Teknologi Isra Mikraj

Teknologi Isra Mikraj

Teknologi Isra Mikraj Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tentang peristiwa agung Isra Mikraj, Allah berseru, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Israa/17: 1).

Ayat ini dimulai dengan ungkapan “Subhana atau Maha Suci Allah”. Maksudnya, menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Allah mengagungkan diri-Nya dan menggambarkan kebesaran peran-Nya.

Dengan kata lain, ayat yang diawali dengan “Subhana atau Maha Suci Allah” akan menginformasikan tentang berita besar atau spektakuler yang menggetarkan. Ternyata, Allah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram di Mekah ke Masjid Aqsha di Palestina.

Untuk konteks saat itu tidak ada moda transfortasi yang berteknologi tinggi yang dapat mengantarkan seseorang dari Mekah ke Palestina yang berjarak 1.500 kilometer dalam waktu singkat. Kata “Lailan” pada ayat ini mengindikasikan betapa singkatnya perjalanan yang ditempuh Nabi, yakni dalam waktu semalam.

Memang ayat di atas kalau dibaca dengan akal pikiran manusia yang terbatas, tidak dapat diterima. Namun kalau dibaca dengan iman, maka hal itu sangat memungkinkan. Apalagi dalam ayat itu Nabi bukan berjalan dari Mekah ke Palestina, tapi Allah memilih diksi, “diperjalankan”. Artinya ada teknologi yang digunakan Nabi yang lebih cepat dari cahaya. Ada getaran dan gelombang yang dipasang pada diri Nabi sehingga beliau dapat berkomunikasi dengan malaikat yang beda frekuensi. Inilah yang disebut teknologi Isra Mikraj.

Tujuan Isra Mikraj pada ayat di atas, yakni, “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami” sangat jelas bahwa Allah hendak mempertontonkan kepada Nabi fenomena alam raya. Apalagi setelah Isra dari Mekah ke Palestina, Nabi mikraj naik ke langit hingga Sidratul Muntaha.

Secara leksikal, “mikraj” itu alat naik. Artinya ada kendaraan berteknologi tinggi yang membawa Nabi bertemu dengan para nabi, lalu menembus Sidratul Muntaha dan melihat wajah asli Jibril. Inilah rentetan ayat mikraj itu, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal” (QS. al-Najm/53: 13-15).

Tentang kualitas penglihatan Nabi, maksudnya Nabi bukan sedang bermimpi bertemu dengan para nabi pada setiap tingkatan langit, didukung oleh ayat, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?” (QS. al-Najm/53: 11-12).

Menariknya, ayat pertama surah al-Isra di atas ditutup dengan pernyataan Allah, “Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Tentu pernyataan ini mendukung ungkapan “Subhana atau Maha Suci Allah”. Artinya Maha Suci Allah dari tidak mampu memperjalankan hambanya secara singkat. Maha Suci Allah dari tidak mampu membuat hamba-Nya mendengar dalam perbedaan getaran dan gelombang. Maha Suci Allah dari tidak memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperjalankan hamba-Nya dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha hingga terus menembus petala langit.

Warisan teknologi isra mikraj adalah shalat yang didahului dengan thaharah. Secara filosofis, thaharah meniscayaka kesucian pelakunya. Allah Maha Suci, maka yang bisa merespons eksistensi dan frekuensi-Nya adalah yang suci pula. Inilah petingnya thaharah. Sementara shalat adalah upaya aktivasi mata hati agar dapat menangkap sinyal spiritual Allah. Kian khusyu shalat dilakukan, maka kian bening sinyal spiritual Allah ditangkap sehingga komunikasi makin berkualitas. Maka benar kalau ada ungkapan, “Shalat adalah mikraj-nya orang beriman”.(sam)