Spirit Santri di Era Digital: #ApaKataAhli Bersama Prof. Ahmad Tholabi
Ruang Podcast, Berita UIN Online – Podcast #ApaKataAhli UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menghadirkan refleksi istimewa bersama Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., M.H. Bertepatan dengan momentum Hari Santri Nasional 2025 dengan mengangkat tema seputar makna kesantrian dan relevansinya di tengah tantangan era digital.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Tholabi menegaskan bahwa Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober bukan hanya seremoni tahunan, melainkan momen untuk meneguhkan kembali nilai-nilai luhur kepesantrenan yang telah membentuk karakter bangsa Indonesia. “Hari Santri adalah pengingat bagi kita semua bahwa nilai-nilai pesantren harus terus hidup di setiap ruang kehidupan, baik dalam pendidikan, sosial, maupun kebangsaan,” ujarnya.
Sebagai putra daerah Banten, Prof. Tholabi mengaku tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan tradisi santri. “Banten dikenal sebagai daerah seribu ulama dan sejuta santri. Menjadi santri bagi masyarakat Banten bukanlah hal luar biasa, karena pesantren sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Ia mengisahkan pengalamannya menimba ilmu di Pesantren Al-Jariyah, Cilegon, salah satu pesantren tertua di Banten yang didirikan oleh KH. Syam’un, ulama besar sekaligus pejuang kemerdekaan. “Beliau bukan hanya kiai, tapi juga seorang brigadir jenderal. Sosok KH. Syam’un menunjukkan bahwa santri mampu berperan sebagai ulama, pemimpin, dan pejuang bangsa,” kenangnya.
Menurut Prof. Tholabi, pesantren merupakan pusat pembentukan karakter dan moralitas. Di sanalah santri belajar tentang keseimbangan antara ilmu, iman, dan amal. “Pesantren itu tempat menempa diri. Kita belajar bukan hanya memahami kitab, tetapi juga bagaimana mempraktikkan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan keteguhan hati,” ungkapnya.
Perjalanan akademiknya juga membawanya ke Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat. Di pesantren tersebut, ia merasakan langsung bagaimana pendidikan pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan semangat kebangsaan dan disiplin intelektual. “Santri harus menjadi ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Itulah pesan para kiai yang selalu saya pegang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Tholabi menjelaskan bahwa pesantren memiliki peran besar dalam sejarah perjuangan Indonesia. Para santri dan ulama menjadi garda terdepan dalam melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan.
“Sejarah mencatat, semangat perjuangan para kiai dan santri melahirkan peristiwa besar, seperti Resolusi Jihad 1945. Itu bukti nyata kontribusi pesantren terhadap bangsa,” tegasnya.
Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, Prof. Tholabi menegaskan bahwa pesantren tidak boleh dianggap sebagai lembaga tradisional yang tertinggal. Sebaliknya, pesantren justru visioner dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
“Jangan melihat pesantren dengan kacamata kuda. Banyak alumni pesantren yang kini menjadi ilmuwan, birokrat, dan teknokrat berintegritas. Santri tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga berakhlak mulia,” katanya.
Ia menambahkan, integritas merupakan inti dari pendidikan pesantren. “Ilmu tanpa akhlak itu kosong. Di pesantren, setiap pertemuan dengan guru mengajarkan adab dan ketawadhuan. Itulah yang membentuk karakter santri sejati,” tambahnya.
Terkait tantangan era digital, Prof. Tholabi mengajak santri untuk aktif beradaptasi dan tidak menjauh dari perkembangan teknologi. “Teknologi tidak bisa dihindari. Santri dan pesantren harus memanfaatkannya sebagai sarana dakwah dan pendidikan. Dunia digital adalah ruang baru yang harus diisi oleh santri dengan nilai-nilai kebaikan,” jelasnya.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa keterbukaan informasi juga membawa konsekuensi. Saat ini pesantren tidak lagi eksklusif, sebab aktivitasnya dapat dilihat publik melalui berbagai media. “Inilah tantangan kita. Jika ada satu kasus di pesantren yang viral, dampaknya bisa meluas. Karena itu, penting menjaga marwah pesantren dan terus memperbaiki diri,” ujarnya.
Menurut Prof. Tholabi, sikap terbuka terhadap kritik merupakan bentuk kedewasaan pesantren dalam menghadapi perubahan zaman. “Kritik jangan dihindari, tetapi dijadikan bahan introspeksi agar pesantren semakin baik dan bermartabat,” katanya.
Menutup refleksinya, Prof. Tholabi berpesan agar seluruh santri dan alumni pesantren terus membawa nilai-nilai luhur kepesantrenan di mana pun berada. “Menjadi santri tidak berhenti saat keluar dari pondok. Spirit santri harus terus hidup. Keikhlasan, ketawaduan, dan kejujuran adalah warisan pesantren yang tidak boleh pudar,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa semangat kesantrian bukan hanya milik mereka yang pernah mondok. “Siapa pun yang menjunjung tinggi kejujuran, kesederhanaan, dan semangat belajar sejatinya juga membawa ruh kesantrian. Hari Santri adalah milik seluruh bangsa,” tutupnya.
Melalui segmen #ApaKataAhli, UIN Jakarta berupaya menghadirkan ruang refleksi yang inspiratif dan mencerahkan. Prof. Ahmad Tholabi mengingatkan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan penjaga nilai dan peradaban bangsa. Di tengah derasnya arus digital, pesantren dan santri dituntut untuk terus meneguhkan peran itu, menjaga cahaya ilmu dan akhlak agar tetap menyala bagi Indonesia.
(Kareena Auliya J./Fauziah M.Zaenal M./Muhamad Arifin Ilham)