Soft Diplomacy Indonesia
DALAM beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia terlihat kian aktif dalam percaturan internasional. Gejala ini berbeda dengan masa paruh pertama dasawarsa pasca-Soeharto. Dalam masa paruh pertama itu, pemerintah Indonesia yang silih berganti dalam waktu relatif singkat sejak dari presiden Habibie, presiden Abdurrahman Wahid, dan presiden Megawati Soekarnoputri terlihat tidak terlalu memberikan prioritas pada peningkatan kembali dan revitalisasi postur Indonesia dalam kancah internasional. Keberhasilan duet kepemimpinan nasional berikutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mewujudkan perdamaian di Aceh pada 2005 memberikan leverage cukup besar bagi Indonesia untuk kembali memainkan peranan penting dalam percaturan internasional, khususnya dalam upaya menciptakan dunia yang lebih aman dan damai.
Tidak heran kalau kemudian berbagai pihak internasional, baik secara resmi maupun tidak meminta bantuan Indonesia untuk menyelesaikan konflik yang mereka hadapi, mulai dari konflik di Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Srilanka. Bahkan, Presiden Yudhoyono pernah mengundang faksi-faksi yang bertikai di Irak dan Palestina untuk duduk bersama membicarakan perdamaian di antara mereka. Begitu juga, Presiden Yudhoyono menawarkan mediasi ketika Thailand dan Kampuchea ribut tentang wilayah perbatasan kedua negara yang mencakup sebuah candi tua belum lama ini; juga pada peristiwa terakhir awal tahun ini, ketika Israel mengerahkan kekuatan militernya menghancurkan Jalur Gaza.
Memang, upaya-upaya mediasi itu belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Tetapi setidaknya, dengan upaya-upaya itu Indonesia kembali berusaha memainkan peran penting dalam percaturan internasional. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, yang pernah memainkan peran penting dalam kancah internasional, sudah sepatutnya meninggalkan postur yang pernah saya sebut sebagai the sleeping giant Asia Tenggara pada paruh pertama dasawarsa pasca-Soeharto.
Bersama sejumlah program lain pada tingkat internasional yang melibatkan inisiatif Indonesia seperti ASEM Interfaith Dialogue, ASEM Media Dialogue, dan seterusnya, Indonesia meningkatkan peran dan posturnya dengan pendekatan soft-power diplomacy, diplomasi melalui dialog, persuasi, pertukaran gagasan, dan best-practices.
Soft-power diplomacy tentu saja merupakan alternatif terbaik daripada pendekatan hard-power yang melibatkan penggunaan ancaman, boikot, dan bahkan kekuatan militer seperti tidak jarang kita saksikan dalam masa pasca-peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Sekali lagi, Indonesia kini kembali memiliki leverage, bobot, dan postur yang cukup disegani untuk memainkan peran lebih besar dalam kancah internasional. Salah satu faktor lain yang memperkuat leverage Indonesia adalah keberhasilannya dalam mengembangkan demokrasi; dan ini menjadi lebih istimewa lagi, karena pengembangan demokrasi itu berlangsung di negara yang paling banyak penduduk Muslimnya. Hasilnya, Indonesia dikenal tidak hanya sebagai negara Muslim terbesar, tetapi juga sekaligus sebagai demokrasi ketiga terbesar setelah India dan AS.
Memang, demokrasi Indonesia masih jauh daripada sempurna; seperti juga tidak ada negara demokrasi manapun di dunia ini yang dapat mengklaim sebagai contoh ideal demokrasi. Demokrasi punya batas dan kelemahan tertentu; dan karena itu perlu terus disempurnakan dan diberdayakan, sehingga bisa lebih fungsional, tidak hanya menciptakan kondisi politik yang lebih ideal, tetapi juga dalam mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks itu, Indonesia berada dalam posisi yang pas untuk mengambil inisiatif penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF) pada 10-11 Desember 2008 lalu. Dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, BDF dihadiri PM Australia, Kevin Rudd; Sultan Hassanal Bolkiah; PM Timor Leste, Xanana Gusmao; BDF diikuti 32 negara Asia-Pasifik dan delapan negara peninjau. Dilihat dari tingkat partisipasi negara-negara tersebut, BDF dapat dikatakan sebagai sebuah success story Indonesia dalam soft-diplomacy-nya.
Percakapan tentang demokrasi dalam BDF lebih bersifat inklusif; tidak ada upaya 'menggurui' apalagi 'menekan' negara-negara yang belum demokratis untuk segera melakukan transformasi politik menjadi demokrasi. Ini agaknya merupakan pendekatan khas diplomasi Indonesia, yang lebih cenderung merangkul daripada memojokkan.
Hasilnya, negara-negara peserta BDF sepakat tentang perlunya bagi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik untuk terus melakukan konsolidasi demokrasi, yang harus dikembangkan dari bumi sendiri, bukan dipaksakan kekuatan manapun dari luar. Demokrasi bisa unik dari satu negara ke negara lain karena pertimbangan realitas sejarah, kondisi ekonomi, sosial-budaya dan seterusnya. Tak kurang pentingnya adalah bahwa demokrasi merupakan unsur kunci untuk kedamaian dan stabilitas di kawasan ini.*
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 15 Januari 2009
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta