UIN Jakarta Tuan Rumah Public Lecture: Menyelami Hubungan Diplomatik dan Fenomena Keagamaan di Prancis
Ruang Diorama, Berita UIN Online - UIN Jakarta menyelenggarakan Public Lecture bertajuk “Diplomacy and Religion: Study & Scholarship in France Information Session” di Ruang Diorama, Rabu (23/9/2024). Acara tersebut dihadiri oleh Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D., Advisor for Religious Affairs, French Ministry of Europe and Foreign Affairs, H.E. Ambassador Jean-Christophe Peaucelle dan Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Prof. Ismatu Ropi, M.A., Ph. D.
Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saefudin Jahar, M.A., Ph.D mengatakan kesempatan ini merupakan sebuah kehormatan bagi UIN Jakarta karena dapat menjadi tuan rumah pada acara yang dihadiri oleh Advisor for Religious Affairs, French Ministry of Europe and Foreign Affairs, H.E. Ambassador Jean-Christophe Peaucelle. Rektor berharap acara ini akan memberikan banyak pengetahuan dan wawasan seputar diplomasi Indonesia-Perancis, termasuk seputar laicite, pendidikan dan lain-lain.
“Ini adalah kedatangan pertama Advisor for Religious Affairs, French Ministry of Europe and Foreign Affairs ke UIN Jakarta,” ucap Rektor.
Selepas sambutan Rektor, acara dilanjutkan dengan public lecture yang dimoderatori Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Ismatu Ropi, M.A., Ph. D. Menurut Dekan Fakultas Ushuluddin itu acara ini penting dilakukan untuk memahami secara komprehensif bagaimana hubungan diplomasi Indonesia-Prancis, secara spesifik bagaimana memahami gejolak fenomena keagamaan yang terjadi di Prancis belakangan ini.
Prof. Ismatu Ropi menyampaikan ada kesamaan unik antara Indonesia-Prancis. Hal itu karena dua negara ini sama-sama memiliki satu semboyan yang menjadi identitas nasional yang menopang suatu bangsa. Indonesia, lanjut Prof. Ropi, memiliki Pancasila sebagai identitas nasionalnya, sementara Prancis memiliki identitas nasional yang disebut dengan Laïcité.
Lebih lanjut Prof. Ismatu menuturkan Laïcité di Prancis itu penting untuk diulas lebih lanjut dalam melihat hubungan negara dan agama. Dengan demikian polemik yang terjadi beberapa tahun terakhir dapat dipahami lebih jelas terutama persinggungannya dengan hubungan diplomasi antar negara.
Sebagai informasi, Laïcité atau sekularisme khas Prancis itu kerap disebut sebagai identitas nasional Prancis. Dalam studi tentang sekularisme, laïcité biasa dikategorikan sebagai sekularisme asertif. Praktik lainnya ada di Turki masa Kemal Attaturk dulu. Kontrasnya adalah sekularisme pasif, seperti yang dipraktikkan di Amerika, misalnya. Dalam perbandingan yang sederhana: bila sekularisme pasif menjaga freedom of religion (bebas beragama), sekularisme asertif bergerak lebih jauh dengan menerapkan freedom from religion (bebasnya ruang publik dari unsur-unsur keagamaan).
Namun demikian, Advisor for Religious Affairs, French Ministry of Europe and Foreign Affairs, H.E. Ambassador Jean-Christophe Peaucelle membedakan dengan tegas Laïcité dan sekularisme. Menurut Jean, Laïcité merupakan prinsip legal yang diakui negara dan bersifat mengikat. Sementara itu, sekularisme adalah konsepsi sosiologis yang diterapkan dalam masyarakat.
Jean menuturkan bahwa laïcité ialah warisan sejarah khas hasil revolusi Prancis melawan cengkeraman Gereja Katolik dan mulai dibubuhkan dalam undang-undang tentang pemisahan negara dan gereja sejak 1905.
Dalam pemaparannya lebih lanjut, Jean menegaskan bahwa laïcité tidak menolak agama, tapi membela kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan manusia. Hal ini penting dipahami, menurutnya, karena ada banyak konflik yang mengatasnamakan agama. Dengan berbagai aliran dan klaim kebenaran yang dipaksakan kepada orang lain. Oleh karena itu, Jean menilai keragaman corak pemahaman dalam keagamaan mesti dipahami lebih dalam agar tidak terjebak pada konflik yang mengatasnamakan agama.
“Religion is everywhere but not everything,” pungkasnya.
Dokumentasi Kegiatan:
(Aji Pangestu/Fauziah M./Raihan Lail Ramadhan/Foto: Muhammad Fahri Afrizal, Hermanudin)