Teologi Berbagi
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Salah satu fitrah manusia adalah peduli, empati, memberi, atau berbagi. Dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) yang merupakan cerminan nama terbaik Allah (al-Asma’ al-Husna) seperti al-Ghani (Maha Kaya), ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki), al-Wahhab (Maha Pemberi), ar-Rahman ar-Rahim (Maha Pengasih, Maha Penyayang), al-Muqit (Maha Pemberi rezeki), al-Karim (Maha Pemurah). Namun demikian, sebagaian manusia rezekinya berlimpah dan sebagian yang lain rezekinya susah.
Secara teologis, mustahil semua rezeki manusia itu sama rata. Maka itu, kaya dan miskin, rezeki melimpah atau rezeki susah merupakan sunnatullah, ketetapan Allah yang berlaku bagi hamba-Nya, agar satu sama lain saling membutuhkan, saling tolong-menolong, saling memberi, dan saling berbagi.
Dalam buku The Power of Giving karya Harvey Mackinnon dan Azim Jamal dijelaskan bahwa memberi tidak akan pernah merugi. Semua itu akan kembali kepada pemberi itu sendiri, baik berupa materi maupun kebahagiaan dan kesejahteraan. Tidak ada orang yang menjadi miskin karena memberi (No one has ever become poor by giving). Nabi SAW bahkan menegaskan “harta sama sekali tidak berkurang karena disedekahkan.” (HR Mulim).
Teologi berbagi itu sarat energi positif yang membahagiakan hati sekaligus mengusir kesedihan. Dalam The Power of Giving juga ditegaskan bahwa “ada dua cara untuk menghilangkan kesedihan. Pertama, membuat orang di sekitarmu tersenyum. Kedua, berbagi dan memberi apa yang bisa diberikan.”
Berbagi itu memang membahagiakan, karena Allah SWT membuat perumpamaan luar biasa bagi hamba-Nya yang bermurah hati untuk berbagi (bersedekah, berinfak, berderma) di jalan Allah. “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah ibarat sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tersebut ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah/2:261)
Teologi berbagi itu merupakan aktualisasi spirit filantropis untuk menabur dan menebar kebajikan dan kesalehan sosial. Muslim yang berteologi berbagi pasti meyakini bahwa rezeki, harta kekayaan, atau karunia yang diberikan Allah SWT itu bukan menjadi hak miliknya secara mutlak. Karena sebagian harta itu ada hak orang lain. Maka itu, berbagi merupakan manifestasi rasa syukur atas karunia-Nya.
Berbagi kebahagiaan itu kunci keberkahan. Rezeki yang dianugerahkan oleh Allah pasti memberi nilai tambah kebaikannya bagi pemberi. “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS al-Baqarah/2: 276).
Selain itu, teologi berbagi mengedukasi kita untuk meyakini bahwa sedekah itu peredam kemurkaan Allah. “Sedekah itu dapat memadamkan murka Allah dan mencegah kematian yang buruk” (HR. Tirmidzi) “Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.” (HR. Turmidzi). “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api.” (HR Turmidzi). Artinya, gaya hidup berbagi itu mengundang cinta dan kasih sayang Allah dalam hidup kita.
Teologi berbagi itu penting dikembangkan dalam bentuk “bisnis kebahagiaan” yang tidak pernah merugi dan tidak akan menyebabkan kemiskinan. Teologi berbagi itu harus menjadi antithesis provokasi setan yang menakut-nakuti manusia untuk berbagi. “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari karunia yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (al-Baqarah/2:267)
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah/2:268). Jadi, teologi berbagi harus terpatri kuat dalam diri setiap Muslim agar gemar memberi, menolong, dan memberdayakan orang lain.
Dengan teologi berbagi, kita terpanggil untuk mengambil posisi “tangan di atas” (pemberi). Karena, sabda Nabi SAW, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Teologi berbagi itu membahagiakan sekaligus membebaskan kesengsaraan dan kemiskinan.