Teologi Untuk Kaum Tertindas (1)

Teologi Untuk Kaum Tertindas (1)

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

“Semua penafsiran teks yang menindas harus ditolak.” Secara substansial Islam sejak awal dipromosikan sebagai agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan. (Q.S. Ali ‘Imran/3:112). Kualitas keberagamaan seseorang ditentukan oleh prestasi sosialnya. Kualitas keshalehan tidak hanya diperoleh melalui upaya pensucian diri (riyadlah nafsiyyah melainkan juga kepedulian terhadap penderitaan orang lain (Q.S. Al-Ma’un/107:1-7).

Islam sebagai suatu totalitas sistem mencakup berbagai aspek, baik aspek duniawi maupun ukhrawi. Berbeda dengan agama-agama lain, seperti Kristen yang sejak awal melakukan pemisahan antara urusan agama yang bercorak keakhiratan dan urusan negara yang bercorak keduniawian. Urusan agama berada di bawah otoritas gereja dan negara berada di bawah otoritas penguasa. Keduanya membagi tema-tema garapan masing-masing yang belakangan perbedaan tersebut semakin sulit diidentifikasi.

Munculnya konsep Teologi Pembebasan (Theology of Liberation) dari Gutieres dalam agama Kristen dengan berbagai corak dan derivasinya, adalah sebagai reaksi terhadap konsep teologi sebelumnya yang dinilai kurang menyentuh tema-tema persoalan ril masyarakat yang semakin kapitalis dan korup. Konsep teologi pembebasan dapat difahami sebagai “intervensi” wilayah garapan Gereja ke wilayah garapan Kaisar atas nama Tuhan demi kemanusiaan.

Konsep teologi ini memproklamirkan suatu konsep teologi dari “bawah” ke “atas”, yakni merefleksikan realitas sosial kemudian mengartikulasikan teks kitab suci terhadapnya; berbeda dengan sebelumnya, teologi dari “atas” ke “bawah”, yakni teks kitab suci yang mengidealkan dan mengorder sebuah realitas sosial. Sayang sekali Teologi Pembebasan ini lahir di Amerika Latin yang komunis sehingga penilaian terhadapnya sarat dengan bias politik.

Sumber: rm.id., Sabtu, 11 Desember 2021. (mf)