Takdir Baik dan Takdir Buruk
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “Milir”
Terkait dengan takdir baik dan takdir buruk, satu waktu Nabi SAW ditanya oleh Jibril mengenai rukun iman yang enam. Dengan penuh keyakinan, Nabi SAW menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk” (HR. Muslim). Bagi Syaikh Nawawi Banten qadha adalah kehendak Allah SWT sejak masa azali. Qadha berkaitan dengan keputusan Allah SWT yang berlaku bagi makhluk-Nya. Sementara Qadar adalah penciptaan Allah SWT terhadap segala sesuatu berdasarkan ketentuan yang sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi Qadha itu fondasi, qadar itu bangunan. Lebih jauh, qadha itu alat untuk menakar, sedangkan qadar itu sama dengan benda yang ditakar. Ibarat lain, qadha itu sama dengan bahan yang digunakan untuk dijadikan pakaian, sementara qadar itu adalah pakaian itu sendiri yang dikenakan. Bisa juga, qadha itu ide gambar seorang pelukis dalam imajinasinya, sedangkan qadar itu gambarnya.
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam al-Tsimar al-Yani’ah beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk adalah wajib. Maksudnya seorang muslim wajib beriman bahwa takdir telah ditentukan oleh Allah SWT sejak masa azali. Masa azali adalah masa dimana ruang dan waktu serta seluruh makhluk belum diciptakan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, lanjut Syaikh Nawawi Banten, apa saja yang tidak ditadirkan oleh Allah SWT, maka kejadiannya itu mustahil. Oleh karena itu, penting dipahami tiga bagian mengenai ilmu tauhid. Pertama, ilahiyyat atau ilmu tentang ketuhanan. Kedua, nabawiyyat atau kenabian. Ketiga, sam’iyyat atau berita yang didengar dari rasul. Allah SWT menegaskan, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. al-Qamar/54: 49). Ayat ini, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, maksudnya Allah SWT telah menentukan apa saja sejak dahulu. Selain itu, segala sesuatu yang terjadi pada waktunya diketahui Allah SWT secara gamblang. Dalam Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menyatakan bahwa segala sesuatu baik yang kecil maupun yang besar tak lepas dari takdir, ketentuan, kepastian, ukuran yang tepat, bagian yang ditentukan, keakuratan dan ketepatan. Allah SWT berfirman, “Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” (QS. al-Qamar/54: 53). Lebih jauh pada apa saja yang dimiliki oleh manusia, seperti kelemahan atau kekuatan, kebodohan atau kepintaran sejatinya telah ditentukan oleh Allah SWT secara tepat dan akurat. Inilah pesan Nabi SAW, "Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran” (HR. Muslim). Namun manusia wajib berusaha untuk merubah keadaannya. Orang yang bodoh lalu rajin belajar, maka tadirnya dia akan jadi pintar. Dalam ayat lain, kembali Allah SWT tegaskan, “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. al-Furqan/25: 2). Artinya, menurut pengarang Tafsir Jalalain, segala sesuatu itu hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakannya dan menetapkannya secara tepat dan sempurna. Secara lebih terang, kedua ayat di atas diulas oleh Nabi SAW, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada takdir baik dan buruk dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya” (HR. Turmudzi).(sam/mf)