Suara dari Kairo: Pembaharuan Pemikiran Islam di Zaman Modern
Oleh Prof. Dr. Amany Lubis, MA
Universitas Al-Azhar pada 27-28 Januari 2020 menyelenggarakan Konferensi Internasional Al-Azhar bertema "Pembaharuan Pemikiran Islam”. Konferensi yang digelar di Gedung Pusat Konferensi Al-Azhar, Nasr City, Kairo, Mesir, ini dihadiri oleh sejumlah ulama terkemuka dari berbagai belahan dunia. Delegasi Indonesia di antaranya dihadiri oleh Prof. Dr. H. Din Samsudin, Prof Dr. KH. Quraish Shihab, Dr. TGB. H. Muhammad Zainul Majdi dan Dr. H. Muhklis Hanafi.
Konferensi Internasional Al-Azhar dibuka oleh Perdana Menteri Dr. Mustafa Madbouly. Beliau juga membacakan sambutan Presiden Mesir Abdul Fattah as-Sisi. Konferensi ini menghasilkan sejumlah rumusan terkait pembaharuan pemikiran Islam. Ada 29 rumusan yang dibacakan oleh pemimpin tertinggi Al-Azhar, Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib.
Pada dasarnya saya setuju dengan hasil Konferensi Pembaharuan Pemikiran Islam ini. Perjalanan sidang menunjukkan dinamika pemikiran para cendekiawan Muslim dari berbagai belahan dunia dan menerapkan tata cara berdebat yang elegan. Debat ilmiah seperti ini sangat kita perlukan karena akan berimplikasi pada pembentukan opini. Konferensi inisiasi dari Al-Azhar ini sukses karena merumuskan pandangan teologi dan hukum Islam yang dibutuhkan masyarakat dunia, bukan hanya Muslim.
Terlalu lelah dunia membicarakan konsep jihad, khilafah, hijrah, takfir, dan kesetaraan gender. Namun, tidak ada kepastian makna yang dianggap adil untuk kemanusiaan. Konferensi Al-Azhar memberi peluang besar bagi manusia untuk berijtihad, dan tidak ada salahnya menurut agama jika ijtihad dan upaya pemahaman tentang ajaran agama berubah menurut waktu dan tempat. Negara bagi ulama yang hadir berfungsi sebagai pengayom anak bangsa. Negara bangsa adalah sah menurut agama karena berhasil menyejahterakan masyarakat. Oleh karena itu, sistem kekhalifahan yang pernah ada dalam sejarah Islam cocok dan telah berhasil membangun peradaban manusia di zamannya. Argumentasi pentingnya kini, negara bangsa didirikan berdasarkan konstitusi yang merupakan kesepakatan semua unsur negara.
Dalam pandangan Islam, negara bangsa adalah sah dan sesuai dengan tujuan syariat atau maqashid al-syariah. Dengan demikian, negara berhak untuk membuat aturan yang tidak ada sebelumnya dalam hukum Islam, seperti melarang jihad antar negara dan pemberantasan terorisme. Hal ini punya tujuan membela rakyat dan kedaulatan negara. Di dalam konsep modern, negara atau pemerintah diwakili oleh orang yang berkompeten mengurusi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang disebut dengan ahlul aqdi wal-hall dalam sistem politik Islam dan sistem perwakilan dalam sistem pemerintahan masa kini.
Di Indonesia, banyak hal yang disebutkan sebagai poin bahasan dari Konferensi, bukan merupakan hal baru, dan bahkan sudah biasa dilakukan. Contohnya, demokrasi ala Indonesia, kebebasan perempuan bepergian, pelestarian peninggalan sejarah dari agama selain Islam, adanya badan penasihatan perkawinan sebagai mediator ketika konflik, dan sebagainya. Keluwesan penerapan hukum Islam di Indonesia telah menjadi contoh bagi banyak negara Muslim, seperti masalah kerukunan umat beragama dan prinsip Pancasila, dan pelarangan narkoba. Di samping itu, Indonesia masih harus berjuang untuk melarang praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ketimpangan sosial-ekonomi, pencerdasan anak bangsa, dan menghilangkan ujaran kebencian. Semua masalah ini ada dibahas di Konferensi Al-Azhar tersebut. Jadi, terlihat bahwa hasilnya menjadi lebih komprehensif dan inklusif.
Saya adalah alumni Perguruan Al-Azhar yang memiliki tiga ijazah, yakni SMP, SMA (Biologi), Licence atau Sarjana Strata 1 dari Universitas Al-Azhar. Saya merasa bangga bahwa Al-Azhar tetap berwibawa secara intelektualitas dan kemajuan berpikir serta memberikan peluang bagi umat Islam di seluruh pelosok dunia untuk bersikap fleksibel, tanpa meninggalkan ajaran yang prinsip dalam Islam. Perguruan Al-Azhar sejak dahulu hingga kini berpegang pada prinsip moderasi dan inklusivitas. Hal ini terlihat dari keberaniannya dalam melakukan ijtihad hukum, ijtihad sosial, bahkan ijtihad politik. Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa pembaharuan pemikiran adalah keniscayaan. Kita tetap bisa belajar dari masa lalu, namun pandangan kita harus futuristik demi membangun masyarakat yang adil dan makmur. Walaupun saya menerima juga undangan untuk menghadiri Konferensi ini di Kairo dan tidak bisa hadir karena suatu hal, kita mengucapkan terima kasih kepada tokoh dunia semua yang hadir dan merumuskan hasil dalam masalah yang aktual dan sangat dibutuhkan untuk menghadapi Islamofobia.
Romo Wahyu Saronto saat menanggapi Hasil Konferensi Al-Azhar menyatakan bahwa dirinya juga merasakan suara Konferensi adalah adanya fleksibelitas dalam keislaman. Sifat terbuka dan menerima kehadiran unsur positif lain ini sangat dibutuhkan untuk membangun kebersamaan yang bersifat nasional, regional, dan global dalam suasana saling menghormati.
Pada awal pembukaan Konferensi, Pemerintah Mesir menganugerahkan Bintang Tanda Kehormatan kepada Prof. Dr. M. Quraish Shihab (Rektor IAIN Jakarta periode 1992-1998). Penghargaan tersebut diberikan oleh Pemerintah Mesir kepada ulama dan cendekiawan Muslim, dari dalam dan luar Mesir, yang telah berjasa dalam melakukan pembaharuan di bidang pemikiran Islam dan menyebarkan pemahaman Islam yang moderat dan toleran.
Ulama lain yang memperoleh penghargaan adalah Syeikh Muhammad Mustafa al-Maraghi (1881-1945), Grand Syeikh Al-Azhar ke-8 (tokoh pembaharu pada masanya); Syeikh Musthofa Abdul Raziq (1885-1947), Grand Syeikh Al-Azhar ke-10 (ulama dan tokoh pembaharu filsafat Islam di era modern); Syeikh Mahmoud Syaltut (1893-1963), Grand Syeikh Al-Azhar yang pertama kali mendapat gelar al-Imam al-Akbar dan tokoh pembaharu dan perintis dialog antarmadzhab (Sunnah-Syiah); Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq (Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar); Prof. Dr. Nasr Farid Washil (Anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar); Syeikh Muhammad Husein (Mufti al-Quds Palestina); Syeikh Dr. Abdul Lathif Abdul Aziz Al Syeikh (Menteri Urusan Islam, Dakwah dan Bimbingan Kerajaan Arab Saudi); dan Syeikh Dr. Sulthan al-Rumaitsi (Sekjen Majelis Hukama al-Muslimin, Uni Emirat Arab). (al/ns)