Tiga Benteng Amal
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam Tanbihul Ghafilin, Imam Abu Laits menuliskan perkataan Imam Syaqiq tentang tiga benteng amal. Pembahasan soal ini diutarakan Imam Abu Laits sebagai solusi alternatif menghadapi riya yang menggerogoti ibadah seorang hamba. Bahkan orang yang riya diharamkan masuk surga.
Saking pentingnya melepaskan diri dari riya, Imam Syaqiq membuat formulanya. Pertama, seseorang hendaknya memandang bahwa amal itu dari Allah. Hal ini penting untuk menghancurkan sikap sombong.
Kedua, dalam beribadah seyogyanya seseorang ingin meraih ridha Allah semata. Hal ini penting untuk menghancurkan hawa nafsu yang menyelinap dalam amal. Ketiga, hendaklah amal didedikasikan semata untuk meraih pahala dari Allah. Hal ini penting untuk menghancurkan serakah. Ketiga hal ini, kata Imam Syaqiq, dapat membuat amal jadi ikhlas.
Tentang benteng pertama, bagi Imam Abu Laits, penting untuk memahami bahwa amal berasal dari Allah. Karena memang Allah yang memberi petunjuk kepada seseorang untuk beramal. Apabila hal ini dipahami dengan baik, kata Imam Abu Laits, sesudah berbuat baik seseorang akan segera sibuk bersyukur dan tidak sombong (atas apa yang dilakukannya). Manusia tak mampu berbuat apa-apa tanpa taufik dari Allah.
Mengenai benteng kedua, yakni menginginkan ridha Allah semata, membuat apa saja yang akan dilakukan seseorang lebih dahulu dikonfirmasi dan diidentifikasi. Misalnya, kata Abu Laits, apabila suatu amal dilakukan dengan ikhlas dan terdapat ridha-Nya, maka pilihannya adalah dikerjakan. Namun sebaliknya, harus ditinggalkan agar tidak mengerjakan sesuatu atas dasar nafsu. Allah tegaskan, "Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku" (QS. Yusuf/12: 53).
Tentang benteng ketiga, yakni hanya mencari pahala dari Allah semata, dapat dimaknai dengan dua hal. Pertama, beramal ikhlas karena Allah, bukan karena apa atau siapa. Kedua, beramal dengan tidak memedulikan apa kata orang tentang apa yang dikerjakan.
Ulama memberi pelajaran agar dalam beramal, seperti shalat, hendaknya mencontoh penggembala kambing. Sang penggembala kendati shalat di hadapan kambing-kambingnya, namun ia tidak memedulikan mereka. Sang penggembala sama sekali tidak mengharap respons dari mereka, berupa pujian ataupun celaan. Sang penggembala hanya mengharap ridha-Nya dan pahala di sisi-Nya kelak di akhirat.
Begitu juga kita, seharusnya saat bersama-sama ataupun sendiri, kita sama sekali tidak perduli dengan respons orang mengenai amal yang kita lakukan. Kita juga seharusnya menyingkirkan pujian orang terhadap kita. Orang yang tak lagi suka terhadap pujian dapat dikatakan sebagai orang yang tidak lagi digerogoti riya. Terbebas dari riya sebenarnya mudah: sembunyikan saja semua perbuatan baik seperti halnya menyembunyikan semua perbuatan buruk.
Pertanyaannya, ketika beramal belum ikhlas, apakah kita harus berhenti melakukannya karena tidak berpahala dan beroleh ridha-Nya? Tentu jawabannya, terus saja melakukan kebaikan. Lawan terus riya hingga secara perlahan kita jadi ikhlas. Bahkan buat diri kita tidak sadar bahwa selama ini kita sudah ikhlas beramal.(sam)