Tafsir Ulang Pengorbanan: Membaca Kisah Ibrahim dalam Konteks Sosial Kekinian

Tafsir Ulang Pengorbanan: Membaca Kisah Ibrahim dalam Konteks Sosial Kekinian

Oleh: Murodi, Arief Subhan, dan Study Rizal LK*

 

Hari-hari menjelang Iduladha, umat Islam kembali diingatkan pada sebuah kisah spiritual yang abadi: ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk mengorbankan putranya, Ismail. Sebuah peristiwa yang kerap disebut sebagai puncak ketaatan, kepasrahan, dan kesetiaan seorang hamba kepada Tuhannya.

Namun, sejatinya kisah itu jauh melampaui narasi ketaatan semata. Ia menyimpan pesan keberanian yang melampaui zaman. Sebab pada titik paling dalam, yang Allah minta dari Ibrahim bukanlah darah anaknya, tetapi keberanian untuk melepaskan apa yang paling dicintai. Ibrahim diuji bukan hanya pada level keimanan, tetapi juga pada tingkat eksistensial: apakah ia sanggup mendudukkan kehendak Tuhan di atas hasrat dan keterikatan duniawi?

Dalam tafsir klasik, peristiwa itu dipahami sebagai bentuk tertinggi dari kepatuhan. Tapi dalam horizon sosial kekinian, peristiwa itu layak dibaca ulang. Apalagi ketika kehidupan modern telah menjadikan manusia begitu melekat pada kepemilikan: harta, nama baik, kuasa, bahkan tafsir kebenaran. Kita hidup di zaman ketika orang sibuk ‘memiliki’ Tuhan daripada ‘menyerahkan diri’ kepada-Nya. Ketika agama lebih sering dijadikan identitas sosial dan alat legitimasi kekuasaan, alih-alih ruang kontemplasi dan pembebasan.

 

Kurban: Ritual atau Spiritualitas?

Ritual penyembelihan hewan setiap Iduladha seharusnya bukan semata seremoni tahunan. Di balik takbir dan gemuruh pisau, tersimpan pesan spiritual yang mengajak manusia merefleksikan satu hal pokok: apa yang paling kita cintai, dan apakah kita bersedia melepasnya demi yang lebih agung?

Dalam konteks modern, ‘Ismail’ bisa berarti apa saja. Ia bisa berupa kekuasaan yang tak rela ditinggalkan, kekayaan yang membuat kita buta, keangkuhan akademik, jabatan keagamaan, atau bahkan status sosial yang dibalut dengan jubah religiusitas. Banyak orang melakukan “ritual kurban”, tetapi enggan menyentuh substansi kurban: melepaskan.

Iduladha adalah panggilan untuk menyembelih ego. Menanggalkan klaim keakuan yang membuat kita merasa lebih suci dari yang lain. Dalam dunia yang penuh sekat, polarisasi, dan kebencian atas nama identitas, tafsir ulang atas kisah Ibrahim bisa menjadi cahaya penuntun.

 

Membaca Ibrahim bersama Mazhab Ciputat

Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat Mazhab Ciputat—suatu mazhab pemikiran Islam progresif yang tumbuh dari rahim intelektual kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mazhab ini tidak hanya menggali makna teks, tetapi juga menggugat realitas. Tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Lies Marcoes, dan banyak lainnya, telah meletakkan fondasi bahwa tafsir agama bukanlah ruang steril, melainkan harus bersentuhan dengan kehidupan nyata: ketidakadilan, kemiskinan, diskriminasi, dan subordinasi atas nama agama.

Dalam konteks Iduladha, semangat Mazhab Ciputat mengajak kita bertanya lebih jauh: apakah ritual kurban yang kita lakukan juga berdampak pada kehidupan sosial? Apakah kurban hanya berhenti pada distribusi daging, atau menjadi panggilan untuk membela yang lemah, berbagi yang hakiki, dan memperjuangkan keadilan?

Tokoh seperti Lies Marcoes, misalnya, telah lama menyuarakan bahwa spiritualitas Islam harus berpihak pada korban. Bahwa ketakwaan itu harus diterjemahkan dalam bentuk keberpihakan pada kelompok tertindas, termasuk perempuan, anak-anak, dan minoritas yang sering menjadi korban tafsir keagamaan yang patriarkis dan eksklusif. Maka dalam kisah Ibrahim, kita bisa membaca pesan-pesan etis yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan: personal, sosial, hingga struktural.

 

Melampaui Darah: Menuju Jiwa Sosial

Mengorbankan hewan tidaklah salah. Tapi mengorbankan ego, kerakusan, dan ketimpangan sosial adalah makna terdalam dari kurban. Sebab pada akhirnya, Tuhan tidak memerlukan darah. “Lay yanaallāha luḥūmuhā wa lā dimā’uhā wa lākiy yanāluhut-taqwā mingkum” (QS. Al-Hajj: 37). Yang sampai kepada Tuhan bukanlah daging dan darah kurban, tetapi ketakwaan.

Maka yang sejati bukan pada ‘berapa banyak sapi yang disembelih’, tapi apakah setelahnya kita menjadi lebih empatik, lebih adil, dan lebih rendah hati?

Iduladha seharusnya menjadi panggilan untuk menghidupkan kembali solidaritas sosial, keberpihakan kepada mustadh‘afin, dan kesediaan melepaskan privilege demi keberkahan bersama. Ibrahim telah menunjukkan bahwa iman bukan tentang klaim, tetapi tentang keberanian melepaskan.

 

Akhirnya, Tafsir Itu Tindakan

Iduladha adalah momentum penting untuk mengingat bahwa spiritualitas sejati bersumber dari pengorbanan. Bukan sekadar penyembelihan hewan, tetapi penyembelihan ego, keserakahan, dan ketidakpedulian.

Tafsir kisah Ibrahim yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar tafsir kata-kata, tetapi tafsir dalam tindakan. Tafsir yang menjelma dalam laku hidup: kejujuran dalam kepemimpinan, kesederhanaan dalam kekuasaan, dan keberanian melawan ketidakadilan.

Karena pada akhirnya, visa langit—sebagaimana kita pelajari dari mereka yang gagal berangkat haji meski kaya raya—tidak ditentukan oleh saldo rekening, tetapi oleh kualitas ketundukan dan pengorbanan kita. Dan barangkali, itu jugalah yang perlu kita bawa setiap Iduladha, agar agama tidak hanya dirayakan, tetapi juga membebaskan. (trio mas)

 

* Penulis adalah Trio MAS Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.