Tantangan Wakil Rakyat 2009
Indonesia baru saja selesai menyelenggarakan perhelatan demokrasi, yakni pemilihan legislatif (pileg) pada Kamis (9/4). Meskipun ada sedikit gangguan di sejumlah tempat menjelang dan pada hari pencontrengan, secara umum pileg dapat dikatakan berlangsung secara damai. Kenyataan ini tentu saja perlu kita syukuri sebagai bangsa Indonesia.
Para calon anggota legislatif (caleg) yang berhasil terpilih akan segera berubah menjadi anggota legislatif. Mereka akan menyandang gelar sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat. Tetapi, itu sebenarnya sebagian kecil saja dari mereka, sebab sebagian besar justru gagal melenggang ke dalam lembaga terhormat tersebut.
Bagi yang berhasil, sekadar untuk merayakannya tentu boleh-boleh saja. Namun, sepatutnya euforia kegembiraan tersebut tidak perlu diekspresikan secara berlebihan. Pasalnya, tantangan mereka sebagai wakil rakyat periode 2009-2014 sudah menunggu di depan mata. Oleh karena itu, mereka harus segera bersiap-siap, berbenah diri untuk menyelesaikan berbagai warisan persoalan yang menggunung dari para wakil rakyat periode sebelumnya.
Warisan buruk
Tidak dapat dimungkiri, citra DPR periode 2004-2009 di mata rakyat tidaklah membanggakan, kalau tidak boleh dikatakan sangat anjlok. Hampir setiap kabar yang datang dari Senayan selalu beraroma tidak sedap mulai dari cap lebih mementingkan diri sendiri dan partainya, tidak peka terhadap nasib rakyat, koruptif, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam sejumlah survei ditemukan bahwa ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap lembaga parlemen tersebut sangat tinggi.
Masih segar dalam ingatan kita ketika memasuki tahun pertama, bahkan belum genap setahun, dari periode lima tahun tugas anggota Dewan 2004-2009, yang mengemuka justru tuntutan kenaikan gaji. Anggota dewan yang menerima gaji Rp 28,37 juta per bulan meminta kenaikan gaji hingga Rp 51,87 juta. Sementara gaji pimpinan dewan diminta untuk dinaikkan dari Rp 40,1 juta menjadi Rp 82,1 juta per bulan.
Tidak berhenti sampai di situ, para anggota dewan terus berupaya mencari celah-celah yang dapat memperbanyak isi pundi-pundi mereka. Pada Desember 2005, mereka meminta tunjangan operasional. Setiap anggota dewan mendapat Rp 60 juta yang merupakan rapel tunjangan dari Juli-Desember 2005. Dan, pada Maret 2006 pimpinan dewan mendapat kenaikan gaji Rp 14 juta–Rp 16 juta, dan anggota sekitar Rp 15 juta per bulan. Kalau saja masalah laptop yang mereka usulkan tidak mendapat kecaman keras dari publik, hal itu akan menambah deretan "keserakahan" mereka di tengah penderitaan rakyat.
Kenyataan tersebut tak pelak lagi menimbulkan citra wakil rakyat yang sangat buruk di mata rakyat. Kesan bahwa mereka lebih mementingkan diri mereka sendiri dan pada saat yang sama tidak memedulikan kondisi rakyat yang justru mereka wakili tidak dapat terhindarkan. Catatan buruk para anggota dewan periode 2004-2009 tidak hanya terkait dengan tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan, tetapi juga terkait dengan berbagai kasus korupsi sehingga ada sebagian dari mereka yang menjadi penghuni hotel prodeo.
Celakanya, kondisi ini diperparah dengan pencapaian yang tidak optimal dalam hal legislasi yang notabene merupakan tugas utama para anggota dewan. Dari target 284 rancangan undang-undang sampai Maret 2009, misalnya, ternyata yang terealisasi hanya 157 undang-undang. Dan undang-undang yang murni merupakan usulan DPR hanyalah 82, sisanya datang dari pemerintah. Ini artinya, para wakil rakyat tersebut mengabaikan tugas utamanya.
Memulihkan citra
Dari catatan tersebut, jelas bahwa tantangan yang akan dihadapi para wakil rakyat periode 2009-2014 sangat berat. Mau tidak mau mereka harus berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan citranya di mata rakyat sehingga kepercayaan publik akan mereka dapatkan kembali. Kalau itu dapat dilakukan, jalan ke depannya tentu akan lebih mudah.
Yang pertama mesti dilakukan anggota dewan dalam rangka memulihkan citra adalah memahami kembali jati diri mereka sebagai wakil rakyat. Ketika mereka berhasil menjadi anggota dewan, sesungguhnya mereka sedang mewakili rakyat. Dengan kata lain, mereka sedang mengemban amanah rakyat. Oleh karena itu, sejatinya mereka harus selalu mengorientasikan semua kegiatannya kepada suara dan aspirasi rakyat yang mereka wakili tersebut. Begitu mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan suara rakyat, seperti korupsi misalnya, mereka segera tersadar bahwa hal itu tidak sesuai dengan jati diri mereka sebagai wakil rakyat.
Yang kedua, para anggota dewan harus menyadari fungsi utama dari lembaga legislatif. Lembaga ini disebut legislatif sesungguhnya karena memang fungsi utamanya adalah legislasi, membuat undang-undang, di samping fungsi-fungsi lainnya seperti angket, bujet, dan amendemen. Oleh karena itu, akan terasa ironis kalau lembaga pembuat undang-undang justru mandul dalam hal legislasi.
Jika kesadaran di atas dapat diwujudkan setiap anggota dewan periode sekarang, paling tidak berbagai citra buruk yang telah disebutkan di muka dapat terkikis sedikit demi sedikit. Kalau pada tahap awal mereka mampu memulihkan citra dewan sebagai lembaga yang benar-benar menjadi pengemban amanah rakyat, tantangan-tantangan berikutnya akan dilalui dengan baik.***
Artikel ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Senin 13 Maret 2009Â Â
Iding R. Hasan adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute, dan kini tengah mengikuti Program Doktor Ilmu Komunikasi pada Universitas Padjajaran Bandung