Tuduhan Bid`ah
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal
Bid’ah sering diartikan dengan sebuah praktek atau kebiasaan yang bersifat ritual dilakukan seseorang yang tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Nabi.
Bid’ah di dalam masyarakat kita lebih berkonotasi negatif. Tuduhan bid’ah yang dilakukan orang kepada sebuah tradisi keagamaan yang sudah mapan dilakukan oleh kelompok umat atau mazhab tertentu sering menimbulkan polemik bahkan konflik.
Praktek bid’ah sesungguhnya memang ada tetapi itu yang berhubungan dengan ibadah mahdhah. Seperti melakukan shalat sunnat sesudah shalat subuh atau sesudah ashar. Namun hal-hal yang bersifat non-ritual seperti urusan mu’amalah dan mekanisme kehidupan sehari-hari setiap orang, tidak seharusnya langsung dituding sebagai praktek bid’ah.
Pengamalan praktek ajaran suatu mazhab tidak sepantasnya dituding sebagai bid’ah jika berbeda dengan mazhab yang kita anut.
Para ulama sering membedakan antara bid’ah negatif (bid’ah sayyiah) dan bid’ah positif (bid’ah hasanah). Bid’ah sayyiah inilah sesungguhnya yang dilarang oleh Rasulullah Saw sebagaimana disebutkan dalam: “Kullu bid’atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin nar” (Setiap bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan itu di dalam Neraka).
Sedangkan bid’ah hasanah ialah praktek dan kebiasaan yang positif di dalam kehidupan masyarakat yang bersifat non ritual, sekalipun itu tidak pernah dilakukan Nabi. Contohnya, Nabi dahulu kala mengendarai unta saat menenunaikan ibadah haji, sedangkan kita sekarang ini menggunakan mobil dan pesawat.
Berkendaraan mobil dan pesawat tidak pernah dilakukan Nabi, tapi tidak dianggap bid’ah karena jenis kendaraan dan cara mengendarainya sesuatu yang bersifat non ritual, meskipun itu terkait dengan ibadah haji.
Persoalan bid’ah akhir-akhir ini muncul karena dimunculkan oleh sekelompok orang yang mungkin niatnya betul-betul ingin memelihara kemurnian ajaran agama dari berbagai praktek syirik, khurafat, dan hal-hal yang bersifat spekulatif. Namun muncul masalah karena seringkali kata bid’ah ini digunakan untuk menyerang sebuah tradisi atau kreasi lokal yang dihubungkan dengan ibadah.
Kata ibadah ini sendiri juga seringkali menimbulkan persoalan tersendiri, karena ada yang mendefinisikannya terlalu luas, yakni segala sesuatu yang dilakukan dengan niat baik karena Allah Swt adalah ibadah. Ada orang yang mendefinisikannya terlalu sempit, yakni ibadah yang mahdhah, yaitu ibadah ritual yang dilakukan secara rutin seperti shalat dan puasa.
Wilayah abu-abu seringkali muncul, seperti praktek budaya yang menyertai perkawinan. Rukun dan dan syarat perkawinan secara syari’ah sangat simple. Cukup ada sepasang calon pengantin berlainan jenis dan memenuhi segala syarat perkawinan, mempunyai dua saksi, ada wali sah yang mengawinkannya, ada mahar, dan akad yang sah. Selebihnya itu hanya variasi.
Sekelompok orang yang sering melontarkan bid’ah kepada orang yang melibatkan tradisi budaya yang bersifat unik, seperti sungkeman terhadap kedua orang tua, dengan alasan Nabi tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Demikian pula di sekitar upacara pemakaman seringkali juga dipandang ada praktek bid’ah, karena melibatkan tradisi lokal di dalam rangkaian pemakaman, seperti praktek siraman menggunakan air khusus di dalam botol, takziyah sampai malam ketiga atau ketujuh, makan di rumah orang keluarga yang meninggal. Termasuk menyertakan foto almarhum/ almarhumah ke pemakaman.
Tudingan bid’ah seperti ini harus hati-hati, karena meskipun Nabi tidak pernah melakukannya tetapi beberapa praktek yang sudah menjadi adat istiadat dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja, karena itu juga memiliki fungsi yang berarti di dalam masyarakat.
Itu pun belum tentu bid’ah dalam arti sesungguhnya karena menyangkut wilayah abu-abu. MUI perlu memberikan ketegasan terhadap hal-hal yang bersifat khilafiyah. Sembarangan menuduh orang bid’ah bisa masuk ke dalam kategori penistaan agama (religious hate speech).
Sumber: rm.id. (mf)