UIN Jakarta Perkuat Sertifikasi Halal JPH
Gedung FDIK, BERITA UIN Online – Pemerintah melalui Undang-undang (UU) No. 33 tahun 2014 telah memberikan jaminan akan ketersediaan produk pangan yang halal. Dasar hukum jaminan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) sudah jelas di dalamnya. Agar terealisasi dengan baik dibutuhkan dukungan dari stake holder agar tercipta ekosistem JPH, di antaranya peran kampus dan akademisi.
Demikian disampaikan Ketua Pusat Kajian Halal UIN Jakarta, Sandra Hermanto, dalam Seminar Nasional bertajuk “Produk Halal dan Ketahanan Pangan Nasional: Revitalisasi Peran Masyarakat Menuju Indonesia Maju,” yang diinisiasi oleh Program Studi Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK), di Ruang Teater Prof. Aqib Suminto, Kamis (3/11/2022).
Seminar sendiri dihadiri oleh puluhan mahasiswa baik secara offline maupun online melalui Zoom Meeting. Seminar nasional itu juga disiarkan secara live streaming di akun YouTube FDIK.
Sandra menjelaskan, semua elemen yang terkait harus bisa bersinergi untuk mendukung penguatan JPH bagi masyarakat, baik domestik maupun dunia, karena perihal halal itu sudah menjadi isu global bukan hanya untuk umat Islam.
Perihal sertifikasi halal, jelas Sandra, sejak 17 Oktober 2019 lalu pemerintah resmi menetapkan UU Jaminan Produk Halal No. 33 Tahun 2014, sehingga yang sebelumnya sertifikasi halal bersifat sukarela, kini menjadi wajib untuk semua pelaku usaha.
“Dampaknya bagi para pelaku usaha ketika tidak memiliki sertifikasi halal mereka tidak boleh berdagang, namun hal itu baru akan berlaku pada 2024. Dengan kata lain, semua pelaku usaha wajib bersertifikasi halal pada 2024 nanti,” tegas Sandra.
Dia juga menjelaskan, dahulu sertifikasi halal hanya diperankan satu oleh lembaga, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, kini peran MUI tidak menjadi aktor tunggal. Hal itu karena proses registrasi pengajuan sertifikasi halal ada di bawah lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
“Jadi, saat ini proses sertifikasi halal pertama-tama masuk ke lembaga BPJP. Setelah itu melakukan pemeriksaan ke lembaga pemeriksaan halal yang selanjutnya difatwakan oleh komisi fatwa MUI,” sambungnya.
Sayangnya, berdasarkan keterangan Sandra, masyarakat masih belum mengetahui perubahan peraturan maupun proses sertifikasi halal sehingga peran akademisi penting untuk melakukan sosialisasi dan edukasi.
Selain itu, perguruan tinggi juga dapat berperan mendirikan lembaga pemeriksa halal dan mengadakan pelatihan sertifikasi halal terkait kompetensi sumber daya manusia (SDM). Namun, untuk menyelenggarakan itu dibutuhkan tenaga ahli sehingga peran perguruan tinggi ini bisa mencetak SDM yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan JPH.
Dia memaparkan, UMK di Indonesia berjumlah 64 juta. Artinya, potensi ekonomi sangat besar tapi nyatanya di lapangan baru 20 persen yang sudah mengantongi sertifikat halal. Hal itu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mahasiswa untuk mendorong pelaku UMK agar memiliki sertifikasi halal.(ns/fa/df)