Tauhid dalam Kaca Mata Kalam dan Tasawuf

Tauhid dalam Kaca Mata Kalam dan Tasawuf

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “Milir”

Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Qathrul Ghaits, tauhid itu berarti fokus hanya menyembah Allah SWT Yang Maha Esa, baik Zat-Nya, Sifat-Nya, maupun Perbuatan-Nya. Tauhid juga berarti meyakini sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang jaiz, dan sifat-sifat yang mustahil bagi Allah SWT dan rasul-Nya. Yang pertama, sifat-sifat yang wajib bagi Allah SWT, seperti yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Banten dalam Nur al-Dzalam ada dua puluh. Secara berturut-turut, Syaikh Nawawi Banten juga menguraikannya dalam Tijan al-Darari, yakni sifat wujud, sifat qidam, sifat baqa, sifat mukhalafatuhu lil hawaditsi, dan sifat qiyamuhu binafsihi. Selanjutnya, sifat wahdaniyah, sifat qudrat, sifat iradat, sifat ilmu, sifat hayat, sifat sama' dan bashar, sifat kalam, sifat kaunuhu qadiran, sifat kaunuhu muridan, sifat kaunuhu ‘aliman, sifat kaunuhu hayyan, sifat kaunuhu sami’an bashiran, dan sifat kaunuhu mutakalliman. Sedangkan sifat wajib bagi rasul adalah sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Selanjutnya, al-Sanusi dalam Ummul Barahin, menjelaskan dua puluh sifat mustahil bagi Allah SWT dan sejumlah sifat yang jaiz bagi Allah SWT. Sifat mustahil bagi Allah SWT adalah kebalikan dari sifat wajib bagi Allah SWT. Sedangkan sifat jaiz Bagi Allah SWT adalah melakukan segala hal yang mumkin (mungkin) atau meninggalkannya. Berikutnya, dalam Kifayatul Awwam, al-Fudhali menyebukan bahwa sifat mustahil bagi rasul itu juga ada empat, sebagai kebalikan dari sifat wajib bagi rasul. Yakni, mustahil para nabi itu kadzib (dusta), khianah (tidak amanah), kitman (menyembunyikan), dan baladah (bodoh). Ini adalah fondasi akidah yang rasional soal nubuwwat atau kenabian. Sementara sifat jaiz bagi rasul, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tijan al-Darari, adalah sifat sebagai seorang manusia yang tidak mengurangi kedudukan para rasul yang tinggi. Misalnya, sakit, lapar, haus, tidur, makan, minum, berjalan, berkendaraan, membeli dan menjual barang, dan bersentuhan dengan istri. Namun, lanjut Syaikh Nawawi Banten, para rasul terhindar dari sifat kemanusiaan lainnya. Maksudnya, para rasul tidak dikatakan jaiz kalau mereka itu gila, sakit lepra, belang, dan buta, termasuk makan dan minum di pinggir jalan. Semua ini tidak boleh terjadi ada diri seorang rasul karena tidak layak, mengurangi martabat, dan membuat orang jadi takut. Semua persoalan tauhid yang dibahas di atas adalah dari sudut pandang ilmu kalam yang dikemukakan oleh ulama mutakallimin. Sedangkan menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Qathrul Ghaits, pengertian ilmu tauhid dari sudut pandang ulama tasawuf adalah seseorang tidak melihat apapun dalam pandangan matanya selain melihat Allah SWT. Bagi ulama tasawuf, semua perbuatan, yang bergerak dan yang tidak bergerak di alam raya ini bersumber dari Allah SWT Yang Maha Esa. Artinya, ahli tasawuf tidak melihat sama sekali manusia berbuat dan bergerak. Karena di dunia ini tidak ada aksi, perbuatan, pergerakan, bahkan diam selain Allah SWT yang melakukan-Nya.(sam/mf)