Visi Integrasi Maulid Nabi

Visi Integrasi Maulid Nabi

Dalam The Genuine Islam, George Bernard Shaw menyatakan bahwa Muhammad SAW (lahir 570 M) memulai misi kenabian dengan mendakwahkan Islam pada usia 40 tahun dan wafat pada usia 63 tahun. Sepanjang masa kenabiannya yang relatif singkat (23 tahun) beliau sukses melakukan transformasi Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para penyembah Tuhan yang Maha Esa.

Transformasi sosial juga berhasil dilakukan, dari peperangan dan perpecahan antarsuku menjadi bangsa yang bersatu; dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar; dari kaum taktertib hukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur; dan dari kebobrokan dan kebiadaban menuju keagungan moral. Sejarah manusia tidak pernah mengenal transformasi sosial sedahsyat ini. Bayangkan ini terjadi dalam kurun waktu singkat, hanya dua dekade.

Karakter dan kepribadian Nabi SAW itu sangat mengagumkan, mempesona kawan dan lawan, berwibawa dan memancarkan aura positif. Keluhuran budi pekertinya tiada duanya. Keagungan akhlak beliau merupakan teladan terbaik (uswah hasanah) sepanjang masa. Allah SWT memujinya, “Sungguh engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS al-Qalam [64]: 4). Istrinya, Aisyah, menarasikan bahwa akhlak Nabi SAW adalah Alquran (HR Muslim).

Sejawaran AS, Will Durant, pernah memuji Nabi SAW. “Kita harus katakan bahwa Muhammad adalah tokoh sejarah terbesar sepanjang masa. Ketika memulai dakwahnya, negeri Arab adalah sebentang padang pasir kering dan kosong, yang di beberapa kawasannya dihuni oleh sejumlah kaum Arab penyembah berhala. Jumlah mereka kecil tapi perselisihan di antara mereka sangat banyak. Akan tetapi, ketika beliau wafat, penduduk Arab telah muncul sebagai umat yang bersatu dan kompak. Beliau menghapus segala macam khurafat dan fanatisme, dan menyuguhkan sebuah agama yang sederhana, tapi kokoh dan terang benderang yang dibangun di atas dasar keberanian dan kemuliaan. Kitab beliau adalah Al-Quran, dan tak ada kitab lain yang mampu menandinginya dari segi kekuatan pengaruh dan daya tariknya.”

Salah satu kehebatan beliau adalah mempersatukan bangsa Arab yang memiliki egoisitas dan loyalitas kesukuan yang tinggi, sehingga sering berperang satu sama lain.  Lalu, bagaimana kita meneladani budi pekerti dan kepribadiannya yang luhur itu, terutama dalam mempersatukan umat dan bangsa? Bagaimana dua legasi yang ditinggalkan untuk umatnya, Alquran dan as-Sunah, dapat diaktualisasikan dengan visi integrasi dalam kehidupan sehari-hari, agar menjadi bangsa berketuhanan, berkemanusiaan, berkeadaban, bersatu dalam bingkai NKRI, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial?

Teladan Terbaik

Dalam Muhammad, The Prophet of Islam, K.S. Ramakrishna Rao menyatakan: “Menarasikan kepribadian Muhammad dengan tepat itu sangat sulit. Saya pun hanya bisa menangkap sekilas saja; betapa ia adalah lukisan yang indah. Anda bisa lihat Muhammad sang Nabi, sang pejuang, sang pengusaha, sang negarawan, sang orator ulung, sang inovator, sang pelindung anak yatim-piatu, sang pemerdeka hamba sahaya, sang pembela hak-hak perempuan, sang hakim, sang pemuka agama. Dalam setiap perannya tersebut beliau tampil sebagai seorang pahlawan yang cemerlang.

Prestasi sebagai pahlawan pemersatu suku-suku Arab Mekkah pernah diraihnya sebelum diangkat menjadi Nabi SAW. Beliau sukses menyelesaikan konflik antarsuku dalam penempatan kembali Hajar Aswad yang hanyut akibat banjir besar. Ketika semua suku mementingkan egoisitasnya dan merasa paling berhak menempatkan Hajar Aswad pada tempat semula, suku-suku hampir saja terlibat pertikaian dan perang.

Ketegangan dan kebuntuan akibat ego sektoral itu berakhir dengan aklamasi bahwa orang pertama yang masuk Masjidil Haram dipercaya menjadi mediator penempatan Hajar Aswad. Karena pertama kali masuk Masjidil Haram saat itu, maka Nabi SAW dipercaya menyelesaikan konflik ini. Dengan menggelar sorbannya dan meletakkan Hajar Aswad di atasnya, lalu setiap kepala suku diberi kesempatan untuk memegang sorban, mengangkat, dan memindahkan batu itu, maka perdamaian dan persatuan antarsuku pun dapat diwujudkan, sehingga permusuhan  dapat dienyahkan.

Sikap akomodatif dan visi integrasi sebagai calon pemimpin pemersatu umat itu membuatnya mendapat gelar al-Amin (orang yang paling dapat dipercaya). Oleh karena itu, maulid Nabi SAW penting dimaknai dalam konteks  perdamaian dan persatuan bangsa. Esensi peringatan maulid Nabi SAW adalah aktualisasi ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin untuk perdamaian dan persatuan bangsa.

Secara personal, kepribadian dan akhlak Nabi SAW memang sarat dengan pesan persatuan dan perdamaian. Dalam berbagai buku sirah (biografi) Nabi SAW yang ditulis oleh Ibn Hisyam, Ibn Ishaq, Husein Haikal, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, dan sebagainya dinarasikan bahwa dalam kesehariannya, beliau menunjukkan roman muka cerah ceria, murah senyum,  ramah dan bersahabat, gaul dan supel, tidak mudah marah, tidak emosional, tidak mendendam, responsif, suka menolong orang lain, peduli, bersahaja, merakyat, selalu menyisir rapi rambutnya dan berpakaian bersih dan rapi, simpati dan empati, sabar, dermawan, dan pemaaf. Nabi SAW adalah teladan moral terbaik (uswah hasanah) sepanjang masa dan untuk siapa saja.

Visi Integrasi

Setelah dimusuhi dan diancam untuk ditangkap hidup-hidup dan dibunuh saat masih di Mekkah, Nabi SAW dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Selain menghindari konflik dan kekerasan, beliau hijrah ke Madinah adalah untuk menyatukan dua suku terus-menerus berseteru dan terlibat perang berkepanjangan, yaitu suku Aus dan Khazraj.

Setelah sukses memediasi dua suku utama Madinah tersebut, dengan visi integrasinya, Nabi SAW menempuh jalan damai dalam rangka mengintegrasikan berbagai komunitas Madinah yang berbeda suku, agama, dan strata sosial. Nabi SAW lalu menggagas perjanjian damai dan integrasi dengan komunitas Nasrani, Yahudi, Majusi, dan komunitas lainnya. Dengan menerbitkan Mitsaq al-Madinah (perjanjian atau  kontrak sosial politik), semua warga Madinah diberikan hak-hak dan kewajiban yang sama. Semua warga Madinah, tanpa kecuali, harus menjadi keamanan, ketertiban, dan persatuan. Jika diserang musuh dari luar, semua wajib membela dan mempertahankan kota Madinah sampai titik darah penghabisan.

Visi integrasi dalam Mitsaq al-Madinah memberikan perlindungan dan kebebasan beragama bagi para penganut agama yang majemuk itu sesuai ajaran agama masing-masing. Keadilan hukum dan konstitusi ditegakkan kepada semua warga Madinah tanpa diskriminasi, sehingga semua merasakan kepastian hukum, keamanan, kesetaraan, dan keadilan. Visi integrasi Nabi SAW bagi semua komponen masyarakat Madinah menjadikannya sebagai baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur, kota berperadaban yang tercerahkan, berkemajuan, berkemakmuran, berkeadilan,  dan berkesejahteraan, bahagia lahir dan batin.

Sastrawan Rusia, Nikolayevich Tolstoy (1828-1910), dalam Hikam an-Nabi Muhammad, menegaskan bahwa kontribusi terbesar yang dipersembahkan Muhammad SAW sebagai pemimpin agama dan negara adalah menghentikan pertumpahan darah, menyatupadukan segenap komponen masyarakat, dan membuka pintu kemajuan peradaban, dengan kepemimpinannya yang bervisi integrasi. Komunikasi politiknya berhasil mempersuasi dan menyatukan umat dan bangsa di bawah panji kejayaan dan keadilan sosial.

Oleh karena itu, spirit maulid Nabi SAW saat ini harus dikontekstualisasikan dalam rangka merawat NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan mengembangkan visi integrasi yang konstruktif dan produktif. Semua komponen bangsa hendaknya menanggalkan ego sectoral, kepentingan pribadi, golongan, atau partai, dengan mengedepankan kesatuan dan kemasalahatan bangsa, agar warga bangsa tidak mudah diadu domba, diprovokasi dan dibenturkan satu dengan lainnya.

Maulid Nabi SAW mengajarkan kita pentingnya mengembangkan visi integrasi konstruktif dan produktif dengan menomorsatukan tujuan, kepentingan, dan kemaslahatan nasional. Visi integrasi konstruktif ini harus menjadi komitmen bersama dan prioritas utama para pemimpin bangsa agar NKRI tetap damai, bersatu, bersaudara, dan bersinergi demi masa depan bangsa yang berdaulat, hebat, dan bermartabat. Semoga!

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Kepala Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia. Sumber: Koran Republika, 28 Oktober 2020. (mf)