Spirit Maulid Nabi SAW dalam Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Kemanusiaan

Spirit Maulid Nabi SAW dalam Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Kemanusiaan

Untuk mengenal lebih dekat ajaran Islam, sebaiknya yang pertama dipelajari secara utuh dan mendalam adalah sosok nabi Muhammad sebagai pembawa atau pendirinya. Dalam hal ini umat Islam merasa beruntung karena sejarah Muhammad tertulis secara lengkap dan hidup dalam sorotan sejarah yang terang benderang sehingga mudah untuk dipelajari dan diteladani kehidupannya. Tentu ini berbeda dari sejarah nabi-nabi sebelumnya yang riwayat hidupnya tidak semuanya bisa ditelusuri secara lengkap, meskipun kita meyakini mereka sebagai nabi utusan Tuhan yang mengajarkan jalan kebaikan, kebenaran dan keselamatan sebagaimana dituturkan dalam Alqur’an.

Dari ke enam rukun iman yang diajarkan dalam Islam, hampir semuanya gaib, tak terjangkau oleh nalar kita. Yang bisa kita rujuk sebagai pintu masuk untuk mengetahui ajaran Allah adalah melalui Alqur’an dan sejarah hidup nabi Muhammad. Oleh karena itu, agar kalimat syahadat tentang Allah dan kerasulan Muhammad menjadi berkualitas, seorang muslim mestilah mempelajari sirah nabawiyah dan isi Alqur’an yang menjadi warisan terbesarnya, yaitu petunjuk Allah untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Ditegaskan dalam Alqur’an (Anbiya:107), nabi Muhammad itu diutus oleh Allah untuk menebarkan rahmat bagi semesta. Nabi Muhammad menjadi instrument Allah untuk menebar kebajikan dan kedamaian bagi manusia. Jika memang demikian halnya, mengapa nabi Muhammad dimusuhi bahkan hendak dibunuh oleh orang-orang Qureisy yang notabene masih sebangsa? Pertanyaan ini sesungguhnya bisa juga dialamatkan pada sosok nabi Ibrahim, nabi Musa dan nabi Isa (Yesus) yang kesemuamnya juga dikejar-kejar musuh untuk dibunuh. Salah satu penjelasannya adalah, para nabi itu pada awal kemunculannya selalu berada pada pihak-pihak yang tertindas, yang kemudian melakukan kritik dan perlawanan pada penguasa yang menindas. Sosok nabi dianggap oleh elite penguasa sebagai ancaman subversi yang akan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari genggaman mereka. Ketika orang bicara kekuasaan, biasanya standar benar-salah menjadi sekunder, yang mengemuka adalah menang-kalah. Siapa yang dianggap mengancam mesti ditundukkan.

Namun nabi Muhammad, sebagaimana juga nabi-nabi sebelumnya, pantang menyerah, bahkan mengalah hijrah ke Yathrib untuk menebarkan ajaran Islam yang pada urutannya mendapat simpati dan pengikut yang terus meningkat, yang kemudian kota Yathrib diubah namanya menjadi Madinah. Apa yang menjadi daya tariknya sehingga para pengikutnya setia mengikuti ajarannya dan siap membela gerakan nabi Muhammad? Yang pertama adalah akhlaknya yang dikenal sebagai orang yang terpecaya, al-amin, trusted person. Pribadi yang jujur, senang menolong, dan tak pernah melukai perasaan orang lain. Yang kedua adalah keunggulan ajarannya, yang mampu menembus hati dan membangkitkan nalar untuk berpikir kritis-logis. Nabi Muhammad menyampaikan kebenaran Alqur’an dengan disertai integritas yang tinggi, mengundang dan membangkitkan nalar sehat untuk memahami secara jernih -bukan taklid buta– agar siapapun yang memeluk Islam berdasarkan pilihan bebas dan suka rela. Secara tegas dikatakan dalam Alqur’an, tak boleh ada paksaan dalam menebarkan agama (لا اكراه فى الدين), karena paksaan tak akan menghasilkan ketulusan dan kesalehan yang otentik.

Jadi, jika dikaji buku sejarah dan ayat-ayat Alqur’an, semua peperangan yang terjadi semasa hidup Rasulullah dipicu untuk mempertahankan diri dari kekuatan musuh yang hendak mengentikan gerakan Muhammad dan ajarannya. Alquran pun menggunakan frase “diijinkan oleh Allah kamu berperang” – bukannya disuruh - setelah kondisi nabi Muhammad benar-benar terancam jika tidak melakukan perlawanan. Kondisi ini tak jauh berbeda dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang memaksa rakyat nusantara berperang, baik dengan cara bergerilya maupun secara frontal adu fisik, karena adanya kekuatan asing yang tidak menghendaki lahirnya “negara Republik Indonesia” yang merdeka dan berdaulat penuh. Namun begitu mesti kita ingat, bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai mesin perang. Demikianlah, nabi Muhammad adalah sosok pejuang kemanusiaan dan pembangun peradaban yang cita-cita dan warisannya terus berjalan sampai hari ini. Ajaran Islam yang dikembangkan bukanlah sebuah agama untuk memprovokasi perang, tetapi agama salam. Perkembangan jumlah pemeluk Islam termasuk tercepat dibanding agama-agama lain. Kandungan Alqur’an adalah ajaran untuk membangun peradaban, bukannya doktrin perang. Makanya disayangkan, adanya buku-buku sejarah maupun penceramah yang selalu menggambarkan dan mengedepankan cerita Muhammad sebagai tukang perang. Oleh beberapa penceramah beberapa ayat Alqur’an yang berkaitan dengan perang pada masa itu diangkat kembali untuk memprovokasi agar umat Islam angkat senjata untuk menghadapi ummat yang beda agama, pada hal konteks sosialnya sudah berbeda. Semasa hidup Rasulullah perang itu hanya dilakukan sebagai pembelaan diri. Tak ada perintah perang hanya karena berbeda agama. Bagimu agamamu, bagiku agamaku, tegas Alqur’an. Di zaman modern ini, setelah Perang Dunia II, perang fisik adu senjata antar bangsa dan negara menurun secara drastic. Bahkan warga dunia dengan teknologi internet semakin terhubung satu dengan yang lain untuk menjalin kerjasama dalam bidang keilmuan dan ekonomi. Agar warga bumi yang mencapai jumlah delapan milyar ini survive, dibutuhkan kemitraan dan kerjasama, bukannya kompetisi yang mengarah pada konflik senjata.

Ketuhanan dan Kemanusiaan

Ada dua tema pokok seluruh ajaran nabi Muhammad, yaitu: ketuhanan dan kemanusiaan. Pertama kita diajak untuk merenung dan berfikir dengan membaca ayat-ayat semesta bahwa semua ini tidak datang dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh Allah. Allah yang maha rahman dan rahim mencipta dan menyediakan ini semua untuk manusia. Manusia adalah makhluk ciptaan tertinggi dengan dilengkapi kecerdasan di atas yang jauh ciptaan lainnya. Oleh karenanya manusia tidak pantas bersujud menyembah dan memuja obyek apapun yang lebih rendah dari posisi dirinya, misalnya jabatan dan harta kekayaan karena posisi manusia lebih tinggi dari keduanya. Manusia tidak pantas memuja siapapun selain Allah yang maha agung dan absolut, sementara manusia posisinya sama -sama rapuhnya, yang mengenal kelahiran, sakit, dan kematian. Saat ini penduduk bumi tengah gelisah, kelimpungan dan dicekam ketakutan akibat dipermainkan oleh virus corona. Virus corona bisa juga dilihat sebagai bagian dari ayat kauniyah untuk dipahami dan direnungkan manusia, yang menyerang siapapun tanpa pandang bangsa, agama, professi dan kelas sosial.

Di samping diberi kecerdasan akal untuk membaca ayat-ayat Tuhan yang yang terhampar dalam semesta dan panggung sejarah manusia, Tuhan juga meniupkan ruh-Nya ke dalam setiap tubuh insani. “Wa idz sawwaituhu fanafahtu fiihi min ruhy”. Ruh inilah wadah yang mampu menampung cahaya dan petunjuk ilahi yang disebut iman, yang kemudian tertulis dalam lembaran-lembaran hati. Ayat-ayat qalbiyah inilah yang mesti dipedomani dan jadi penuntun kita semua dalam berpikir dan bertindak agar seseorang memiliki karakter yang kokoh dan mulia (akhlaqul karimah), yang mampu menggerakkan seseorang untuk berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Allah mengingatkan, “Mengapa engkau menyuruh orang lain berbuat kebaikan, namun kamu melupakan dirimu tidak melakukan apa yang kamu perintahkan itu, pada hal engkau membaca kitab. Apakah kamu tidak renungkan?”. Jadi sesungguhnya dalam setiap dada seorang muslim tertulis kitab Allah, yang disebut suara hati nurani. Baris-baris ayatnya akan semakin terang dibaca jika hatinya bersih, diterangi cahaya ilahi, yang membuat setiap orang memiliki kesadaran kuat untuk membedakan antara yang halal dan haram, yang mulia dan hina. Hatinya mampu membedakan dan menggerakkan untuk memilih tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi sesama manusia dan mencegah tindakan yang mencelakakan diri dan sesama manusia. Ayat-ayat Tuhan dalam kalbu itulah yang jadi pedoman dan penggerak tindakan, sedangkan kitab suci yang tertulis dalam lembaran kertas itu sebagai rujukan untuk dikaji oleh nalar sebagai jalan masuk untuk memahami dan menghayati isi kitab yang ada di lembaran-lembaran hati. “Dzalikal kitabu la raiba fiih. Hudan lil muttaqin”. Dikatakan kitab suci karena datang dari maha suci, lalu disimpan di dalam hati yang suci, sehingga tak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang taqwa. Sedangkan lembaran kitab suci yang tercetak dalam mushaf itu merupakan rujukan dan pintu masuk untuk dikaji dengan nalar. Namun ketika mendekati Alqur’an hanya dengan otak dan nalar, tanpa kejernihan dan ketulusan hati, sangat bisa jadi yang muncul adalah perselisihan pendapat dan tafsir lalu menimbulkan perpecahan atas nama kebenaran Tuhan.

Jadi, setinggi apapun pendidikan seseorang, sepintar apapun isi kepala seseorang, sehebat apapun jabatan seseorang, jika tidak diterangi dan dipimpin oleh qalbun salaim, hati yang bersih dan sehat, tidak ada jaminan perilakunya akan mendekatkan pada kebaikan. Mengapa? Karena kecenderungan manusia itu selalu mendorong berbuat zalim dan korup.

Di dalam Alqur’an terdapat kata “insan” sekitar 36 kali disebutkan. Kesemuanya berkonotasi negatif, seperti manusia itu mudah sombong, ingkar, keluh kesah, zalim, kikir, riya, dan sebagainya sehingga jika sepak terjang manusia jika tidak dikendali oleh kekuatan “ruhani”, manusia senantiasa akan mengajak pada tindakan korup dan merusak. Adalah ruhani atau spiritual yang senantiasa memancarkan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Pendidikan ruhani itu wilayah kekuasaan Allah, karena Dia yang meniupkan ruhNya pada setiap manusia, melalui para rasulNya. Kata Alquran, “Wayasalunaka aninrruh. Qulirrruh min amri roabby” (Al-Anbiya: 85). Ruh itu urusan Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa mendidik dan mengendalikannya.

Berdasarkan pemikiran di atas maka kita mudah memahami mengapa misi kerasulan Muhammad itu yang ditekankan adalah iman pada Allah, membangun insan bertaqwa, dan menyempurnakan akhlak manusia. Jika keimanan dan ketaqwaan seseorang sudah kokoh, maka manusia dengan kecerdasannya akan mampu membangun kebudayaan yang menjujung tinggi prinsip keadilan untuk kesejahteraan umat manusia. Cara untuk menjaga kebersihan dan kekuatan hati itu dengan sholat dan dzikir. Artinya, dimana pun dan kapan pun seseorang berada, hatinya selalu terhubung dengan Tuhan sehingga mampu mencegah perbuatan keji dan munkar (Al-Ankabut: 45). Terlebih bagi seorang pemimpin dan pebisnis, ketika membuat keputusan mesti senantiasa menghadirkan hati nurani dalam terang ilahi agar keputusannya tidak mendatangkan kerusakan bagi sesame manusia. Jadi, di sini terlihat jelas ajaran yang dibawa nabi Muhammad, keimanan itu tertuju pada Allah, namun buah imannya harus dirasakan oleh sesama manusia untuk mencegah tindakan keji dan munkar.

Dalam surat Albaqarah 177 dijelaskan, apakah kebajikan (al-birru) itu? Yaitu engkau mengimani Allah, adanya hari akhir, malaikat, kitab suci dan diutusnya para nabi-nabi. Lalu engkau memberikan harta yang kamu cintai itu kepada kerabatmu, anak-anak yatim, orang yang miskin, orang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, orang yang karena kesulitan hidup lalu meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya. Yaitu mengangkat problem yang membelenggu seseorang, senantiasa mendirikan sholat, menunaikan zakat, memenuhi janji-janjinya, yang semuanya itu dilakukan dengan sabar, konsisten, sekalipun ditimpa kesulitas dan penderitaan. Itulah orang-orang yang benar imannya, dan itulah tanda-tanda otrang yang bertqwa.

Ayat di atas sangat jelas dan tegas menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara keimanan dan kemanusiaan. Orang yang mengaku beriman, maka bukti keimanannya mesti terpancar dalam komitmennya untuk selalu memperjuangkan nilai-nilai dan harkat kemanusiaan, membela mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Itulah yang dicontohkan nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya. Sikap untuk selalu meniru perilaku Rasul dalam berserah diri dan mentaati ajaran Allah itu disebut islam, orangnya disebut muslim. Di Indonesia, konotasi islam diperluas lagi maknanya dengan memasukkan kategori dan identitas demografis-sosiologis yang kemudian dituliskan dalam KTP.

Dimensi Spiritualitas dan Kemanusiaan Pancasila

Menarik sekali menghubungkan ajaran Rasulullah Muhammad dengan nilai-nilai Pancasila yang dijadikan ideologi berbangsa dan bernegara. Ketuhanan atau kebertuhanan menjadi sila yang pertama. Dengan demikian mestinya ketika bangsa dan negara ini merumuskan berbagai kebijakan publik mesti dilandasi dengan kesadaran penuh bahwa semua yang dilakukan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Implikasi dan konsekuensi dari sikap kebertuhanan itu maka seseorang memiliki cinta kasih dan kepedulian terhadap nasib sesama manusia. Orang yang mengaku bertuhan mestinya menghargai derajat sesama manusia, apapun latar belakang etnis dan agama, karena di atas itu semua mereka adalah makhluk Tuhan. Kasih terhadap sesama manusia itu telah dicontohkan oleh nabi Muhammad. “Hai Muhammad, sekiranya kamu bersikap kasar dan berhati keras, niscaya ajakanmu tak akan didengar, orang-orang itu pun akan lari dari sekelilingmu” (Al-Imran: 159).

Jadi, hubungan antara ketuhanan dan peri kemanusiaan tak bisa dipisahkan, jika dua sila itu telah dihayati dan dijalankan, maka akan membuahkan kerukunan, perdamaian dan persatuan antar sesama manusia, dimulai dari rumah kita sendiri yaitu Republik Indonesia. RepublikIndonesia itu batas administrative-teritorial, namun cinta kemanusiaan itu lingkupnya universal. “Hai Muhammad, kamu diutus sebagai penebar rahmat, cinta kasih untuk semesta” (Al-Anbiya: 107). Hanya persatuan Indonesia yang diikat dengan kasih dan sikap saling menghargai sesame hamba Tuhan, maka kita bisa duduk bersama untuk bermusyawarah dengan hikmat dan bijaksana. Kita saling berbagi wisdom untuk memajukan bangsa dan negara dengan menundukkan ego dan kepentingan pribadi serta golongan, semata untuk kepentingan bersama, wujud kongkritnya adalah menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat semua.

Menegakkan keadilan ini sangat mulia, sekaligus kewajiban yang berat terutama bagi seorang pemimpin. Sampai-sampai Alqur’an menyebutkan: Janganlah perasaan dan kepentingan subyektifmu serta kebencianmu pada seseorang atau kelompok mendorong kamu berbuat tidak adil. Berlakulah adil, yang demikian itu sangat mendekatkan pada ketaqwaan اعدلوا فانه اقرب للتقوى (Almaidah: 8). Menegakkan keadilan itu berarti membela dan memperjuangkan hak bagi yang memilikinya. Makanya bersikap adil adalah tugas utama bagi seorang pemimpin. Bedakan antara menegakkan keadilan dan berbuat baik seperti halnya bersedekah atau menolong orang. Menolong atau bersedekah berarti kita mengeluarkan atau memberikan sesuatu dari apa yang kita miliki dalam rangka membantu orang lain. Adapun berbuat adil, berarti memperjuangkan dan membela serta melindungi apa yang jadi hak orang lain, misalnya hak-hak rakyat atau warga negara.

Kita sulit membuat definisi apa itu adil. Tetapi kita akan faham maknanya jika kita dalam posisi dizalimi. Adil berkaitan dengan tegaknya prinsip keseimbangan, baik dalam jagad semesta maupun kehidupan sosial. Sejarah dunia mengejarkan, ketika prinsip keseimbangan dan fairness rusak, maka kehidupan sosial akan bergolak.

Demikianlah, semoga uraian singkat di atas memicu dan menggerakan hati dan pikiran kita untuk lebih memahami siapa sesungguhnya nabi Muhammad dan apa warisan yang diajarkan yang membuat ajarannya senantiasa berkembang dari zaman ke zaman. Salah satu yang unik dadi sosok nabi Muhammad, semakin orang yang tadinya membenci, setelah mengenal dekat dia akan berubah sikapnya lalu jatuh cinta. Dan ini terjadi bagi beberapa orientalis yang semula membenci Islam karena dianggap agama teroris, tetapi setelah mempelajari sejarah Muhammad dan ajarannya, lalu berubah jatuh cinta.

Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disampaikan pada acara Maulid Nabi Tingkat Kenegaraan, 29 Oktober 2020. (mf)