Ulasan Artikel Riset: Tantangan Revolusi Digital dalam Otoritas Fatwa di Indonesia
Jakarta, Artikel UIN Online - Revolusi digital mengubah kehidupan masyarakat, termasuk pola komunikasi keagamaan dari komunikasi tradisional menjadi komunikasi berbasis internet yang mengandalkan keterbukaan dan kecepatan. Teknologi sekarang ini dapat dikatakan sebagai salah satu tulang punggung komunikasi dalam agama.
Perubahan pola komunikasi tersebut kemudian membentuk depersonalisasi, yaitu internet membuat pola komunikasi umat beragama tidak lagi bertumpu pada kharisma, akhlak, dan keilmuan. Namun, lebih dari itu, media sosial telah menggerogoti nalar yang bertumpu pada personalisasi dan karakter.
Selain itu, luasnya saluran informasi dan media sosial memungkinkan siapa pun menyalurkan aspirasinya dan berpartisipasi mewarnai perdebatan di ruang publik.
Lalu apa saja tantangan bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa-fatwa di era digital?
Revolusi digital telah mengubah paradigma komunikasi dan struktur otoritas di Indonesia. Termasuk dalam hal penerbitan fatwa oleh MUI. Namun, di balik gemerlapnya era digital, terdapat tantangan besar yang dihadapi oleh MUI untuk tetap relevan dan otoritatif dalam menjaga legitimasi fatwa di tengah dinamika yang terus berubah.
Dilansir dari Jurnal Ahkam, dari Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, penelitian dengan menggunakan analisis Discourse Network Analysis (DNA). DNA merupakan metode teks yang dianalisis dengan mempertimbangkan empat aspek, yaitu pelaku, wacana, sentimen terhadap wacana, dan periode ketika wacana itu diproduksi.
Dalam artikel berjudul Language, Authority And Digital Media: The Impact on the Legitimacy of Fatwas yang ditulis oleh Ahmad Suaedy, Fariz Alnizar, Juri Ardiantoro, dan Said Aqil Siroj tersebut mengungkapkan bahwa terdapat fenomena debirokratisasi dalam pembuatan fatwa dan dan depersonalisasi pada otoritas agama.
Debirokratisasi dalam Pembuatan Fatwa
Dalam artikel jurnal tersebut mengungkapkan bahwa tantangan pertama adalah debirokratisasi pembuatan fatwa yang ditandai dengan semakin banyaknya isu-isu berskala nasional yang menjadi topik dan pokok fatwa MUI daerah. Tren tersebut menjadi bukti bahwa tradisi birokrasi yang dianut MUI Pusat kini terancam.
MUI daerah yang kini semakin aktif dalam memutuskan isu-isu nasional. Gejala ini ditunjukkan dengan salah satunya tersebarnya situs fatwa online yang berisi tanya jawab antara mufti (pihak yang memberi fatwa dengan cara ijtihad) dan mustafti (pihak yang meminta fatwa).
Sedangkan, dalam Pedoman Penetapan Fatwa yang dikeluarkan MUI (2012), pada klausul penetapan fatwa yang bersifat birokrasi. Terdapat aturan bahwa MUI pusat berwenang memutus permasalahan nasional atau daerah yang berpotensi menular ke daerah lain. Artinya hal itu menunjukkan adanya pergeseran dari tradisi birokrasi yang dianut MUI Pusat.
Pada tahun 2018, beberapa keputusan (fatwa) MUI daerah mulai merespons permasalahan berskala nasional, misalnya tentang isu anjuran pejabat pemerintah yang beragama Islam untuk tidak mengucapkan salam dari agama lain.
Hal tersebut membuka peluang bagi dinamika lokal yang lebih kuat namun juga menimbulkan pertanyaan akan konsistensi dan keseragaman fatwa di seluruh Indonesia.
Depersonalisasi Otoritas Agama
Selain debirokratisasi, tantangan kedua datang dalam bentuk depersonalisasi otoritas agama. Depersonalisasi ialah mempertanyakan otoritas agama yang sudah mapan dan beralih ke ustaz yang baru memberikan dakwah bergaya hiburan.
Di era media sosial, depersonalisasi ditandai dengan maraknya “ustaz selebriti” atau ulama yang kerap mengeluarkan fatwa menggunakan karismatiknya untuk memperoleh popularitas melalui media sosial dan platform online lainnya.
Ulama selebritas muncul sebagai figur yang lebih populer daripada figur tokoh agama tradisional. Dakwah digital telah memfasilitasi lahirnya ustaz-ustaz baru yang menggabungkan hiburan dengan pesan keagamaan dengan karismanya, pada akhirnya transmisi keilmuan tidak lagi menjadi isu besar dalam dakwah digital. Kemampuan dan kompetensi keilmuan khatib juga tidak menjadi persoalan yang berarti.
Hal itu menjadi sebuah refleksi kepada para figur ulama tradisional yang memiliki pengetahuan, keahlian dan kredibilitas terhadap prinsip-prinsip agama yang sudah mapan agar mampu menyesuaikan diri untuk lebih menonjol dalam dinamika baru ini tanpa mengorbankan integritas dan otoritasnya.
Menghadapi Tantangan dengan Inovasi
Konsep debirokratisasi dan depersonalisasi mewakili dampak signifikan dari revolusi digital. Institusi dan otoritas keagamaan, khususnya dalam pembuatan fatwa, menghadapi tantangan untuk merespons kedua perubahan tersebut.
Upaya untuk menjawab tantangan tersebut, dalam jurnal tersebut menjelaskan bahwa MUI perlu merespons dengan pendekatan yang tepat dan terukur. Dakwah digital telah memperluas akses informasi, akan tetapi upaya untuk mempertahankan kewenangan dan legitimasi fatwa memerlukan inovasi dalam strategi komunikasi dan penguatan institusi.
Salah satu usulan adalah pembentukan Komisi Fatwa yang lebih responsif terhadap dinamika lokal namun tetap terintegrasi dengan MUI Pusat untuk menjaga konsistensi dan keseragaman fatwa di tingkat nasional.
Revolusi digital membawa tantangan yang tidak dapat dihindari bagi otoritas agama tradisional seperti MUI. Namun, dengan sikap terbuka terhadap inovasi dan adaptasi yang tepat, MUI dapat tetap menjadi pilar penting dalam menjaga keutuhan dan keberlangsungan ajaran agama di Indonesia.
(Aliffia Hafiizhah/Fauziah M./Syarifah Nur Kholidah)
Sumber Artikel Jurnal:
Judul Penelitian : Language, Authority, and Digital Media: The Impact on the Legitimacy of Fatwas.
Publikasi Jurnal : Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah
Penulis : Ahmad Suaedy, Fariz Alnizar, Juri Ardiantoro, Said Aqil Siroj.
Link artikel : https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/28875
**Ulasan Artikel Riset adalah tulisan review dari artikel jurnal penelitian yang ditulis oleh para dosen di UIN Jakarta yang membahas isu terkini yang dekat dengan masyarakat sebagai rekomendasi atau studi kasus pada fenomena sosial.
Pusat Informasi dan Humas UIN Jakarta