Transformasi Institusional dan Akreditasi PesantrenMu Pascamuktamar

Transformasi Institusional dan Akreditasi PesantrenMu Pascamuktamar

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Alhamdulillah, Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) berlangsung lancar, aman, tertib, damai, guyub, dan menggembirakan. Melalui muktamar berkemajuan dengan menggunakan e-voting, telah terpilih 13 anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dari 13 anggota PP terpilih, 9 orang tergolong “muka lama” dan 4 orang “muka baru”, yaitu: Prof. Dr. Syamsul Anwar, Dr. Saad Ibrahim, MA. Prof. Dr. Hilman Latif, dan Prof. Dr. Irwan Akib. Dari 4 muka baru, 2 orang “berdarah segar”, yaitu Prof. Dr. Hilman Latif dan Prof. Dr. Irwan Akib. Melalui aklamasi, musyawarah 13 anggota formatur menyepakati dan menetapkan Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si dan Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah untuk masa bakti 2022-2027.

Kita sangat berharap 13 anggota PPM  bisa menyerap aspirasi dan ekspektasi banyak pihak, terutama para pengelola dan komunitas pesantren Muhammadiyah se-Indonesia (selanjutnya disebut PesantrenMu) untuk membawa “angin segar”, berupa transformasi institusional dari Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) menjadi Majelis Pesantren. Transformasi institusional ini merupakan harapan dan aspirasi banyak pihak, agar pesantren yang sudah berkembang secara kuantitatif maupun kualitatif dapat menjadi sistem pendidikan lebih berkemajuan.

Transformasi Institusional

Setidaknya, ada 10 argumen pentingnya transformasi LPP menjadi Majelis Pesantren. Pertama, secara nasional, Muhammadiyah saat ini mengalami kelangkaan –kalau tidak disebut krisis— ulama dan ustadz. Sejumlah pesantrenMu mengeluhkan minimnya ketersediaan ustadz atau ulama. LP2 PPM sering diminta bantuan pengiriman ustadz atau ulama yang memiliki kompetensi keulamaan dan kepesantrenan yang mumpuni dan siap mewakafkan dirinya untuk memajukan pesantrenMu, namun tidak dapat dipenuhi karena “stoknya” tidak ada.

Kedua, setelah LP2 PPM dibentuk pascamuktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar (Juli 2015), gairah dan spirit warga persyarikatan Muhammadiyah untuk mendirikan pesantren sangat tinggi, tetapi kurang didukung ketersedian SDM, khususnya ustadz dan ulama yang memadai. Ketika dilakukan rekrutmen calon ustadz secara terbuka, pada umumnya yang melamar dan diterima adalah bukan kader Muhammadiyah. Penerimaan ustadz non-Muhammadiyah sangat dilematis dan potensial menimbulkan masalah di kemudian hari.

Ketiga, sebagian ustadz non-kader Muhammadiyah yang direkrut pesanrenMu itu ada yang bisa beradaptasi dan “memuhammadiyahkan” diri, tetapi ada pula yang tetap istikamah dengan ideologi lamanya. Bahkan, ini yang sangat berbahaya, diam-diam, ustadz tadi berupaya mewarnai pesantrenMu dengan shibghah yang tidak sejalan dengan manhaj Muhammadiyah, sehingga menimbulkan friksi dan potensi konflik internal.

Keempat, ada beberapa sekolah atau Madrasah Muhammadiyah yang nyaris “gulung tikar”, setelah didesainkan menjadi pesantren ternyata bisa bangkit dan berkembang maju. Di antara sekolah/madrasah dimaksud adalah SMP Muhammadiyah Pracimantoro Wonogiri, MTs Muhammadiyah Sangen Waru Sukoharjo, SMP Muhammadiyah Jatinom Klaten, SMP Muhammadiyah Wawadadi Banjarnegara, MTs Muhammadiyah Wanayasa Banjar Negara, SMP Muhammadiyah Wana Pringgo Pekalongan, dan SMP Muhammadiyah Pemalang.

Kelima, LP2PPM selama ini hanya diberi kewenangan membuat: (1) regulasi (pedoman, panduan SOP tentang pesantren), (2) standardisasi sistem Pendidikan pesantrenMu (Kurikulum, silabus, dan buku ajar. Alhamdulillah sudah 42 judul buku ajar berbahasa Arab untuk pesantrenMu telah ditulis dan dicetak), dan (3) masukan dan rekomendasi kepada PP Muhammadiyah terkait dengan pesantren. Sementara itu, sesuai tuntutan komunitas pesantrenMu se-Indonesia, LPP juga menyelenggarakan workshop kepemimpinan dan manajemen bagi Mudir pesantrenMu, pelatihan buku ajar pesantrenMu, pelatihan bahasa Arab, pelatihan bahasa Inggris, penguatan ideologi Muhammadiyah, hingga penulisan buku best practice pesantrenMu.

Keenam, sejauh ini LPP tidak memiliki anggaran khusus untuk pembinaan dan pengembangan pesantrenMu, sehingga setiap kali hendak mengadakan kegiatan (workshop, pelatihan guru/mudir pesantrenMu, hingga Rakornas) selalu memohon bantuan/dukungan dari AUM yang sudah lebih mapan dan bersedia menjadi tuan rumah dan mendanai penyelenggaraannya, seperti: UMY, UAD, UMS, UMM, UMP, UMB, UMC, UM Metro, UNIMUS, Mu’allimin, Mu’allimat, dan sebagainya. Alhamdulillah sejumlah AUM tersebut memberi dukungan positif, sehingga berbagai agenda pengembangan pesantrenMu dapat direalisasikan, dengan segala keterbatasan yang ada.

Ketujuh, bersama Majelis Dikdasmen, LP2 telah merumuskan RPJP Sekolah, Madrasah dan Pesantren Muhammadiyah tahun 2021-2045. RPJP ini menghendaki institusi yang memiliki SDM yang lebih memadai dan kewenangan pembinaan yang lebih luas dan komprehensif.  Pembinaan dan pengembangan pesantrenMu yang selama ini dilakukan  kurang menyentuh kebutuhan pesantrenMu, sehingga muncul asosiasi pesantren Muhammadiyah (ITMAM/Ittihad al-Ma’ahid al-Muhamamdiyah) yang mengurus persoalan pesantrenMu secara mandiri. Akibatnya, pesantrenmu berkembang dengan sistem dan polanya masing-masing dan bukan berbasis konsep dan sistem terpadu dari persyarikatan.

Kedelapan, beberapa produk regulasi dan standardisasi pengelolaan sistem pendidikan pesantrenMu telah dihasilkan oleh LP2 selama tujuh tahun terakhir berupa: kurikulum, silabus dan buku ajar (sebanyak 42 judul berbahasa Arab), Panduan Penyelenggaraan PesantrenMu, Budaya PesantrenMu, rintisan pendirian PUPM (Pendidikan Ustadz/ah Pesantren Muhamamdiyah) di UNISMUH Makassar, Panduan Kepengasuhan, dan RPJP sangat perlu dikawal dengan SDM yang memahami kepesantrenan melalaui institusi yang lebih solid dan dapat menjangkau arena pengembangan yang lebih komprehensif, holistik, dan integrative.

Kesembilan, terbitnya UU No.18 Tahun 2019 tentang Pesantren berdampak serius terhadap bentuk, pola pengasuhan, dan masa depan pesantrenMu, karena substansi UU tersebut belum mengakomodir bentuk pesantrenMu yang terintegrasi dengan pendidikan umum. Akibatnya, pesantrenMu hanya masuk ke dalam kategori pendidikan pesantren non-formal. Hal ini berdampak pada terbatasnya akses pesantrenMu dalam memperoleh berbagai peluang strategis (bantuan finansial, pendampingan, keikutsertaan dalam berbagai forum) di lembaga pemerintahan, terutama Kemenag dan Kemendikbud.

Kesepuluh, salah satu poin penting dari amanat Wakil Presiden dalam penutupan Muktamar Surakarta adalah pentingnya Muhammadiyah memiliki SDM mutafaqqih fi ad-din yang unggul. Untuk mewujudkan SDM mutafaqqih fi ad-din, pengembangan dan pemajuan sistem Pendidikan pesantrenMu mutlak menghendaki pembinaan dan pengembangan by design, bukan by nature, apalagi LP2 PPM memiliki agenda besar berupa program akreditasi dan internasionalisasi pesantrenMu.

Akreditasi sebagai Amanat Konstitusi

Selain itu, penting dipahami bahwa dunia pesantren itu berbeda dengan sistem pendidikan lainnya, seperti madrasah dan sekolah. Rukun pesantren: kiai, santri, masjid, asrama, dan kitab kuning dan/atau dirasah Islamiyyah harus terpenuhi, sementara madrasah dan sekolah tidak mensyaratkan pemenuhan syarat tersebut. Kelima rukun pesantren tersebut menghendaki adanya figur kiai (bisa kepemimpinan personal atau kolektif kolegial) sekaligus sistem kepengasuhan yang efektif dan efisien: mampu mewarnai dan membentuk karakter santri. Sistem kepengasuhan menghendaki SDM yang tidak hanya mutafaqqin fi ad-din, tetapi juga mampu menjadi teladan yang baik bagi para santri.

Beberapa kasus kekerasan berikut menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren menghendaki pola pengasuhan yang ramah santri. Kasus kekerasan fisik yang menyebabkan korban meninggal dunia di sebuah pesantren (September 2022) tidak hanya memperihatinkan, tetapi juga mengurangi kepercayaan publik terhadap pendidikan pesantren. Kekerasan dan kejahatan seksual yang viral di sebuah pesantren tahfizh di Kota Bandung dan Jombang Jawa Timur belum lama ini juga mencoreng wajah pesantren, sehingga menimbulkan keresahan masyarakat, terutama wali santri. Mengapa sistem pengasuhan, pembinaan, monitoring dan evaluasi santri kurang berfungsi optimal?

Selain itu, peristiwa “santri membakar santri” yang terjadi sebuah pesantren di Rembang, Jawa Tengah menghebohkan publik. Korban mengalami luka bakar hingga sekitar 70 persen. Aksi nekat ini diduga karena pelaku emosi menjadi bahan olok-olok atau bullying (jateng.inews.id, 1/10/2022). Beberapa aksi kekerasan di pesantren tersebut tampaknya bukan merupakan fenomena gunung es, tetapi hanya kasus insiden belaka, sehingga menimbulkan citra negatif atau kabar buruk pesantren.

Akan tetapi, beberapa kasus kekerasan di pesantren dan sistem pengasuhan yang tidak ramah santri tersebut menghendaki penjaminan mutu pendidikan pesantren agar masyarakat sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) maupun pengguna lulusan (user) tidak dirugikan. Sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional, akreditasi pesantren sudah menjadi sebuah kebutuhan dan keniscayaan standardisasi penyelenggaran pendidikan. Karena melalui akreditasi, proses penilaian kualitas pesantren berbasis kriteria baku mutu (instrumen akreditasi) dapat dilakukan secara profesional, standar, dan bermartabat.

LP2 PPM sudah merencanakan dan mendesain akreditasi pesantrenMu, karena melalui akreditasi ini Pendidikan pesantrenMu semakin bertata kelola dan bersistem kepengasuhan standar, sekaligus mendapat rekognisi nasional (dan internasional). Penting dipahami bersama, bahwa salah satu dasar pertimbangan diterbitkannya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (menimbang poin c) adalah untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi berdasarkan tradisi dan kekhasannya.

Oleh karena itu, dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan, pesantren menyusun kurikulum (pasal 25). Untuk menjamin mutu pendidikan pesantren, disusun sistem penjaminan mutu. Sistem penjaminan mutu dimaksud berfungsi: (a) melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan pesantren;  (b) mewujudkan pendidikan yang bermutu; dan (c) memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren (Pasal 26).

Dengan kata lain, akreditasi pesantren sejatinya merupakan amanat konstitusi yang harus dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga akreditasi mandiri. Sistem penjaminan mutu diarahkan pada aspek: (1) peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya pesantren; (2) penguatan pengelolaan pesantren; dan (3) peningkatan dukungan sarana dan prasarana pesantren (Ayat 3 Pasal 26). Untuk menggelorakan spirit pemajuan pesantrenMu, akreditasi pesantrenMu merupakan bagian integrasi dari penataan sistem kelembagaan, manajerial, dan fungsional pendidikan pesantren.

Selain merupakan amanat konstitusi, akreditasi pesantren juga merupakan bentuk akuntabilitas, kredibilitas, transparansi, dan pertanggungjawaban sosial pesantren kepada publik atas kualitas layanan pendidikan yang diberikan. Terlebih lagi, pesantren mengemban tiga fungsi utama: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat (pasal 4). Pendidikan pesantren juga harus berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil 'alamin dan berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 6 ayat 2).

Jadi, akreditasi pesantren dapat memperkuat kepercayaan publik. Pesantren yang terakreditasi itu bisa meraih predikat unggul, bermutu, dan berdaya saing tinggi, atau sebaliknya, sehingga harus berbenah diri dan berkomitmen meningkatkan budaya mutu. Karena akreditasi menjadi sarana penjaminan mutu pesantren sesuai standar pendidikan yang berlaku, sehingga pesantren berhak mendapatkan rekognisi (pengakuan) dari pemerintah dan masyarakat. Akreditasi menjadi jaminan kualitas layanan, kinerja, dan kepemimpinan pesantren, sekaligus menjadi sarana evaluasi diri, kompetisi, dan meraih reputasi tinggi.

Akreditasi Institusi

Tidak seperti Perguruan Tinggi, akreditasi pesantren idealnya diorientasikan kepada akreditasi institusi, karena apabila dalam pesantren itu terdapat satuan pendidikan menengah (MTs/SMP dan MA/SMA) dan pendidikan tinggi, maka setiap satuan pendidikan tersebut pasti melakukan audit mutu eksternal oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) dan BAN PT atau LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri). Akreditasi institusi paling tidak merepresentasikan pengelolaan dan sistem pengembangan pendidikan pesantren, tentu dengan instrumen akreditasi berkemajuan, berbasis outcome base education (pendidikan berbasis luaran) dan berbasis budaya mutu.

Dengan demikian, akreditasi institusi pesantren merupakan implementasi audit mutu eksternal terhadap legalitas,  identitas, ciri khas, tata pamong, tata kelola, kepemimpinan, kerjasama, santri, SDM (ustadz/pendidik dan tenaga kependidikan), kurikulum dan proses pembelajaran, sarana dan prasarana, keuangan, luaran dan produk pesantren. Aktualisasi akreditasi institusi harus dilakukan lembaga atau badan independen, terpercaya, dan profesional agar dapat menilai, mengaudit mutu, dan menetapkan peringkat akreditasi  secara obyektif, adil, dan arif.

Dalam UU No. 18 Tahun 2019 dijelaskan bahwa Majelis Masyayikh bertugas: (a) menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren; (b) memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum pesantren; (c) merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren; (d) merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;(e) melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan (f) memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah santri yang dikeluarkan oleh pesantren (Pasal 29 ayat 1-6)

Akreditasi pesantren di era digital ini dapat menjamin terwujudnya kinerja tata kelola pesantren yang unggul, modern, dan bereputasi tinggi. Reputasi pesantren pada gilirannya dapat memengaruhi persepsi publik terhadap kualitas alumni, kredibilitas institusi, integritas moral dan sosial pimpinan, pendidik dan tendik.  Selain itu, reputasi institusi sebagai hasil akreditasi juga menjamin aktualisasi fungsi dakwah dan pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi pesantren yang memang sangat potensial dikembangkan.

Sebagai upaya standardisasi mutu layanan pendidikan, akreditasi institusi  diharapkan dapat menyemai dan menumbuh-kembangkan budaya disiplin dalam tafaqquh fi ad-din, amanah dan ramah santri, tertib administrasi, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan keuangan dan aset umat, humanis dalam pengasuhan santri, hingga menjadi pesantren ramah santri dan ramah lingkungan, pesantren sehat, moderat, dan bermartabat.

Reputasi pesantren dapat dibangun dan dikembangkan melalui sistem akreditasi berbasis standar mutu, nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin, dan nilai budaya pesantren, seperti: keikhlasan, persaudaraan, kemandirian, moderasi, kolaborasi, ramah santri, percaya diri, integritas, disiplin, dan sebagainya. Reputasi pesantren itu ibarat pohon buah; harus ditanam, disiram, dipupuk, dan dipelihara bersama, agar dapat tumbuh subur, menjadi besar dengan cabang, ranting, dahan, dan kelebatan daunnya, sehingga memberi keteduhan, keindahan bunga, nutrisi dan kesegaran buah, dan kesejukan oksigen yang dihasilkannya.

Jadi, akreditasi pesantren secara berkala (misalnya 5 tahun sekali) oleh lembaga independen, imparsial, profesional, dan kredibel diharapkan menjadi solusi terhadap maladministrasi, mismanajemen, kejahatan seksual, kekerasan, perundungan, penyalahgunaan keuangan, dan sebagainya. Dengan akreditasi pesantren, monitoring dan evaluasi, supervise dan advokasi, jaminan mutu institusi, alumni, dan luaran (outcome) pesantren dapat dinikmati masyarakat. Sebaliknya, reputasi dan rekognisi pesantren sebagai pusat penyemaian calon ulama dan pemimpin masa depan dapat diandalkan.

Dan, melalui transformasi institusional dari LP2 menjadi Majelis Pesantren, dengan segenap jejaring dan sinergi SDM pesantrenMu dari pusat sampai daerah, ikhtiar peningkatan mutu pendidikan pesantrenMu melalui akreditasi, in syaa Allah, dapat diwujudkan. PesantrenMu berkemajuan (lebih maju, lebih ungguh, lebih berdaya saing tinggi, lebih modern, lebih mandiri, dan lebih bersinegi dengan AUM lainnya) merupakan harapan kita semua pascamuktamar Surakarta.