Tantangan dan Proyeksi DPR 4.0
Pelantikan 580 anggota DPR RI periode 2024-2029 pada 1 Oktober 2024 menandai dimulainya masa kerja lembaga legislatif periode keenam sejak reformasi ini. Tantangan ketatanegaraan yang berhubungan dengan fungsi konstitusional DPR yakni legislasi, pengawasan, dan anggaran, ke depannya makin kompleks.
Perjalanan lima tahun terakhir pada masa jabatan DPR periode 2019-2024 patut menjadi pelajaran penting untuk perbaikan di lima tahun mendatang. Model relasi DPR dan pemerintah selama lima tahun terakhir ini, turut menyumbang kinerja parlemen. Dalam pratiknya, dukungan mayoritas partai politik terhadap pemerintah justru tak menjadikan fungsi parlemen bertaji.
Dalam kinerja legislasi, DPR 2019-2024 mampu menyelesaikan 225. Perinciannya 48 UU dari daftar Prolegnas dan 117 UU dari RUU kumulatif terbuka. Jika dibandingkan DPR periode sebelumnya, capaian itu meningkat dari sisi kuantitatif. DPR periode 2014-2019 hanya bisa menyelesiakan 91 UU dengan rincian 55 UU Kumulatif dan 36 UU dari daftar Prolegnas (Jawa Pos, 1 Oktober 2024).
Meski demikian, perlu digarisbawahi peningkatan capaian secara kuantitatif ini bila ditelisik lebih detail, capaian secara kuantitatif itu meningkat karena sumbangan besar dari banyaknya UU yang terkait dengan kabupaten/kota (daerah). Misalnya pada sidang terakhir pada 30 September lalu, DPR mengesahkan 79 RUU tentang Kabupaten/Kota (daerah).
Di samping itu, fenomena fast track legislation (house of lords, 15th Report of Season, 2009), berupa pembahasan undang-undang (UU) dengan jalur cepat, serta midnight regulation (Jerry Brito & Veronique De Rugy, 2009), yakni berlimpahnya pengesahan UU menjelang berakhirnya masa jabatan parlemen yang terjadi beberapa waktu terakhir ini juga mewarnai parlemen periode lalu.
Puncaknya, pada 20 Agustus lalu, yakni saat DPR berencana mengubah UU Pilkada yang bertolak belakang dengan substansi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Publik pun melakukan protes secara masif di pelbagai daerah.
Parlemen sebagai salah satu cabang kekuasaan negara dalam trias politika, dituntut berbenah dan mendekatkan diri dengan aspirasi konstituen. Karena itu, dibutuhkan strategi, komitmen, dan inovasi dalam menjalankan kewenangan dengan didasari pada aturan hukum dan aspirasi publik.
Tantangan DPR baru
Komposisi politik di DPR periode 2024-2029 diprediksikan tak jauh berbeda dengan formasi parlemen lima tahun yang lalu. Bahkan, menjelang alih kekuasaan ke pemerintahan baru, sinyal bergabungnya seluruh partai politik di parlemen (bahkan partai non parlemen) dalam bentuk konversi alokasi kursi kabinet, ke pemerintahan baru makin tampak terlihat. Jika hal tersebut terjadi, praktis tak ada partai politik yang berada di luar pemerintahan.
Kondisi tersebut tentu secara langsung maupun tak langsung akan memengaruhi kinerja parlemen. Potret kinerja parlemen selama lima tahun terakhir ini menjadi contoh kinerja parlemen tak secara optimal mengaktivasi fungsi yang dimiliki. Hal ini tak terlepas dari konfigurasi politik dalam relasi legislatif dengan eksekutif.
Padahal, dalam sistem presidensial, hubungan legislatif dan eksekutif berlangsung secara equal, yang meniscayakan terjadinya praktik cheks and balances (kawal imbang) antar lembaga. Pada poin ini, menjadi tantangan bagi DPR baru untuk mengaktivasi secara optimal fungsi yang melekat pada parlemen.
Aktivasi fungsi DPR di tengah melimpahnya dukungan partai politik ke pemerintah memang bukan pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan sikap kenegarawanan dari pihak eksekutif maupun legislatif. Kontrol dari parlemen harus dibaca sebagai manifestasi dari kawal imbang saat menjalankan fungsi konstitusionalnya. Kontrol bukan sekadar waton suloyo (asal beda), tapi basisnya aspirasi dan kepentingan publik.
Spirit kawal imbang dapat diaktivasi dalam setiap fungsi yang dimiliki DPR seperti legislasi, pengawasan, dan pembahasan anggaran. Kawal imbang Parlemen selain akan mengontrol kebijakan eksekutif agar tetap dalam jalur yang tepat, secara organik harus diorkestrasi melalui kelembagaan di DPR. Di antarnya melalui alat kelengkapan dewan (AKD) dan fraksi.
DPR baru seharusnya menanggalkan pola relaso yang berlangsung selama lima tahun terakhir. Mereka harus bisa memilah kepentingan yang berkorelasi dengan prinsip mendasar yang berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan kepentingan yang urusannya politik berjangka pendek.
DPR 4.0
Di tengah tantangan parlemen yang tak ringan, terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan. Yaitu optimalisasi platform digital sebagai medium mengaktivasi fungsi parlemen. Optimalisasi digital dalam kerja parlemen menjadi bagian penting lahirnya DPR 4.0, yakni transformasi pola tradisional dengan pemanfaatan digital baik sebagai alat (tool) maupun paradigma.
Belakangan, DPR tampak atraktif dengan optimalisasi platform digital yang mudah diakses oleh publik. Siaran langsung (live streaming) rapat melalui pelbagai saluran media sosial resmi milik DPR, membantu publik mengikuti proses perdebatan. Dengan demikian, publik mengetahui; siapa bicara apa dan siapa bersikap apa.
Meski begitu, harus disadari, paradigma digital tak lantas menggantikan paradigma politik dari para aktor politik di parlemen. Setidaknya, digital pada titik yang paling minimalis dapat menghadirkan kerja parlemen yang akseleratif, inovatif, transparan, responsif, dan partisipatoris. Parlemen 4.0 pada akhirnya menjadi kebutuhan yang yang harus ditempuh, tak terkecuali oleh parlemen Indonesia.
(Ferdian Andi, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Pengajar HTN/HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)