Tujuh Tanpa Tujuh
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ulama, seperti halnya pujangga, memang piawai merangkai kata, misalnya, "tujuh tanpa tujuh". Apa maksudnya?
Dalam magnum-opusnya, yakni Tanbihul Ghafilin, Abu Laits, mengutip perkataan seorang ahli hikmah. Menurutnya, percuma saja melaksanakan yang tujuh tanpa melakukan yang tujuh. Apakah itu?
Pertama, percuma saja berbuat baik karena takut tanpa dibarengi menjaga diri. Misalnya, "Aku takut terhadap siksa Allah SWT", namun ia tetap mengerjakan perbuatan dosa dan durjana. Sungguh perkataannya percuma saja.
Kedua, percuma saja berharap tapi tidak berusaha. Seperti perkataan, "Aku berharap beroleh pahala dari Allah SWT", namun orang itu tidak sama sekali berusaha ke arah perbuatan yang membuat Allah SWT memberinya pahala. Lagi-lagi percuma saja harapannya.
Ketiga, percuma saja ada niat di hati tanpa ada realisasi. Kalau semua amal baik baru ada pada alam niat, itu artinya niatnya belum sesungguh-sungguh niat. Karena kata Salim bin Sumair dalam Safinatun Najaa, niat harus dibarengi dengan perbuatan. Niat tanpa realisasi, percuma saja.
Keempat, kerap berdoa tanpa berusaha. Percuma saja memohon kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan untuk mengerjakan kebaikan, namun tidak melakukan usaha apa-apa. Doa itu harus berdampingan dengan usaha. Bila tidak, percuma saja.
Terkait hal ini Allah SWT menegaskan, "Dan orang-orang yang sungguh-sungguh dalam (mencari keridhaan) Kami, niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik" (QS. al-Ankabut/29: 69).
Kelima, minta ampun tanpa merasa menyesal. Padahal minta ampun itu timbul dari rasa menyesal. Inilah minta ampun yang hanya menyembul di bibir saja, hatinya tetap menantang Allah SWT.
Keenam, percuma saja melakukan kebaikan pada saat dilihat orang, pada saat tidak ada orang yang melihatnya, ia mengabaikannya. Inilah kebaikan yang didedikasikan karena apa dan siapa, bukan karena Allah SWT.
Ketujuh, percuma saja berbuat sungguh-sungguh tanpa dibarengi ikhlas. Sebab ikhlas itu pangkal diterimanya usaha. Sungguh-sungguh baru ibadah badan, perlu ibadah hati, yakni ikhlas. Kalau hanya sungguh-sungguh, bisa jadi karena ingin dipuja, seperti ingin dikatakan kuat dan digdaya. (sam)