Syekh Ali Hasan, Ulama & Pemimpin

Syekh Ali Hasan, Ulama & Pemimpin

Prof. Dr. HM. Ridwan Lubis

 

Barangkali tidak banyak warga masyarakat yang mengenal pribadi Syekh Ali Hasan Ahmad Ad Dary Hasibuan. Beliau lahir tanggal 9 Pebruari 1915 di Desa Pintu Padang Julu Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal dan wafat tanggal 26 Pebruari 1998 di Medan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pribadi Beliau kurang dikenal masyarakat di Tapanuli Selatan apalagi Sumatera Utara. Pertama, Beliau semasa hidupnya memperoleh pendidikan agama di Pesantren Mustafawiyah dan kemudian melanjutkan studi ke Dar Al Ulum di Arab Saudi.

Setelah itu Beliau kembali ke tanah air. Kegiatan Beliau menekuni ilmu-ilmu keislaman dan fokus perhatian Beliau melakukan pendalaman dalam ilmu Hadis sebagai salah satu sumber utama ajaran Islam.

Kedua, Beliau tidak mendirikan pondok pesantren sebagaimana tradisi ulama semasanya tetapi lebih banyak bergerak dalam pendidikan dengan sistim sekolah. Pendidikan di madrasah berbeda dengan pesantren.

Pendidikan di pesantren secara otomatis dilambangkan dengan ketokohan ulama yang menjadi pemimpin sehingga pesantren melahirkan subkultur dengan tradisinya yang khas. Atau sekalipun nama ulama tidak dilekatkan kepada pesantren akan tetapi popularitas pesantren didorong kiprah tokoh pendirinya pada tingkat nasional.

Maka identitas pesantren terbawa oleh pengaruh ketokohan pemimpinnya. Ketiga, Beliau tidak memilih kegiatan untuk sering tampil di mimbar sebagaimana adiknya Syekh Zubeir Ahmad Hasibuan disamping sebagai orator juga memiliki wawasan dalam urusan sosial politik.

Sekalipun Syekh Ali Hasan termasuk penggerak perubahan Al Ittihadul Islamiyah menjadi NU tetapi Beliau tidak tertarik untuk terlibat dengan kegiatan sosial kemasyarakatan kecuali hanya fokus dalam lembaga pendidikan.

Syekh Ali Hasan Ahmad menghabiskan umurnya dalam kegiatan penyelenggaraan pendidikan tingkat tinggi di Sumatera Utara pada awal tahun 1960-an. Hal yang menginspirasi Beliau memilih jalan kehidupan dalam bidang pendidikan tinggi karena awal 1960-an merupakan momen penting sejarah lembaga pendidikan tinggi keislaman di Indonesia.

Pada waktu itu terjadi reorganisasi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dengan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta dengan melebur keduanya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Bertolak dari dukungan ulama-ulama di Tapanuli Selatan, Beliau mendirikan PERTINU dan kemudian pada tahun 1965 PERTINU dimekarkan dengan didirikan fakultas yang baru yaitu Fakultas Ushuluddin.

Sejak itu PERTINU berubah menjadi Universitas NU Sumatera Utara disingkat UNUSU. Dengan melihat kepada sosok Beliau yang memiliki wawasan keilmuan yang luas, dilekatkannya identitas NU kepada lembaga pendidikan ini bukan untuk menciptakan corak berpikir keagamaan yang eksklusif.

Tetapi sebagai upaya membangun corak ilmu keislaman yang memiliki basis yang kuat, wawasan yang komprehensif sesuai tradisi ilmu keislaman yang disebut syuhud ‘ain al syari’ah. Aktivitas kemahasiswaan di lingkungan UNUSU tidak hanya kegiatan kemahasiswaan yang berorientasi ke-NU-an tetapi juga di luar lingkungan kultur NU.

Terlebih lagi, Beliau tidak mengaitkan diri kepada organisasi tertentu akan tetapi semata-mata berorientasi keilmuan. Sehingga tidak jarang, corak pemikiran Beliau sering menimbulkan kontroversi bukan hanya di luar NU tetapi juga di lingkungan warga NU.

Corak pemikiran Beliau pada dasarnya bukan berorientasi kepada NU sebagai organisasi akan tetapi NU sebagai corak berpikir keulamaan yang memikul tugas kesejarahan untuk memelihara warisan ulama salaf (ihya atsar al salaf).

Sebagai bukti orientasi pemikiran Beliau terhadap ihya atsar al salaf, Beliau mendirikan lembaga pendidikan tinggi UNUSU dengan tujuan untuk melahirkan calon ulama sekaligus pemimpin yang akan melanjutkan misi sebagai pelayan umat (khadim al ummah).

Sikap rendah hati sebagaimana yang Beliau tunjukkan sebagai cita-cita memajukan keilmuan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah disebut kezuhudan intelektual.

Demikianlah Beliau bekerja dalam diamtanpa mengharapkan imbalan dan pujian dari masyarakat, akan tetapi semata-mata kontekstualisasi firman Allah (Q.S. Fathir [35]: 28) yang menyatakan bahwa hanya ulama, orang yang memiliki rasa takut yang sesungguhnya kepada Allah.

Munculnya rasa takut kepada Allah didasarkan bekal keilmuan yang mereka miliki sehingga muncul kesadaran betapa terbatasnya kegiatan penghambaan yang telah ditunaikan kepada Allah. Jasa Beliau yang bekerja dalam suasana sepi dari publikasi semoga menyadarkan generasi kemudian.

Lahirnya gagasan pihak STAIN Padangsidimpuan mengajukan usul kepada pemerintah untuk menabalkan nama Universitas Islam Negeri di Padangsidimpuan dengan menggunakan nama Beliau yaitu UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Ad Dary disingkat UIN Syahada adalah langkah yang bijak dan strategis.

Dengan persetujuan pemerintah terhadap penggunaan nama itu menjadibekal dalam melanjutkan cita-cita misi keilmuan yang digagas Beliau sekitar 60 tahun. Tugas UIN Syahada adalah melanjutkan misi pengembangan keislaman yang komprehensif yang tidak dipisah berbagai sekat-sekat metodologi keilmuan sehingga ilmu tadwiniyah terintegrasi dengan ilmu kauniyat.

Seluruh alam semesta adalah milik Allah yang telah menganugerahi hambaNya hadiah hidayah (hidayah muhdah). Karena itu, tidak berkelebihan pribadi Syekh Ali Hasan Ahmad Ad Dary merupakan salah satu dari ulama yang memiliki pribadi kezuhudan intelektual yaitu tipologi ulama dan pemimpin bersahaja. (zm)

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasiswa UNUSU Padangsidimpuan (1965-1969). Artikelnya dimuat dalam kolom opini Waspada, Kamis 21 Juli 2022. Lihat https://waspada.id/headlines/syekh-ali-hasan-ulama-pemimpin/