UIN Jakarta Diharap Jadi Pusat Pengembangan Moderasi Beragama
Gedung Rektorat, BERITA UIN Online— UIN Jakarta diharap menjadi pusat pengembangan moderasi beragama di tanah air. Ini diperlukan bagi kehidupan kebangsaan masa kini dan mendatang. Kehadiran sumber daya dosen-peneliti dan kelembagaan pendidikan tinggi jadi modal memadai bagi UIN Jakarta dalam mengemban pengembangan moderasi beragama.
Demikian disampaikan Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami Ph.D saat menjadi narasumber Focused Group Discussion ‘Konstruksi Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Islam: Perspektif Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta’, Rabu (8/7/2020). Diskusi yang dilakukan secara daring difasilitasi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta ini diikuti seluruh guru besar UIN Jakarta.
Dalam paparannya, Amich menuturkan, moderasi beragama diperlukan mengingat kecenderungan sosial belakangan ini. Menguatnya kecenderungan intoleransi, sektarianisme, bahkan radikalisme keagaman yang bersumbu dari gagasan trans-nasional menyediakan tantangan sendiri bagi kehidupan kebangsaan.
Konflik sosial antar umat beragama, munculnya kekuatan Islam yang tidak ramah, dan berbagai aksi kekerasan yang berlangsung sejak era 1990-an menandai berbagai kecenderungan tersebut. “Berlangsung apa yang disebut sebagai ,Conservative Turns’, pergeseran dari wajah keagamaan yang ramah, moderat, progresif ke konservatif,” katanya.
Di sisi lain, berbagai dinamika sosial kehidupan kebangsaan juga menghadirkan tantangan pembangunan masyarakat Indonesia. Kondisi demikian meniscayakan keterlibatan banyak elemen di tanah air, terutama UIN Jakarta, untuk menampilkan wajah Islam yang ramah sekaligus jadi solusi atas berbagai problematika masyarakat.
Moderasi beragama sendiri, sambungnya, telah diakomodir dalam arah dan kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020-2024. Dalam hal ini, moderasi beragama jadi bagian pembangunan karakter sebagai salahsatu pilar pembangunan manusia Indonesia selain pemberian layanan dasar dan perlindungan sosial dan produktifitas.
Di lembaga pendidikan tinggi Islam sendiri, moderasi beragama diharap bisa terfasilitasi dalam kinerja dosen dan tenaga akademik, sumber pembelajaran, proses dan metode pembelajaran. Juga terfasilitasi dalam kurikulum, pendidikan dosen-tenaga akademik, pengabdian sosial dosen sebagai intelektual publik, temu ilmiah, dan riset.
“Merujuk ke UIN Jakarta, semua sudah tersedia. Secara kelembagaan sudah kokoh, sumber daya manusia mumpuni. Terpenting bagaimana meramunya,” katanya.
Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis MA yang membuka diskusi mendorong para guru besar, dosen, dan seluruh sivitas akademika UIN Jakarta untuk aktif menerjemahkan semangat moderasi beragama dalam kegiatan pengajaran, riset, maupun pengabdian kepada masyarakat. Implementasi moderasi beragama diperlukan sebagai pendekatan dalam membangun kualitas hidup masyarakat Indonesia lebih baik.
Moderasi beragama, tutur Rektor, sebagai sikap memahami dan menerapkan Islam secara benar, lurus, dan moderat diperlukan dalam membangun kehidupan bangsa. Selain itu, moderasi beragama juga perlu diterjemahkan sebagai solusi atas beragama persoalan sosial yang kerap merundung masyarakat.
Rektor mencontoh, berbagai persoalan sosial yang perlu dijawab dengan pendekatan moderasi beragama seperti konflik perebutan lahan, ketimpangan sosial ekonomi, ketidakmerataan ekonomi. “Berbagai persoalan ini masih sering kita temukan di tengah-tengah masyarakat,” katanya.
Moderasi beragama sendiri, sebutnya, sejatinya selaras dengan sejumlah tujuan kemaslahatan hidup manusia dalam Islam seperti terkandung dalam Maqashid Syariah. Diturunkan dari sumber utama hukum Islam, al-Quran dan Sunnah, Maqashid Syariah mendorong manusia menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Ragam Makna Moderasi Beragama
Dalam diskusi yang berlangsung selama hampir dua jam itu, para guru besar sendiri menyampaikan pandangannya tentang urgensi implementasi dan pemaknaan moderasi beragama. Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. Masykuri Abdillah mengusulkan perlunya moderasi beragama masuk dalam kurikulum atau menjadi mata kuliah tersendiri.
Guru Besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Prof. Dr. Suwito mengatakan, moderasi beragama perlu menjadi isu dan tugas bersama seluruh kementerian/lembaga. Ia perlu diarusutamakan dalam berbagai kebijakan lembaga pemerintahan.
Lainnya, Guru Besar Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Sri Mulyati dan Guru Besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Prof. Dr. Asep Usman Ismail sama-sama melihat pentingnya implementasi moderasi beragama diterapkan dalam pengajaran di kelas. Baik Sri maupun Asep melihat perlunya para profesor untuk mengajar langsung mahasiswa di semester paling awal program sarjana.
Fase ini, sebut Asep, menjadi periode cukup krusial bagi para mahasiswa dalam membangun cara pandang wawasan dan praktek keislamannya. “Saya mohon rekan-rekan dosen, guru besar, ikut mengarahkan mahasiswanya,” tambah Sri.
Di luar kelas, Asep juga menyampaikan pentingnya implementasi moderasi dengan andil para guru besar memperkuat ikhtiar kontra narasi radikalisme agama melawan para ideolog kelompok radikal. Pengalamannya melakukan pendekatan terhadap para napi teroris diakuinya memberi kesadaran bahwa argumentasi-argumentasi tentang khilafah, thagut, dan lainnya yang disampaikan para ideolog teror lebih mudah diterima dibanding kelompok mayoritas. “Ini kelemahan kita,” sebutnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi Prof. Dr. Ujang Maman menyoroti pentingnya moderasi beragama difahami sebagai tanggungjawab para intelektual perguruan tinggi keagaman Islam untuk ikut mencarikan solusi atas berbagai persoalan sosial seperti ketahanan pangan. Indonesia, sebutnya, terancam alami krisis pangan seiring makin massifnya konversi lahan pertanian.
Di dekade 1980-an, terangnya, total luas lahan sawah Indonesia di kisaran 16 juta hektar. Namun 20 tahun kemudian jumlahnya menyusut drastis dengan hanya menjadi 7 juta hektar. “Nah ini persoalan serius. Lembaga Pangan Dunia FAO saja sudah memperingatkan. Nah soal ini juga yang harusnya jadi perhatian para dosen-guru besar Perguruan Tinggi Keagamaan Islam,” tandasnya. (zm)