Sesuaikan Hukum dengan Adat yang Berlaku
Reporter: Jaenuddin Ishaq
Gedung Pascasarjana, UIN Online - Mencari format syariah multikultural, merupakan wacana yang sudah lama dibincang oleh para ahli hukum Islam. Umumnya mereka berpendapat, bahwa syariah yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah harus dipahami sebagai norma etika dan moral yang bersifat universal dan berlaku untuk semua masyarakat.
â€Termasuk di dalamnya melintasi suku, adat istiadat, bangsa, dan bahkan agama sekalipun. Format ideal inilah, diharapkan membawa rahmat bagi masyarakata,†kata Muhammad Adil dalam sidang promosi doktor dengan judul disertasi Simbur Cahaya: Studi Tentang Pergumulan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN, Selasa (28/12).
Adil menjelaskan, dalam sejarah perjalanan Islam di Indonesia, gagasan untuk membentuk hukum Islam yang mempunyai karakteristik lokal pernah dilakukan oleh beberapa intelektual muslim seperti Ash-Shiddiqy. Namun konsep fikih Hijaz, fikih Mesir, dan fikih-fikih lokal lainnya yang ada dibeberapa negara muslim telah ikut mempengaruhi pemikirannya.
â€Ulama kita seakan tidak mampu untuk berijtihad sesuai dengan kepribadian rakyat Indonesia. Terkesan mengaplikasi fikih Mesir dan fikih Hijaz di masyarakat, atas dasar taklid,†jelas dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah Palembang ini.
Lebih dari itu, lanjut Adil, yang menarik untuk dicermati bahwa untuk membentuk fikih Indonesia, Ash-Shiddiqy mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. â€Seperti hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat,†tutur Adil. Dalam hal ini Ash-Shiddiqy mengkonsepsikan mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat, sebagai acuan pembentukan sebuah format hukum Islam.
Adil menyebutkan, gagasan tersebut memberikan dua paradigma penting hukum Islam yang bisa diambil dalam proses membentuk hukum keluarga Islam Indonesia pertama, kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi zaman dan tempat. Konsekuensinya, perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Kedua, menghargai tradisi lokal. Karekter ini dibangun dari kenyataan sejarah bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra Islam.
â€Bahkan faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memposisikan tradisi lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukkan, tetapi Islam memposisikannya dalam dimensi dialogis,†ujar Adil yang memperoleh nilai yudisium 3,463 atau amat baik ini.
Ia menyayangkan, kedua hal diatas sering dilupakan. Akibatnya hukum Islam pada masa Nabi SAW, dipahami sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan terlepas dari konteks rasio cultural yang ada dimasyarakat Arab. “Oleh karena itu ‘urf menjadi salah satu metode akomodasi hukum Islam yang efektif terhadap adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,†kata Adil.