SUNDUNG

SUNDUNG

KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA

 

Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”

Hari ini orang kampung Parung Bingung, barangkali, hanya sehitung jari yang masih punya sundung. Sejatinya punya sundung meniscayakan seseorang punya tanah agak lebar. Sebab selain rumah, harus berdiri juga di tanah tersebut kandang kambing, sampi, atau kerbau. Artinya punya sundung hari ini termasuk kategori orang berada. Mana ada orang punya sundung tapi tidak punya piaraan.

Dulu, kalo anak muda mikul sundung jadi bahan ejekan mereka yang sudah naek sepeda. Sebab sundung identik dengan keterbelakangan. Namun beda kalo hari ini banyak orang ngarit alias nyari rumput pada bawa sepeda. Bahkan mendekati Idul Adha, banyak mobil bak terbuka berseliweran mengangkut rumput. Inilah sundung Jepang yang sudah menggantikan fungsi sundung bambu.

Punya sundung meniscayakan seseorang punya parang, bisa ngarit, dan memikulnya ke rumah. Sepanjang yang saya ingat, sejak bocah saya termasuk yang tidak kuat memikul sundung dengan muatan ful, kiri dan kanan. Pasalnya, saya tidak terbiasa mikul yang berat. Karena saya memang tidak punya sundung. Artinya saya tidak bisa ngarit. Tidak punya kambing apalagi sampi.

Namun pada saat kecil, seringkali siang hari saya habiskan waktu mandorin tukang ngarit. Saya memang resep banget ngeliat orang ngarit, apalagi kalo parangnya tajam. Saya membayangkan saat itu, ngarit sangat mudah, hanya mengayunkan tangan, meraup rumput dan memasukkannya ke sundung. Namun saat saya mencobanya berkali-kali hingga hari ini, saya tidak bisa.

Ada tiga pekerjaan yang saya tidak bisa melakukannya. Pertama, ngampak kayu. Kedua, belah kelapa. Ketiga, tadi itu: ngarit. Saya ketar-katir ketika ada orang Parung Bingung bilang bahwa syarat ngelamar anak orang nanti yang tiga itu. Mungkin benar pada zaman baba atau engkong saya. Pada zaman saya, tidak pernah calon mertua minta saya mempraktekkan kemampuan ngarit, ngampak, dan belah kelapa.

Tukang ngarit biasanya kurang peduli kalo diajak ngobrol. Dia terus saja ngarit. Dia lebih banyak dengerin. Kalaupun dia bicara, dilakukan sambil ngasah parang yang sudah mulai majal. Namun sesudah itu, ia kembali ngarit lagi. Apalagi kalau di langit udara mulai megu. Dipercepat ngaritnya. Mungkin karena takut kebandilan hujan. Umumnya, kambing kurang suka rumput basah. Beda dengan kambing Jawa, apa ajah dimakan, termasuk daon nangka.

Tapi saya punya cara, supaya tukang ngarit bisa diajak ngobrol. Pertama, saya ajak nyari pepaya mengkel. Walaupun pepaya itu di lahan orang. Terdorong haus, biasanya dia berenti ngarit lalu mengambil pepaya yang saya tunjukkan, lalu kita gado berdua. Pepaya itu diiris pake parangnya yang tajam memutih. Kedua, saya ajak nyeritain pelem layat tancep. Terutama pelem yang dia belum pernah nonton. Jadilah kita ngobrol ngalor ngidul.

Hingga hari ini saya belum tahu arti kata sundung. Termasuk, orang mana yang pertama kali memakainya. Namun yang pasti sundung telah mengisi memori saya dan sebagian orang seperti saya yang sering maen di sawah dan bulakan. Saya pernah memikul sundung dengan beban yang saya kuat, walau kadang-kadang sering diledekin teman-teman saya. Namun saya tetap girang karena bisa memikul sundung. Anda pernah memikul sundung?

Kawan saya yang bisa ngarit, punya piaraan, saat ini jadi orang sukses. Ada yang jadi sarjana, ustadz, dan pegawai negeri. Ternyata memikul sundung dan bisa ngarit berbuah manis di saat dewasa, kendati saya yakin hari ini tidak satupun di antara mereka yang masih punya sundung. Tak berlebihan kalau sundung seharusnya dijadikan pajangan, buat kenang-kenangan. Bisa juga untuk cagar budaya. Saya tanya, Anda masih punya sundung?(sam)