Transformasi Akademik dan Inovasi Pendidikan Tinggi

Transformasi Akademik dan Inovasi Pendidikan Tinggi

Ahmad Tholabi Kharlie

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi direspons gegap gempita oleh sivitas akademika perguruan tinggi di Indonesia.

Salah satu isu yang paling banyak disoroti adalah soal tidak adanya lagi kewajiban untuk menulis skripsi bagi mahasiswa strata 1 (S-1) dan kewajiban memublikasikan artikel di jurnal berkala ilmiah internasional bereputasi sebagai salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa program magister (S-2) dan doktor (S-3).

Beragam komentar publik terpotret di media sosial ataupun media massa atas beleid baru dari Kemendikbudristek ini. Misalnya, komentar sarjana yang baru lulus yang mengaku menyesal mengapa aturan ini baru muncul setelah ia diwisuda. Namun, tak sedikit pula yang menyoal secara kritis kebijakan baru ini.

Ragam respons publik itu menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap sistem pendidikan tinggi. Pada titik ini, hal itu harus dibaca sebagai wujud keterlibatan dan tanggung jawab warga terhadap mutu pendidikan kita.

Aturan baru tentang penjaminan mutu pendidikan tinggi ini sejatinya mengatur dua kluster yang dimaksudkan untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi, yakni kluster peningkatan mutu lulusan perguruan tinggi dan kluster peningkatan mutu penyelenggara pendidikan tinggi. Dua hal ini saling berkelindan yang pada gilirannya bermuara pada kualitas sebuah lembaga pendidikan.

Simplifikasi birokrasi

Transformasi sistem penjaminan mutu yang digulirkan Kemendikbudristek ini secara umum memberi pesan tentang penyederhanaan birokrasi (debirokratisasi) sekaligus otonomisasi bagi tiap perguruan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Persoalan birokratisasi dan otonomisasi perguruan tinggi, dari masa ke masa, kerap jadi momok sekaligus episentrum permasalahan tata kelola pendidikan tinggi di Indonesia.

Adagium populer ”kalau bisa dipermudah mengapa harus dipersulit?” menjadi gambaran semangat dari aturan baru ini. Kemudahan dan penyederhanaan ruang lingkup standardisasi mutu perguruan tinggi tampak kuat dari aturan baru ini. Lebih dari itu, perguruan tinggi memiliki otonomisasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.

Seperti dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat, jika selama ini terdapat delapan standar yang harus terpenuhi dalam penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat, seperti standar hasil, isi, proses, penilaian, pelaksanaan, sarana-prasarana, pengelolaan, dan pendanaan, dengan aturan baru diperas menjadi hanya tiga standar, yakni st andar luaran, proses, dan masukan.

Pada titik ini ada spirit debirokratisasi dan otonomisasi perguruan tinggi dalam menentukan penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat, termasuk beban pelaporan dalam proses akreditasi bagi perguruan tinggi.

Begitu juga dalam soal standar kelulusan, dalam aturan baru, untuk mencapai standardisasi mutu tidak lagi monolitik, tapi pluralistik. Seperti dalam aturan yang belakangan dipotret besar-besaran oleh publik soal standar kelulusan program sarjana, magister, ataupun doktor tidak lagi dengan menerapkan kewajiban tunggal tugas akhir dalam bentuk penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi.

Dalam aturan baru disediakan ragam pilihan, seperti prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lain yang sejenis, baik secara individu maupun berkelompok (Pasal 18 Ayat 9 huruf a, Pasal 19 Ayat 2, dan Pasal 20 Ayat 3). Dengan kata lain, skripsi, tesis, ataupun disertasi menjadi salah satu opsi kelulusan, tidak lagi menjadi satu-satunya opsi kelulusan sebagaimana yang berlaku selama ini.

Begitu juga dalam standar proses pembelajaran dan penilaian, perguruan tinggi memiliki ruang otonom untuk mengaturnya. Pada aturan sebelumnya, proses pembelajaran diatur secara rigid, seperti pembagian satu SKS dengan rincian tatap muka selama 50 menit/minggu, penugasan terstruktur 60 menit/minggu, dan kegiatan mandiri 60 menit/minggu.

Dalam aturan baru, satu SKS dirinci sebanyak 45 jam/semester dengan tanpa merinci sebagaimana dalam aturan sebelumnya, yang digantikan dengan keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk membagi waktu, disesuaikan dengan kebutuhan perguruan tinggi.

Di bagian lain, pengaturan tentang akreditasi juga mengalami perubahan cukup progresif. Seperti soal akreditasi, aturan baru mengamanatkan agar lebih disederhanakan dalam urusan status akreditasi. Tidak sekadar itu.

Dalam hal pembiayaan akreditasi wajib untuk program studi atau perguruan tinggi baru, baik di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) maupun di Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), yang semula menjadi beban perguruan tinggi, dengan aturan baru pemerintah yang menanggungnya.

Dari sisi substansi, pengaturan tersebut dapat dibaca sebagai upaya pemerintah dalam rangka memperluas ruang gerak perguruan tinggi untuk melahirkan inovasi yang meniscayakan kebutuhan ruang yang tidak sempit.

Tantangan di lapangan

Meski demikian, terdapat tantangan dalam kenyataan di lapangan. Kondisi obyektif perguruan tinggi, jika ditinjau dari sisi sumber daya, aksesibilitas, dan kemampuan, relatif beragam.

Seperti pembedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), perguruan tinggi di wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Termasuk perguruan tinggi di bawah naungan Kemendikbudristek dan di bawah kementerian atau lembaga lainnya.

Adanya kesenjangan yang terjadi sejatinya tidak membuat pemerintah lantas abai terhadap kondisi riil di lapangan. Jangan sampai ketersediaan ruang gerak yang luas dalam penjaminan mutu bagi perguruan tinggi malah justru melahirkan kesenjangan baru yang makin lebar. Perguruan tinggi yang kuat akan semakin akseleratif dan pada saat yang sama perguruan tinggi yang lemah justru kian tertatih mengatasi ketertinggalan.

Masa depan pendidikan tinggi

Meski demikian, Permendikbudristek No 53 Tahun 2023 bukanlah aturan sapu jagat, dengan semua permasalahan di perguruan tinggi dapat dituntaskan. Kehadiran aturan ini sejatinya sangat strategis karena mengatur soal mutu perguruan tinggi di Indonesia. Hitam putih perguruan tinggi di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh aturan ini dengan pelbagai catatan sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Di luar aspek penjaminan mutu yang berkorelasi dengan administrasi akademik dan/atau administrasi negara, mutu perguruan tinggi juga terkait dengan aktivitas sivitas akademika yang berkelindan dengan aktivitas ilmiah yang belakangan cukup dekat dengan kemajuan teknologi informasi.

Aktivitas intelektual yang merupakan core business perguruan tinggi saat ini terangkum melalui keberadaan big data yang memberi wajah baru bagi dunia pendidikan kita. Big data menjadi wadah untuk memotret kondisi perguruan tinggi, yang meliputi tenaga pendidik, tenaga kependidikan, layanan administrasi akademik, capaian akademik, hingga karya akademik sivitas akademika.

Melalui platform digital, akademisi di belahan dunia dapat saling terhubung dan berinteraksi satu dengan lainnya.

Di sisi yang lain, keberadaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang belakangan populer di kalangan sivitas akademika bak pisau bermata dua. Di satu sisi, kehadiran AI dapat memberi dampak positif dalam akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain juga melahirkan efek negatif terhadap proses transformasi ilmu pengetahuan.

Inilah salah satu tantangan serius bagi pengelola pendidikan saat ini. Persoalan hak cipta (copyright), perlindungan data pribadi, termasuk persoalan hak asasi manusia (HAM), turut membayang-bayangi. Karena itu, pengelolaan AI menjadi niscaya untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkannya.

Pengaturan AI, baik dalam konteks hukum negara maupun dalam konteks etika akademik, mendesak untuk segera dilakukan. Pengaturan ini semata-mata dalam rangka menempatkan kemajuan teknologi informasi dalam koridor keadaban di ruang publik.

Bagaimanapun, sebagaimana disebut Wendy Sutherland-Smith dalam Handbook of Academic Integrity (2016), digital telah melahirkan konstruksi baru dalam hak cipta kepenulisan terhadap teks. Bahkan, Tom Nichols (2017) menunjukkan bukti yang mencengangkan bahwa kehadirannya telah pula melahirkan apa yang disebut sebagai ”matinya kepakaran” (the death of expertise).

Kehadiran AI, dengan demikian, telah melahirkan kompleksitas atas persoalan hak cipta yang berkorelasi erat dengan integritas akademik. Inilah antara lain tantangan yang harus dijawab oleh para pelaku pendidikan saat ini. (ZM)

Penulis adalah Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Arikelnya dimuat di kolom opini KOMPAS, Senin 11 September 2023.