UIN Jakarta di Tengah Krisis Perguruan Tinggi Islam: Antara Teladan dan Tantangan

UIN Jakarta di Tengah Krisis Perguruan Tinggi Islam: Antara Teladan dan Tantangan

Murodi, Arief Subhan, dan Study Rizal LK

 

Sejumlah kasus yang baru-baru ini mencoreng wajah perguruan tinggi Islam membangkitkan kegelisahan publik. Kampus yang membawa nama Islam mestinya menjadi rumah ilmu dan akhlak, tetapi justru dikaitkan dengan praktik kriminal. Pertanyaan yang muncul kemudian: bagaimana dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kampus yang kerap disebut sebagai barometer perguruan tinggi Islam di Indonesia?

Sebagai salah satu universitas Islam tertua dan terbesar, UIN Jakarta memiliki posisi istimewa. Dari kampus inilah lahir banyak tokoh nasional, ulama, akademisi, dan pemikir yang mewarnai perjalanan bangsa. UIN Jakarta juga dikenal dengan tradisi intelektualnya yang khas—sering disebut Mazhab Ciputat—yang menekankan keterbukaan, kritisisme, dan pembaruan pemikiran Islam. Karena itulah, publik berharap UIN Jakarta bisa tampil sebagai teladan, bukan sekadar bagi PTKIN, tetapi juga bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Namun, reputasi besar tidak berarti bebas dari tantangan. Justru karena ukurannya yang besar dan pengaruhnya yang luas, kerentanan UIN Jakarta bisa lebih kompleks. Ribuan mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya datang ke Ciputat setiap tahun. Sebagian menghadapi tekanan ekonomi, sebagian lain berhadapan dengan godaan urbanisasi Jakarta. Situasi ini bisa menjadi lahan subur bagi penyimpangan jika tidak diimbangi dengan pembinaan yang memadai.

Di sisi dosen dan tenaga akademik, tuntutan administratif, persaingan akademik, dan problem kesejahteraan juga hadir. Beban ini berpotensi menggeser perhatian dari pembinaan nilai ke arah rutinitas teknis belaka. Jika itu terjadi, maka peran dosen sebagai teladan moral perlahan bisa terkikis.

Meski demikian, UIN Jakarta memiliki modal kuat yang membedakannya dari banyak kampus lain: kultur intelektual yang sudah terbentuk puluhan tahun. Tradisi diskusi, keterbukaan terhadap pemikiran modern, serta keterlibatan aktif dalam wacana kebangsaan adalah warisan yang seharusnya dijaga. Dengan modal ini, UIN Jakarta berpeluang besar menjaga dirinya dari krisis moral yang melanda kampus lain, dengan catatan tidak membiarkan tradisi itu mati tertelan birokratisasi.

Pertanyaannya: apakah UIN Jakarta cukup waspada? Kasus Makassar dan Riau seharusnya menjadi alarm dini. Jangan sampai UIN Jakarta terlena oleh reputasi dan sejarahnya. Label “universitas Islam” membawa tanggung jawab lebih berat dibanding kampus lain: ia dituntut bukan hanya menghasilkan sarjana pintar, tetapi juga pribadi berintegritas.

Langkah konkret yang perlu dilakukan antara lain memperkuat pengawasan internal, membangun sistem pembinaan mahasiswa yang holistik, memperhatikan kesejahteraan dosen, serta menjaga agar kultur intelektual kritis tetap hidup. Yang tidak kalah penting, UIN Jakarta perlu memastikan bahwa nilai Islam tidak hanya berhenti pada simbol atau jargon, tetapi hadir nyata dalam kehidupan kampus sehari-hari.

Dengan demikian, UIN Jakarta bisa membuktikan dirinya bukan sekadar besar secara kuantitas, tetapi juga kuat dalam kualitas moral dan spiritual. Karena jika tidak, ia bisa saja jatuh pada jebakan yang sama: menjadi universitas yang tampak modern dan berwibawa, tetapi kehilangan ruh Islam yang mestinya menjadi jiwanya.

Pada akhirnya, UIN Jakarta sedang berada di persimpangan: apakah ia akan tampil sebagai teladan bagi kampus Islam lainnya, atau sekadar menyusul dalam daftar panjang krisis yang mencoreng wajah perguruan tinggi Islam? Jawaban atas pertanyaan itu akan sangat ditentukan oleh pilihan dan langkah yang kita ambil hari ini.


Ketiga penulis merupakan pengajar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta