Ulama, Umat, dan Negara

Ulama, Umat, dan Negara

Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada 26 Juli 2025, Majelis Ulama Indonesia (MUI) genap berusia 50 tahun. Momentum ini menjadi saat yang tepat untuk meninjau kembali posisi dan peran strategis MUI sebagai institusi keulamaan di tengah kehidupan berbangsa yang terus berubah.  

Selama lima dekade, MUI telah memainkan peran penting dalam menjembatani kepentingan keagamaan umat Islam dengan kebijakan kenegaraan yang pluralistik.

Sejak kelahirannya pada 1975, MUI dirancang sebagai forum permusyawaratan antar ormas Islam. Karakter kolektif ini menjadikan MUI bukan hanya representasi suara ulama, melainkan juga simpul komunikasi yang merekatkan spektrum paham keislaman yang beragam.  

Dari NU, Muhammadiyah, Persis, hingga ormas lokal lainnya, semua terwadahi dalam satu forum keulamaan. Dengan pendekatan musyawarah, perbedaan paham di antara ormas tidak menjadi hambatan, melainkan disikapi sebagai kekayaan yang memperkuat bangunan keislaman Indonesia.

Kapasitas MUI sebagai forum representatif ini menjadi modal sosial penting dalam membangun harmoni internal umat. Dalam konteks sosial-politik yang belakangan ditandai oleh meningkatnya polarisasi identitas, kemampuan MUI memfasilitasi perbedaan menjadi kunci menjaga kohesi sosial dan integrasi kebangsaan. MUI tidak hanya berdiri untuk satu kelompok umat, melainkan untuk seluruh komponen bangsa yang beragam.

Tantangan besar MUI ke depan adalah bagaimana memperkuat fungsinya sebagai jembatan antara nilai-nilai syariat dan kepentingan kebijakan publik. Selama ini, MUI menjalankan peran konsultatif dan korektif terhadap kebijakan negara, terutama dalam isu-isu yang bersinggungan langsung dengan nilai-nilai keagamaan. Lewat fatwa, rekomendasi, atau pernyataan keagamaan, MUI turut memberi panduan moral terhadap berbagai persoalan kebangsaan.

Namun relasi antara agama dan negara tidak selalu sederhana. Di satu sisi, umat memiliki ekspektasi agar nilai-nilai Islam mendapat ruang dalam perumusan kebijakan. Di sisi lain, negara menjamin prinsip pluralisme dan konstitusionalisme.  

Di sinilah posisi MUI menjadi penting, yakni membaca realitas sosial secara arif, tanpa terjebak dalam konservatisme yang kaku ataupun kompromi yang melemahkan nilai prinsip.

Sejalan dengan itu, John L. Esposito, dalam Islam and Politics (2011), menegaskan bahwa lembaga keagamaan memiliki peluang menjadi mediator demokrasi bila mampu bersikap adaptif terhadap realitas negara-bangsa dan tetap menjaga integritas keagamaannya.  

Dalam konteks ini, MUI berada dalam posisi strategis untuk memainkan peran tersebut, yakni menjadi penafsir nilai-nilai Islam yang selaras dengan kepentingan publik dalam negara yang majemuk.

Beberapa fatwa MUI dalam isu halal, zakat, keluarga, serta dinamika sosial-politik lain memperlihatkan upaya MUI untuk mempertemukan dua kepentingan tersebut. Pendekatan maslahat yang dikembangkan MUI menjadi jalan tengah antara prinsip keagamaan dan kebutuhan kebijakan publik.

Keteladanan kepemimpinan ulama menjadi faktor kunci dalam menjaga kepercayaan umat. Dalam sejarahnya, MUI tidak kekurangan figur ulama yang memiliki integritas moral, keluasan ilmu, serta kepekaan sosial. Para ulama ini berperan tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai penjaga stabilitas sosial dan benteng akhlak publik.

Dalam konteks demokrasi, keteladanan menjadi aspek yang sangat krusial. Ketika ruang publik dipenuhi oleh wacana keagamaan yang keras dan provokatif, suara ulama MUI yang tenang dan mendalam menjadi penyeimbang. Hal ini penting agar masyarakat tidak terseret pada ekstremisme yang menyederhanakan ajaran agama dalam narasi-narasi sektarian.

Ulama bukan hanya penyampai doktrin, tetapi penafsir nilai yang mengedepankan kearifan. Peran ini hanya dapat berjalan bila MUI mampu menjaga jarak dari kepentingan politik praktis tanpa menjauh dari dinamika kebijakan publik. Keseimbangan inilah yang menjadi keunggulan posisi MUI dibanding kelompok-kelompok keagamaan lainnya.

Ke depan, tantangan akan semakin kompleks. Masyarakat digital menghadirkan arus informasi keagamaan yang tidak selalu bersumber dari otoritas yang sahih. MUI harus mampu memperbarui strategi dakwah dan edukasi keagamaannya. Penyuluh agama, dai muda, serta kanal digital keislaman perlu dikelola dengan serius agar suara moderat Islam tetap menjadi arus utama di tengah banjir informasi.

Di usia emas ini, MUI dituntut tidak hanya hadir sebagai institusi keagamaan formal, tetapi juga sebagai aktor kultural dan moral yang mampu menjawab perubahan zaman. Tiga poros, yakni ulama, umat, dan negara, perlu terus dijaga relasinya agar tetap sinergis. MUI berada di titik temu ketiganya, dan peran ini tak tergantikan.

Selamat Milad ke-50 Majelis Ulama Indonesia. Semoga MUI tetap menjadi penuntun umat dan pilar harmoni bangsa.

(Artikel ini telah dipublikasikan di kompas.id pada Sabtu, 26 Juli 2025)