Suwito, Pejabat yang Mencintai Kampusnya

Suwito, Pejabat yang Mencintai Kampusnya

Oleh Nanang Syaikhu

Guru besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, Prof Dr Suwito MA, telah berpulang ke Rahmatullah pada 13 Oktober 2020 di RSUD Pasar Minggu, Jakarta Selatan karena sakit yang deritanya. Kepergian Sang “arsitek” perubahan UIN Jakarta itu meninggalkan duka mendalam, tak hanya bagi keluarganya tetapi juga seluruh sivitas akademika UIN Jakarta dan perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) lain di Indonesia.

Perkenalan saya dengan Suwito atau yang akrab disapa Pak Wito itu dimulai saat saya diminta membuat penerbitan kampus (newsletter) atau koran mini, yang kemudian diberi nama BERITA UIN, pada pertengahan Juli 2003. Saat itu saya masih menjadi wartawan di sebuah majalah di Jakarta dan beliau sedang menjabat Wakil Rektor Bidang Pengembangan Lembaga dan Kerja Sama. Selama mengelola BERITA UIN, saya waktu itu berkantor di lantai 2 gedung Rektorat.

[caption id="attachment_224770" align="alignnone" width="300"] Prof Dr Suwito MA[/caption]

Sejak itu pula saya banyak mengenal sosok Pak Wito, mulai dari pemikrannya, keramahannya, dan bahkan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Rupanya, Pak Wito bukan hanya dikenal di kalangan sivitas akademika UIN Jakarta karena guyonan bahasanya saja, melainkan juga greget-nya untuk mengembangkan kampus yang saat itu sedang masa pembangunan fisik pascaperubahan status dari IAIN ke UIN.

Tak hanya greget, bahkan Pak Wito juga kegelisahannya tatkala apa yang dilihatnya tidak pantas atau kurang pantas dengan kampusnya. Karena itu, dari benaknya selalu saja muncul ide atau gagasan agar kampus lebih pantas. Jika majalah TEMPO memiliki tagline “Enak Dibaca dan Perlu”, maka UIN Jakarta harus ”Enak Dilihat dan Singgahi”. Begitu kira-kira tagline yang pas untuk kampus yang berdiri sejak 1957 itu. Saya kira greget dan kegelisahan Pak Wito selama menjadi pejabat di kampus cukup wajar. Sebab, ia ingin kampus UIN Jakarta ke depan lebih unggul dan kompetitif, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Ide dan gagasan Pak Wito untuk mengubah wajah kampus tak hanya dari segi fisik dan asesoris atau “pernak-pernik”, tetapi yang tak kalah penting lagi adalah soal mutu akademiknya. Begitulah, hampir setiap saat dan dengan mimpi-mimpi besarnya, Pak Wito selalu berharap adanya perubahan-perubahan di kampus UIN Jakarta, terutama dari segi mutu akademik. Misalnya saja soal kurikulum, akreditasi institusi, akreditasi program studi, dan akreditasi jurnal ilmiah. Perubahan yang sama juga ingin dilakukan terhadap cara dosen mengajar berikut buku ajarnya.

Sayangnya, gagasan-gagasan Pak Wito untuk mengubah wajah kampus menjadi lebih baik saat itu kurang banyak mendapat dukungan dari kalangan pejabat lain, kecuali pimpinannya (waktu itu) Prof Dr Azyumardi Azra, CBE, dan kolega dekatnya, Prof Dr Abuddin Nata, yang menjabat Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum. Ada yang bilang gagasan Pak Wito terlalu mengada-ada dan berlebihan serta dinilainya utopis. Namun, bak “anjing menggonggong kafilah berlalu”, Pak Wito tak mau menyerah begitu saja. Ia bergeming, hingga kemudian tak sedikit dari gagasannya diakui dan diapresiasi oleh segenap warga sivitas akademika.

Saya secara pribadi sangat apresiatif dengan seluruh ide dan gagasan Pak Wito untuk membangun dan mengembangkan kampus. Terkadang, melalui media BERITA UIN, saya menerjmahkan apa yang menjadi kegelisahan pikirannya selama itu. Saya sering mengutip pikiran-pikiran beliau dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Hal itu dilakukan agar publik sivitas akademika dapat mengetahui dan memahami ide-ide cemerlangnya itu. Termasuk dalam hal ini juga menerjemahkan gagasan dan pemikiran Azyumardi Azra.

Bagi Pak Wito, media dinilai sangat efektif untuk menyampaikan informas dan sekaligus gagasan setiap orang. Oleh karena itu ia pun sangat gigih untuk memperjuangkan adanya penerbitan kampus. Apalagi saat itu perubahan status dari IAIN ke UIN Jakarta baru seumur jagung, sehingga diperlukan media untuk menyebarluaskan arah dan kebijakan pimpinan dalam mengembangkan kampus pascaperubahan status tersebut. Semasa masih menjabat wakil rektor itu pula, Pak Wito merasa tak puas dengan hanya menerbitkan BERITA UIN dalam bahasa Indonesia. Untuk mendukung internasionalisasi kampus, ia kemudian menggagas diterbitkannya newsletter lain dalam dua bahasa asing. Alhasil, mimpi itu terwujud dengan terbitnya UIN News untuk edisi bahasa Inggris dan Akhbar Al-Jamiah untuk edisi bahasa Arab. Meski dua penerbitan terakhir tidak berusia lama, namun setidaknya hal itu menjadi bukti dan catatan sejarah tersendiri bahwa gagasan Pak Wito sebenarnya sangat realistis. Ia ingin agar UIN Jakarta menjadi lebih terkenal ke mancanegara secara luas. Dan untuk mengenalkannya, di antaranya, melalui media informasi berbahasa asing.

Tak cukup sampai di situ, saat Pak Wito menjabat di Sekolah Pascasarjana, beragam ide dan pemikiran untuk mengembangkan kampus terus dilakukan. Karena itu tak heran jika kampus pascasarjana yang berdiri sejak 1982 itu penuh diwarnai dengan pernak-pernik informasi, baik dalam bentuk gambar maupun tulisan. Di antara tulisan yang cukup menantang adalah jargon Sekolah Pascasajana: “Membaca Dunia dan Dibaca Dunia”. Tetapi lagi-lagi, banyak orang yang memujinya tetapi tidak sedikit pula mencibir.

Saya punya kesmpulan bahwa apa yang digagasan dan dilakukan Pak Wito selama itu dan selama ini semata untuk kemajuan kampus. Dan untuk mewujudkan semuanya itu, ia sama sekali tanpa mengharap imbalan apa pun, kecuali murni untuk kepentingan kampus. Ia adalah sosok pejabat yang ikhlas dan sangat mencintai kampusnya. Selamat jalan Pak Wito. Warisanmu akan tetap ada dan dikenang oleh semua yang melihatnya. (ns)

* Penulis adalah mantan Pemimpin Redaksi BERITA UIN.

** Tulisan ini pernah dimuat di buku Otobiografi Suwito berjudul Mungkin Segalanya Mungkin (Penerbit YPM, 2016) dan telah direvisi seperlunya.