Utang dan Resiko Fiskal Indonesia
Prof. Dr. Mohammad Nur Rianto Al Arif, S.E., M.Si.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/ Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia/ Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan
Indonesia sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tengah menghadapi tekanan fiskal yang kian intens.
Pascapandemi COVID-19 dan dalam pusaran krisis global yang melibatkan perang dagang, konflik geopolitik, serta ketidakpastian harga energi dan pangan, pemerintah Indonesia terpaksa meningkatkan belanja negara melalui pembiayaan defisit.
Di tengah geliat pemulihan ekonomi, muncul kekhawatiran baru, yaitu seberapa sehat kondisi utang Indonesia? Apakah Indonesia bisa jatuh ke jurang kebangkrutan seperti yang dialami Sri Lanka?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin relevan ketika melihat tren peningkatan utang pemerintah yang kini menembus lebih dari Rp 9.187,7 triliun pada triwulan pertama tahun 2025.
Mayoritas didominasi oleh surat utang negara sebesar Rp 7.181 triliun (atau sekitar 78,15 persen dari total utang Indonesia).
Secara umum utang Indonesia masih dalam batas aman karena rasio utang terhadap PDB masih di bawah 40 persen. Rasio ini masih di bawah ambang batas aman 60 persen sesuai dengan Undang-undang Keuangan Negara.
Walaupun secara nominal dan rasio masih di bawah batas aman, tapi bila ditelaah lebih dalam, risiko fiskal Indonesia mengandung dinamika tersembunyi yang tidak bisa diabaikan.
Tulisan ini akan membahas mengenai struktur utang Indonesia, potensi risiko fiskal, kemungkinan krisis utang, serta membandingkannya dengan krisis ekonomi Sri Lanka sebagai cermin yang bisa menyadarkan kita agar tidak salah langkah.
Utang negara pada dasarnya adalah instrumen fiskal untuk menutupi defisit anggaran.Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengandalkan utang untuk membiayai pembangunan infrastruktur, subsidi energi, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial.
Ketika penerimaan pajak belum optimal, maka utang menjadi opsi yang tak terhindarkan.
Namun, utang juga menimbulkan beban pembayaran bunga dan pokok yang harus ditanggung oleh anggaran. Di sinilah muncul dilema klasik, yaitu antara mendorong pertumbuhan atau menumpuk kewajiban masa depan.
Pembayaran bunga utang Indonesia kini telah menembus Rp 257,08 triliun per tahun sepanjang Januari-Juni 2025.
Hingga akhir tahun, pembayaran bunga utang diperkirakan mencapai Rp 552,1 triliun atau hampir 16 persen dari estimasi total belanja negara.
Angka ini menunjukkan bahwa hampir seperlima APBN habis untuk membayar bunga saja, belum termasuk pokok utangnya.
Kondisi ini dapat mengurangi ruang fiskal untuk belanja produktif dan bisa menjadi awal dari spiral utang, bila tidak segera diwaspadai.
Risiko fiskal merujuk pada kemungkinan memburuknya kondisi keuangan negara akibat ketidakseimbangan struktural antara pendapatan dan pengeluaran.
Risiko ini bisa muncul karena ketergantungan pada utang, penurunan penerimaan negara, kebutuhan belanja yang tidak fleksibel, volatilitas nilai tukar, dan ketidakpastian ekonomi global.
Salah satu indikator yang penting adalah saldo primer (primary balance), yaitu selisih antara pendapatan dan pengeluaran negara di luar pembayaran bunga.
Jika saldo primer negatif, maka negara sebenarnya harus berutang untuk membayar utang. Apabila terjadi kondisi ini, maka menjadi suatu sinyal yang patut diwaspadai.
Selain itu, risiko fiskal dapat muncul pula karena rendahnya penerimaan pajak. Sampai 2024, tax ratio Indonesia stagnan di kisaran 10 persen, jauh di bawah standar ideal negara berkembang (15 persen).
Ini berarti basis penerimaan pajak kita masih sempit. Rasio ini penting karena menunjukkan kemampuan negara membiayai belanja dari sumber sendiri, bukan dari utang.
Kemudian risiko fiskal muncul pula dari sisi belanja. Sebagian besar anggaran Indonesia tergolong kaku, di mana sudah “habis dibagi” untuk belanja wajib seperti gaji pegawai, subsidi, bunga utang, hingga transfer ke daerah.
Belanja fleksibel seperti investasi pendidikan, infrastruktur baru, atau riset dan inovasi sering kali tersisa kecil.
Dalam kondisi fiskal sempit, pemerintah tidak punya banyak pilihan selain menambah utang atau memangkas belanja. Kedua opsi yang sama-sama tidak ideal dalam konteks anggaran negara.
Kemudian kita bandingkan kondisi Indonesia saat ini dengan kondisi gagal bayar di Sri Lanka. Apakah Indonesia masih dalam batas aman atau sudah masuk dalam posisi mengkhawatirkan?
Sri Lanka mengalami default atau gagal bayar utang luar negeri pada tahun 2022.Negara itu tidak sanggup membayar utang senilai lebih dari 51 miliar dollar AS, memicu krisis ekonomi dan politik paling parah dalam sejarah mereka.
Cadangan devisa menipis, impor pangan dan energi terhenti, inflasi melonjak, dan rakyat turun ke jalan.
Terdapat beberapa pemicu kondisi gagal bayar di Sri Lanka.Pertama, ketergantungan utang luar negeri jangka pendek.
Kedua, defisit fiskal kronis karena subsidi berlebihan dan pemotongan pajak yang populis. Ketiga, gagal diversifikasi ekonomi yang hanya bergantung pada pariwisata dan remitansi.
Keempat, pengelolaan utang yang buruk, termasuk pinjaman besar dari China untuk proyek infrastruktur. Kelima, deplesi cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar.
Meskipun Indonesia tidak identik dengan Sri Lanka, tetapi sejumlah pelajaran penting bisa dipetik.
Pertama, kita jangan terbuai angka utang yang terlihat “rendah” dibanding PDB. Hal yang paling penting untuk dilihat adalah tren dan kemampuan membayar.
Kedua, pentingnya manajemen utang yang penuh kehati-hatian, dengan menjaga keseimbangan antara utang valas dan domestik, jangka pendek dan panjang.
Ketiga, diversifikasi penerimaan negara dan struktur ekonomi. Keempat, kebijakan fiskal populis bisa berbahaya jika tidak diimbangi sumber penerimaan yang kuat.
Indonesia masih relatif aman karena punya cadangan devisa besar, basis ekonomi besar, dan sistem moneter yang stabil.
Namun, kondisi ini bukan berarti kita kebal. Krisis fiskal selalu terjadi secara perlahan, hingga akhirnya meledak secara tiba-tiba. Dalam kondisi seperti ini penting bagi pemerintah untuk menjaga Indonesia tetap sehat.
Reformasi pajak salah satu hal krusial yang harus dilakukan meskipun bukan pilihan yang populer. Langkah fundamental untuk menjaga kesehatan fiskal adalah dengan meningkatkan tax ratio.
Pemerintah sudah mulai memperluas basis pajak melalui integrasi NIK–NPWP, digitalisasi pajak, dan reformasi PPh. Namun, ini harus dipercepat dan dilakukan secara adil agar tidak menambah beban rakyat kecil.
Peningkatan pajak bukan sekadar menaikkan tarif, tapi juga memperluas kepatuhan, menutup celah penghindaran, dan membenahi sistem insentif pajak yang boros.
Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi ulang prioritas belanja negara. Subsidi energi yang membengkak harus diarahkan secara tepat sasaran.
Belanja besar di bidang pertahanan, infrastruktur, dan birokrasi harus dikaji ulang berdasarkan urgensi dan dampaknya terhadap pertumbuhan jangka panjang.
Program-program kesejahteraan harus lebih difokuskan ke investasi sumber daya manusia, bukan sekadar bantuan tunai yang konsumtif.
Kemudian, Pemerintah perlu menerapkan prinsip “Golden Rule”, yakni hanya berutang untuk membiayai belanja yang menghasilkan manfaat jangka panjang.
Utang yang digunakan untuk infrastruktur, pendidikan, dan teknologi jelas lebih dibenarkan daripada untuk membiayai subsidi yang berlebihan.
Selain itu, penting untuk memperkuat pendalaman pasar keuangan domestik, agar kita tak terlalu bergantung pada investor asing atau lembaga multilateral. Meningkatkan kepercayaan terhadap SBN domestik adalah kunci ketahanan fiskal.
Terdapat potensi bahaya jika kita lalai dalam mengelola utang yang dapat berujung pada spiral utang.
Beberapa sinyal dini yang harus diwaspadai sebagai kondisi awal krisis apabila saldo negatif secara kronis.
Selain itu ketergantungan pembayaran bunga utang terhadap utang baru yang semakin membesar. Kemudian rasio pembayaran utang terhadap penerimaan makin membesar.
Turunnya kepercayaan pasar terhadap kemampuan bayar harus diwaspadai sebagai tanda awal krisis.
Terakhir, kondisi fiskal dipolitisasi, bukan dipandu oleh nalar ekonomi. Jika ini terjadi secara terus-menerus tanpa perbaikan struktural, maka Indonesia bisa masuk ke dalam spiral utang seperti Sri Lanka.
Gejolak global seperti konflik Timur Tengah, ketegangan AS–China, maupun fluktuasi harga minyak bisa memperburuk tekanan fiskal melalui depresiasi rupiah, lonjakan harga impor, dan peningkatan suku bunga global.
Jika fiskal kita tidak kuat, maka goncangan eksternal ini bisa mempercepat keruntuhan, terlebih jika terjadi pada masa transisi pemerintahan.
Indonesia belum berada di tepi jurang seperti Sri Lanka, tapi alarm peringatan sudah berbunyi. Jalan menuju kebangkrutan negara tidak terjadi dalam semalam, tetapi kondisi ini dibangun dari serangkaian kebijakan fiskal yang tak berkelanjutan, ketidakmampuan membayar utang, dan kurangnya keberanian dalam melakukan reformasi.
Pemerintahan Prabowo harus belajar dari kisah tragis Sri Lanka, agar tidak mewariskan krisis kepada generasi mendatang.
Dengan langkah cermat, keberanian melakukan reformasi pajak, efisiensi belanja, dan manajemen utang yang penuh kehati-hatian, Indonesia bisa tetap tumbuh tanpa jatuh ke lubang yang sama. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, kesehatan fiskal adalah fondasi utama kedaulatan ekonomi.
(Artikel ini telah dipulikasikan di kompas.id pada Senin, 04 Agustus 2025)