Tantangan Perguruan Tinggi di Era Disrupsi

Tantangan Perguruan Tinggi di Era Disrupsi

Oleh Dr. Abdul Razak. M.Si

Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemerhati dan Praktisi Pendidikan

Part 2

Perguruan tinggi sudah seharusnya menjadi organisasi yang dinamis, responsif, adaptif, akseleratif dan menjadi rujukan inovasi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengambil peranan yang sangat penting. Perguruan tinggi harus menjadi motor inovasi disruptif, mengubah pola pikir, cara kerja organisasi, produktivitas, disiplin, inovasi. progresif, terbuka terhadap perubahan, agresif dalam melakukan terobosan.

Karena itu pola pengelolaan-manajemen perguruan tinggi hanya sebagai business us usual (apa adanya, tidak ada inovasi, konservatif dan konvensional) harus ditinggalkan karena menjadi kontra produktif di era disrupsi dan VUCA (istilah yang digunakan sejak era tahun sembilan puluhan merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity.

Secara umum, VUCA adalah fenomena yang menggambarkan situasi dunia yang mengalami perubahan sangat cepat dan cenderung tidak bisa ditebak. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendikbud-Ristek) telah menetapkan kebijakan merdeka belajar-kampus merdeka sebagai salah satu langkah antisipasi dan strategis perguruan tinggi dalam memberikan respon era disrupsi dan VUCA. Penerapan kebijakan merdeka belajar-kampus merdeka yang salah satunya memberikan fleksibilitas pada mahasiswa untuk dapat berinteraksi dan belajar tidak saja di dalam lingkup program studinya melainkan ke dunia industri, dunia usaha, instansi pemerintah dan lembaga-lembaga sosial dan kemanusiaan melalui 8 bentuk program pembelajaran yang fleksibel tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan tinggi.

Hadirnya era revolusi industri 4.0 harusnya dijadikan peluang oleh dunia perguruan tinggi dengan cara meyakini bahwa setiap terjadi perubahan pada waktu yang sama terbuka peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mencarikan solusi berbagai problem kemanusiaan yang semakin meningkat, seperti kemiskinan global, kriminalitas meningkat, bunuh diri massal dsb. Sejatinya teknologi hadir untuk membantu manusia dalam menjalankan fungsi utamanya menjadi khalifatul fil ardh-insan kamil-ulul albab. Dengan peran ini, manusia bisa menjaga alam dan makhluk yang lainnya dengan pengaturan terbaik dari Sang Pencipta. Namun, bila kemajuan teknologi justru mengancam eksistensi manusia, maka selayaknya menjadi evaluasi bersama. Tak ada yang salah dengan teknologi. Tapi pemanfaatan teknologi ini butuh didukung sumber daya manusia dan manajerial yang bijak agar kehadirannya bermanfaat bagi manusia.

Ani Cahyadi Masri menegaskan bahwa kecanggihan teknologi memudahkan siapa pun memperoleh ilmu pengetahuan secara mudah dan cuma-cuma. Namun, peran mendidik hanya bisa dilakukan oleh pendidik yang tidak hanya meningkatkan kompetensi peserta didik, namun juga mengajarkan nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Para dosen, mahasiswa, dan lulusan dituntut dapat beradaptasi dengan perubahan. Namun proses pendidikan harus menyentuh pada taraf kenyataan sosial yang sebenarnya. Di sisi lain, peningkatan kompetensi dosen dan mahasiswa menjadi hal yang mutlak dilakukan, di samping peran untuk membumikan keilmuan. Ilmu bertujuan untuk memajukan harkat dan martabat manusia dan bukan sebaliknya. (mf/sam)