Taskhir
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal
Akhir-akhir ini, kita banyak menyaksikan tayangan yang memilukan hati di berbagai media sebagai akibat bencana, seperti banjir, longsor, kecelakaan lalu lintas di darat, di laut, dan di udara. Menarik untuk direnungkan, apa sesungguhnya yang salah di balik kejadian-kejadian itu?
Kalangan ilmuan menyesalkan kejadian demi kejadian itu sebagai akibat ulah manusia (human error). Manusia dianggap terlalu pongah dan egois dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka buki ini, hingga menyebabkan terjadinya disrupsi sosial.
Manusia sebagai khalifah diberi kemampuan untuk menundukkan (taskhir) alam semesta. Namun konsep taskhir yang diperankan manusia terlalu jauh melampaui batas, sehingga menimbulkan ketegangan antara manusia dan alam semesta. Manusia dinilai over masculine dalam mengelola alam semesta.
Taskhir atau ketundukan alam semesta kepada manusia sebagai khalifah, sebagaimana disebutkan QS Al- Hajj/22:65 : “Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya?”
Konsep taskhir menarik dikaji, karena kita sering melihat bencana alam yang menyebabkan jatuhnya korban manusia. Di mana letak ketundukan alam dalam hal ini?
Taskhir dalam Islam mempunyai prasyarat. Alam raya akan tunduk (taskhir) sepanjang manusia menjalankan fungsi kekhalifahannya dengan baik dan benar. Mana kala manusia menyimpang atau melampaui batas (israf), maka alam raya tidak lagi punya kewajiban tunduk kepada manusia. Bahkan alam raya yang menghukum manusia.
Ketika manusia melupakan dirinya sebagai hamba dan khalifah yang harus memakmurkan bumi, namun mereka melakukan eksplorasi alam yang melampaui ambang daya dukungnya, dan sesama mereka saling menghujat dan menyebabkan pertumpahan darah (QS Ar-Rum/30:
Ketika para pemimpin masyarakat tidak lagi memihak kepada keadilan dan kemaslahatan masyarakat, mengabaikan akal sehat dan hati nurani, para pebisnis tidak lagi mengindahkan etika bisnis, para ulama dan ilmuan sudah kehilangan pertimbangan objektivitasnya, para buruh dan karyawan sudah kehilangan rasa ketulusannya, maka ketika itu bencana demi bencana senantiasa mengintai dalam masyarakat.
Al-Qur’an menginformasikan kepada kita bahwa wabah dan bencana seringkali diawali terjadinya berbagai penyimpangan perilaku dalam masyarakat. Perilaku alam raya makrokosmos seringkali berbanding lurus dengan perilaku manusia mikrokosmos.
Umat Nuh yang keras kepala (QS 53:52) ditimpa bencana banjir (QS 11:40). Umat Syu’aib yang korup (QS 7:85; 11:84-85) ditimpa gempa mematikan (QS 11:94). Umat Shaleh yang hedonistik (QS 26:146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS 11:67-68).
Lalu, Umat Luth yang dilanda penyimpangan seksual (QS 11:78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS 11:82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang ambisius ingin mengambil-alih Ka’bah, dihancurkan oleh burung/virus (QS 105:1-5). Hujan, yang tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS 6:99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir memusnahkan areal kehidupan manusia (QS 2:59).
Gunung-gunung yang tadinya sebagai patok bumi (QS 30:7), tiba-tiba memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS 77:10). Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan dalam dunia tumbuh-tumbuhan (QS 18:45) dan mendistribusi awan (QS 2:164), tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS 41:16).
Lautan yang tadinya jinak melayani mobilitas manusia (QS 22:65), tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS 81:6). Malam yang tadinya membawa kesejukan dan ketenangan (QS 27:86), tiba-tiba menampilkan ketakutan yang mencekam dan mematikan (QS 11:81).
Siang yang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS 73:7), tiba-tiba berubah menjadi hari-hari menyesakkan dan menyedot energi positif (QS 46:35).
Kilat dan guntur (listrik alam) yang tadinya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di bumi (QS 13:12), tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva (telur hama) betina, yang memusnahkan berbagai tanaman para petani (QS 13:12).
Disparitas flora dan fauna yang tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS 13:4), tiba-tiba berkembang menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia, sehingga kesulitan memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang (QS 7:132).
Sumber: Rakyat Merdeka Online, Kamis-Jumat, 10-11 Maret 2022 (sam/mf)