Tiga Tonggak Kehidupan
TERDAPAT tiga tonggak pengalaman manusia yang sangat fundamental dan memengaruhi kehidupan seseorang, yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian.Â
Kita hidup dan berada saat ini karena adanya peristiwa kelahiran. Anehnya, meski semua pernah mengalami, kita sudah lupa dan tidak tahu bagaimana hal itu terjadi serta tidak mungkin bisa mengulangi. Kita terlahir di mana, kapan, dan dari orangtua yang mana, semuanya berdasarkan cerita yang kemudian kita percayai.Â
Tapi kita sendiri secara rasional tidak memiliki argumentasi serta bukti, melainkan semata berdasarkan kata orang bahwa kita terlahir. Kalau saja setiap anak menginginkan bukti medis-empiris asal-usul orangtuanya, bisa terbayang, bagaimana repotnya orangtua untuk membuktikan dan sangat bisa jadi akan menimbulkan pertengkaran antara anak dan orangtua.Â
Secara rasional, mungkin sekali seseorang ragu asal usul orangtuanya, lalu mendesak agar ada bukti medis dengan tes DNA. Kasus semacam ini sering terjadi, paling tidak dalam adegan film atau sinetron di layar televisi,karena ada keraguan, entah dari anak atau orangtuanya.Â
Kalau dalam sinetron, itu terjadi karena keteledoran perawat di rumah sakit saat memasang label nama bayi. Atau hal itu bermula karena ada skandal jual-beli atau pencurian anak dan setelah besar lalu muncul keraguan antara anak dan orangtuanya. Syukurlah kasus itu hanya sedikit. Dengan sikap yakin terhadap kedua oangtua kandung, hidup kita menjadi tenang,relasi keluarga berlangsung akrab dan bagus, meski tidak semua keyakinan mesti benar.Â
Peristiwa kedua adalah pernikahan yang terjadi antara kelahiran dan kematian. Peristiwa ini merupakan poros kehidupan yang menjaga kelangsungan generasi masyarakat manusia agar manusia terus bertahan dan bahkan berkembang terus di atas planet bumi ini. Bayangkan,apa yang terjadi dengan planet bumi kalau saja jenis manusia punah?Â
Yang akan mengisi mungkin hanya tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pasti tak akan muncul peradaban dengan pilar teknologi canggih seperti yang kita saksikan dan nikmati sekarang ini. Tak akan ada negara, tak ada pemilu, tak ada pesawat terbang, tak ada handphone, tak ada sekolah, tak ada komputer.Â
Planet bumi mungkin merasa kesepian ditinggalkan manusia, tapi mungkin juga senang dan tenang karena lingkungan tetap asri, tak ada yang merusak. Jadi, pernikahan merupakan poros dan puncak kurva kehidupan. Seseorang terlahir lalu berkembang melalui perkawinan dan setelah itu kurva kehidupan menurun berujung pada kematian.Â
Dengan demikian, sangat logis kalau pernikahan itu diwajibkan oleh Nabi Muhammad. Orang yang antipernikahan sama halnya dengan antikehidupan dan berarti pula menyangkal rahmat-Nya untuk memakmurkan bumi seisinya ini.Â
Pernikahan adalah suci dan mulia karena lewat pernikahan, sepasang suami-istri tengah melaksanakan cetak-biru Tuhan untuk menjaga keturunan agar panggung sejarah berlangsung sebagai lokus manifestasi sifat-sifat Tuhan sehingga yang Ilahi tampil dalam wilayah yang profan dan yang profan selalu tersambung dengan yang Ilahi. Peristiwa ketiga adalah kematian.Â
Kematian dan kelahiran memiliki kemiripan. Setiap orang mengalaminya, tapi tidak sanggup menceritakannya. Kalaupun bercerita tentang kelahiran diri kita sendiri, itu berdasarkan cerita orang lain.Sebaliknya,seseorang mengalami kematian,tapi tak sanggup menceritakan karena terputus kemampuannya untuk berkomunikasi dengan teman yang masih hidup.Â
Apakah kematian itu membuat seseorang menangis kesakitan seperti dalam peristiwa kelahiran ataukah sebaliknya membuat seseorang tertawa lega setelah mati,kita tidak tahu karena komunikasi terputus.Â
Nah, di antara dua peristiwa yang penuh misteri itu, adalah pernikahan yang seseorang bisa mengalami lalu menceritakan dan bahkan bisa mengulanginya lagi dan lagi. Jadi, peristiwa pernikahan atau perkawinan seakan merupakan puncak dan mata rantai kehidupan yang darinya diharapkan akan melahirkan generasi yang semakin baik bagi masa depan sejarah manusia.Â
Secara antropologis, lembaga perkawinan yang kemudian membentuk lembaga rumah tangga, adalah tempat kelahiran bagi generasi mendatang dan tempat kematian bagi orangtua yang telah melaksanakan tugas menyambung generasi. Serah terima estafet kehidupan itu dilakukan melalui lembaga perkawinan. Jika lembaga ini kuat,kokoh,dan berhasil melahirkan serta menyemai bibit generasi unggul, maka masa depan peradaban sebuah masyarakat dan bangsa akan semakin meningkat dan membaik.Â
Sebaliknya, kalau miskin gizi,pendidikan,dan kesehatan, sebuah bangsa akan semakin lemah. Fenomena ini mudah diamati dalam realitas dan sejarah.Bangsa yang maju adalah bangsa yang kualitas rumah tangga para pemimpinnya bagus secara moral, intelektual, dan fisikal, lalu diteruskan pada kehidupan rumah tangga rakyatnya.Â
Betapa peristiwa pernikahan itu sangat penting dan menyedot emosi keluarga. Coba saja lihat,amati,dan bandingkan, bagaimana kita merayakan peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian. Pasti perhelatan pernikahan paling meriah dan memerlukan banyak sekali pertimbangan.Â
Sejak dari memilih tanggal dan tempat, hidangan yang akan disajikan, baju pengantin dan seragam panitia, daftar tamu yang hendak diundang, desain undangan yang hendak diedarkan sampai dengan rias pengantin dan ruangan, semuanya memerlukan persiapan matang-matang sejak jauhhari,bulan,bahkantahun.Â
Setelah resepsi pernikahan, muncul sekian banyak pertimbangan baru berkaitan dengan tempat tinggal, pembagian peran antara suami-istri, hubungan dengan mertua dan saudara, jumlah anak yang diinginkan, dan bagaimana gambaran ideal masa depan keluarga. Belum lagi gelombang pasang-surut biduk kehidupan rumah tangga.Â
Semua ini menunjukkan betapa peristiwa pernikahan membawa implikasi perubahan hidup yang sangat besar bagi seseorang. Penghubung tiga tonggak peristiwa kehidupan tadi (lahir, nikah, dan mati) agar ketiganya bermakna adalah komitmen dan prestasi seseorang untuk menorehkan dan mewariskan amal kebajikan yang bermanfaat bagi orang lain.Dalam hal ini,belajarlah dari pohon pisang. Dia baru rela mati kalau sudah mempersembahkan buahnya bagi yang lain, entah hewan atau manusia, bukan untuk dirinya.(*)Â
* Artikel ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jumat 20 February 2009Â
** Prof Dr Komaruddin Hidayat adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta