Transformasi Peran Guru di Sekolah

Transformasi Peran Guru di Sekolah

Oleh Prof. Maila Dinia Husni Rahiem M.A., Ph.D.
Guru Besar di bidang Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesejahteraan Sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Di kelas, seorang guru matematika tidak hanya bertugas menuliskan rumus-rumus di papan tulis. Ia juga harus peka menangkap bahwa siswa pendiam yang tampak canggung ternyata bisa bersinar saat diminta menjelaskan strategi penyelesaian soal kepada teman-temannya.

Di lapangan, seorang guru olahraga tidak cukup hanya meniup peluit; ia harus mampu mengubah tangisan akibat kekalahan tim menjadi pelajaran berharga tentang sportivitas, bangkit dari kegagalan, serta menghargai lawan.

Momen-momen sederhana ini memperlihatkan bahwa setiap guru—apa pun mata pelajaran yang diampunya—memiliki peran penting sebagai guru bimbingan konseling (BK).

Mereka adalah pendengar pertama, pembaca isyarat emosi siswa, sekaligus penuntun awal dalam perjalanan karakter anak.

Krisis rasio dan stigma

Idealnya, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021, satu guru BK mendampingi 150 siswa. Namun, kenyataan di lapangan amat jauh dari angka ideal ini.

Di jenjang sekolah dasar, hampir tidak ada posisi khusus guru BK karena belum diwajibkan oleh sistem pendidikan dasar kita.

Akibatnya, guru kelas dipaksa menjadi “psikolog dadakan” tanpa pelatihan dan bekal yang memadai.

Di tingkat SMP dan SMA, kekurangan tenaga BK disebabkan minimnya pengangkatan guru BK baru, terbatasnya formasi dalam penerimaan guru, serta anggapan keliru bahwa tugas BK adalah tugas tambahan.

Dampaknya, seorang guru BK kerap harus melayani antara 500 hingga 1.500 siswa, bahkan lebih. Beban ini menjadikan deteksi dini terhadap masalah psikologis siswa seperti depresi, kecemasan, atau potensi-potensi terpendam nyaris mustahil dilakukan.

Selain persoalan rasio, ada pula stigma negatif yang melekat pada ruang BK. Ruang BK sering dianggap sebagai "kantor polisi sekolah" yang hanya dikunjungi siswa yang terlibat masalah seperti tawuran, membolos, atau kasus narkoba.

Stigma ini menyebabkan siswa enggan mencari bantuan secara sukarela. Padahal, hakikat layanan BK bukanlah sebagai alat disiplin atau penghukum, melainkan sebagai developmental guidance—pendampingan holistik untuk membantu siswa dalam mengelola emosi, merancang masa depan, mengembangkan keterampilan sosial, serta membangun hubungan interpersonal yang sehat.

Karena stigma tersebut, potensi besar layanan BK sering terabaikan, sehingga banyak siswa tumbuh tanpa pendampingan emosional dan sosial yang semestinya mereka dapatkan.

Inspirasi praktik global

Berbagai negara di dunia telah menyadari bahwa BK bukan sekadar layanan tambahan, tetapi bagian penting dari pendidikan yang utuh dan manusiawi.

Di Amerika Serikat, konselor sekolah menggunakan pendekatan Model ASCA (American School Counselor Association).

Dalam pendekatan ini, konselor rutin masuk kelas untuk mengajarkan siswa mengelola stres, menyelesaikan konflik antarteman, dan menyusun rencana akademik serta karier masa depan.

Tiga ranah—akademik, karier, dan kesehatan mental—mendapatkan perhatian yang sama pentingnya.

Finlandia bahkan memiliki filosofi lebih mendalam, yaitu Pedagogical Care, yang mengintegrasikan seluruh staf sekolah dalam memastikan kesejahteraan psikologis siswa.

Semua pihak di sekolah—dari kepala sekolah hingga pustakawan—turut bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan emosional anak.

Di sini, konselor sekolah berperan sebagai spesialis pendukung yang membantu guru menghadapi tantangan perkembangan siswa secara lebih optimal.

Tidak hanya negara maju, negara berkembang seperti Malaysia juga memberikan contoh baik. Di Malaysia, sistem BK diintegrasikan langsung ke dalam kurikulum sekolah.

Guru-guru kelas mendapatkan pelatihan dasar konseling untuk turut membantu konselor profesional di sekolah.

Mereka aktif memantau kondisi psikologis siswa sehari-hari, sedangkan konselor profesional hadir untuk kasus-kasus yang membutuhkan penanganan khusus dan mendalam.

Pelajaran dari negara-negara tersebut jelas: bimbingan konseling yang efektif adalah hasil kerja bersama seluruh ekosistem sekolah.

Kolaborasi yang kuat antara konselor, guru mata pelajaran, dan seluruh komunitas sekolah menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat secara emosional serta mendorong siswa berkembang secara optimal, baik secara akademik maupun sebagai manusia seutuhnya.

Tujuh jurus BK hebat untuk semua guru

Menanggapi krisis ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah meluncurkan pelatihan yang dinamakan "Tujuh Jurus BK Hebat" untuk seluruh guru.

Program ini tidak bertujuan menggantikan konselor profesional, melainkan memperluas cakupan pendampingan melalui guru-guru yang sehari-hari sudah dekat dengan siswa di kelas.

Guru dilatih mengenali potensi tersembunyi siswa, membantu mereka menamai dan mengatur perasaan, serta menumbuhkan daya tahan agar kegagalan dapat berubah menjadi pembelajaran.

Guru juga diajak menciptakan iklim belajar yang stabil dan aman, menjalin hubungan emosional yang kuat dengan siswa, serta mempererat kolaborasi dengan orangtua maupun sesama guru.

Selain itu, guru didorong untuk merancang lingkungan belajar fisik dan sosial yang inklusif, tempat di mana setiap anak merasa diterima dan dihargai.

Bayangkan dampak positif ketika seorang guru Bahasa yang pandai menjalin hubungan emosional menjadi tempat curhat pertama siswa yang mengalami tekanan emosional.

Wali kelas yang terlatih mengenali potensi siswa dapat menemukan bakat seni pada siswa yang selama ini dianggap lemah dalam pelajaran eksakta.

Guru BK tetap berperan sebagai koordinator yang menyatukan dan mengarahkan seluruh usaha tersebut, menjadikan upaya ini lebih terarah dan efektif.

Transformasi peran guru dalam bimbingan siswa tidak boleh terhenti sebatas wacana dalam dokumen atau modul digital.

Perubahan ini memerlukan langkah nyata untuk mengubah mindset dan memperkaya keterampilan praktis para guru.

Pelatihan tidak hanya berisi teori-teori abstrak, tetapi juga harus praktis, aplikatif, mudah dipahami, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari di kelas.

Selain itu, perlu ada regulasi jelas yang mengatur beban kerja guru agar peran pembimbingan siswa menjadi bagian integral dari tugas mereka.

Beban administrasi guru perlu dikurangi agar mereka memiliki waktu dan energi yang cukup untuk menjalankan peran bimbingan ini secara optimal.

Guru BK harus menjadi navigator utama, sementara guru mata pelajaran menjadi ujung tombak dalam mendeteksi secara dini masalah-masalah yang dialami siswa.

Seluruh proses ini juga harus dievaluasi secara berkala agar dampaknya benar-benar nyata dan berkelanjutan.

Transformasi ini bukan bertujuan menambah beban guru, tetapi justru memulihkan hakikat profesi mereka: menjadi pendamping tumbuh-kembang anak secara menyeluruh.

Dengan pelatihan konseling dasar yang memadai, guru akan mampu membantu siswa mengelola emosi, bangkit dari kegagalan, dan tumbuh menjadi pribadi tangguh yang memahami dirinya serta menghargai sesamanya.

Kini saatnya menjadikan gagasan "Setiap Guru adalah Guru BK" sebagai budaya sekolah Indonesia.

Dengan begitu, siswa tidak hanya berhasil dalam akademik, tetapi juga lulus sebagai individu yang siap menghadapi tantangan kehidupan.

Transformasi peran guru inilah investasi terbaik bangsa menghadapi perubahan zaman yang semakin cepat.

(Artikel ini telah dipublikasikan di Kompas.com pada Minggu, 13 Juli 2025)