. Bagaikan berlian, dari setiap sudutnya, Alquran memancarkan kilauan indah yang mengagumkan. Sebagai Kitab Suci terbuka, Alquran merupakan jamuan Allah (ma’dubatullah) paling istimewa yang berfungsi sebagai petunjuk, pemandu jalan kehidupan, cahaya terang yang menyinari dan menginspirasi manusia, sekaligus pembeda kebenaran dari kebatilan (QS al-Baqarah/2:185)
Visi utama Nuzul al-Quran adalah liberasi (pembebasan) dan transformasi kemanusiaan (humanisasi). Alquran membebaskan masyarakat jahiliyah yang berakidah dan berakhlak rusak, tidak berperadaban dan tidak berkeadaban menjadi masyarakat berperadaban dan berkeadaban luhur. Selama 23 tahun mengemban misi profetik di Mekkah dan Madinah, Nabi Muhammad SAW sukses membumikan Alquran dengan agenda pembebasan kemanusiaan.
Visi pembebasan Alquran dari kegelapan kemanusiaan menuju cahaya iman, ilmu, dan amal kebajikan (QS al-Maidah [5]: 16) merupakan solusi dan energi positif untuk perubahan menuju masyarakat berakidah tauhid, beribadah secara benar, bermuamalah secara baik, dan berakhlak mulia. Alquran memang diturunkan bukan untuk membuat hidup manusia susah dan menderita (QS Thaha [20]:2), tetapi diturunkan sebagai rahmat, penawar, dan solusi berbagai persoalan hidup manusia (QS al-Isra’ [17]: 82).
Dalam al-Mu’jizah al-Qur’aniyyah, Said Nursi menyatakan bahwa Alquran merupakan mentari hakikat yang cahayanya tak akan padam dan sinarnya tak mungkin dilenyapkan. Alquran merupakan pilar maknawi Islam, peta suci bagi alam ukhrawi, ucapan penjelas, penafsir yang terang, argumen yang kuat, dan penerjemah yang cemerlang bagi Dzat, sifat, nama, dan eksistensi Allah SWT. Ia merupakan hikmah hakiki bagi kemanusiaan dan pemandu jalan menuju kebahagiaan.
Menyentuh Hati
Penurunan Alquran secara gradual (bertahap) selama kurang lebih 23 tahun merupakan masa liberasi dan transformasi kemanusiaan yang didukung oleh strategi dakwah dan sistem pendidikan berbasis keteladanan profetik. Dalam konteks ini, Nabi SAW tidak hanya berperan sebagai penyampai wahyu, tetapi juga berfungsi sebagai figur teladan panutan umat. Perlahan tapi pasti, Alquran mencerahkan pikiran, menyentuh hati, dan membumi. Kebenarannya diimani; pesan-pesan moralnya mempribadi dan membentuk gaya hidup Qurani.
Ayat-ayat Alquran yang diyakini kaya nilai dan menyentuh hati itu menginspirasi umat manusia lintas suku bangsa, bahasa, budaya, dan lintas generasi. Karena digerakkan iman yang kuat, umat Islam belajar memahami dan mengamalkan pesan-pesan Alquran untuk pembebasan dan perubahan sosial kemanusiaan. Selama 13 tahun berdakwah di Mekkah, Nabi SAW membebaskan masyarakat dari “teologi politeisme” (syirik) dengan akidah tauhid yang lurus dan benar.
Ayat-ayat tentang peneguhan akidah tauhid, pengenalan iman kepada kehidupan akhirat, adanya surga dan neraka, pemberian ganjaran dan ancaman, dan pembentukan akhlak mulia banyak mewarnai turunnya ayat periode Mekkah. Visi pembebasan ini sarat pesan bahwa membangun bangsa harus dimulai dengan mereformasi sistem teologi (akidah) dan moral terlebih dahulu sebelum membangun aspek lainnya.
Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur dan ekonomi (fisik dan materi) tanpa pembangunan SDM yang berakidah kuat dan berakhlak mulia bisa menyebabkan manusia bermental rapuh, berkarakter korup, dan berperilaku menyimpang. Alquran hadir untuk meluruskan kiblat kemanusiaan dan memperbaiki tatanan kehidupan agar tidak salah orientasi dan gagal mewujudkan kebagiaan hakiki.
Kontribusi terbesar dari visi pembebasan Alquran adalah restorasi mental spiritual dan moral. Alquran tidak cukup dibaca verbal sampai khatam berulang kali, tetapi juga harus dipahami, dihayati, ditadabburi, dan diamalkan dalam praksis kehidupan. Ketika mendengar dan memahami ayat-ayat Alquran yang disampaikan Nabi SAW, para sahabat langsung melakukan transformasi diri dengan beradaptasi dan berinovasi sesuai nilai-nilai Alquran.
Visi pembebasan dan pendidikan profetik berbasis Alquran yang dikembangkan Nabi SAW terbukti membumi secara efektif karena dibarengi keteladan moral yang baik dan konsisten (uswah hasanah). Sebagai pendidik inspiratif, Nabi SAW selalu menampilkan integritas kepribadian terbaik (role model), kesatuan antara kata-kata dan perbuatan nyata.
Sebagai figur teladan dan sumber inspirasi pengamalan nilai-nilai Alquran dalam kehidupan, Nabi SAW itu ibarat Alquran berjalan. Perilaku keseharian dan tradisi kenabian (sunah) beliau merupakan ekspresi dan ekspektasi Alquran. Misi Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin menjelma menjadi peradaban Islam berkemajuan karena tidak ada kesenjangan antara ajaran dan pengamalan Alquran, teori dan praktik, norma ideal dan realitas sosial, integritas moral pemimpin dan yang dipimpin.
Fakta sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW sukses mendidik para sahabatnya dengan sentuhan hati penuh cinta, meskipun dimusuhi sebagian kaumnya seperti: Abu Jahal, Abu Lahab, dan lainnya. Inspirasi Alquran yang menyentuh hati dan mencerahkan pikiran membuahkan praksis liberasi kemanusiaan yang efektif karena ditopang integritas moral dan keteladanan terbaik beliau. Liberasi kemanusiaan yang adil dan beradab itu dapat diwujudkan melalui dakwah dan pendidikan yang menginspirasi, memotivasi, dan kaya inovasi.
Kitab Kehidupan
Alquran yang dibaca umat Islam dewasa ini dengan yang diturunkan kepada Nabi SAW dipastikan tidak berbeda substansinya. Namun, mengapa mayoritas umat Islam mengalami kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan? Bukankah Alquran yang dibaca hari ini sama dengan Alquran yang dahulu membuat umat Islam sukses meraih kemajuan? Apa yang membuat pembacaan Alquran saat ini belum mampu menginspirasi kebangkitan dan kemajuan peradaban Islam? Bukankah Alquran itu merupakan Kitab Suci yang sarat spirit inovasi?
Pembacaan dan interaksi Alquran dewasa ini tampaknya belum sepenuhnya diorientasikan untuk pembebasan berbagai masalah kemanusiaan, padahal Alquran itu kitab panduan untuk kehidupan. Sebagai kitab kehidupan, Alquran harus dibaca dengan spirit pembebasan dan pemaknaan pesan moralnya untuk menggerakkan kehidupan, menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Selama sekitar 6 abad, berkat spirit pembebasan dan kontekstualisasi pesan moral Alquran, umat Islam sukses meraih kejayaan peradaban gemilang, terutama di masa khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (786-833 M). Visi pembebasan Alquran diintegrasikan dengan budaya riset inovatif dan pengembangan ilmu pengetahuan yang kreatif, sehingga kemajuan sains dan teknologi yang diraih mencerahkan kehidupan.
Oleh karena itu, paradigma tilawah (membaca verbal) perlu ditindaklanjuti dan dikembangkan menjadi qira’ah ilmiyyah (pembacaan berbasis ilmu dan dengan spirit liberasi dan inovasi). Spirit qira’ah, sebagaimana perintah pertama Alquran, harus bismi Rabbik (atas nama keagungan Tuhan) agar hasil pembacaannya membuahkan kemuliaan hidup.
Selain qira’ah bismi Rabbik, pembacaan ayat-ayat Alquran (Qur’aniyyah) juga harus diintegrasikan dengan pembacaan ayat-ayat semesta (kauniyyah) dengan metode ilmiah holistik, agar membuahkan produk keilmuan yang bermaslahat bagi kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran kehidupan.
Jadi, visi pembebasan Alquran harus bermuara pada integrasi dan interkoneksi pemaknaan ayat-ayat tertulis dan ayat-ayat Allah yang terhampar di alam raya ini, sehingga hasilnya benar-benar membebaskan umat manusia dari kegelapan akal pikiran (kebodohan), kegelapan hati (kekufuran), kegelapan ekonomi (kemiskinan), kegelapan zaman dan masa depan (ketertinggalan), dan kegelapan moral (kerusakan akhlak). Karena itu, idealnya Alquran terus dibaca untuk kehidupan, bukan hanya dibaca saat ada kematian!
Sumber: Koran Republika, 30 April 2021. (mf)