Seminar FISIP: Masih Banyak Celah dalam Perjuangan Kesetaraan Gender

Seminar FISIP: Masih Banyak Celah dalam Perjuangan Kesetaraan Gender

Gedung FISIP, BERITA UIN Online— Pemberian ruang bagi perempuan dalam mengakses kesetaraan mendapat keadilan masih harus diperjuangkan. Sejumlah sisi dinilai perlu terus diperhatikan guna merealisasikaan kesetaraan gender dan kesamaan akses keadilan bagi para perempuan.

Demikian benang merah seminar internasional Gender Equality and Equitable Acces to Justice for Women yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta, Selasa (8/11/2022). Seminar menyoroti berbagai isu kesetaraan gender di tataran global, terutama Indonesia.

Acara yang dibuka Dekan FISIP, Prof. Ali Munhanif Ph.D, dan dimoderatori Dosen FISIP Iim Halimatusa'diyah Ph.D ini menghadirkan tiga narasumber perempuan. Ketiganya, Prof. Rachel Rinaldo Ph.D dari University of Colorado Boulder USA, Rika Saraswati Ph.D dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, dan Windy Triana, Ph.D. dari UIN Jakarta.

Rachel dalam paparannya menuturkan sejumlah realitas sosiologis dan legal perkawinan di Indonesia. Sejak tahun 2000-an, jelasnya, terjadi peningkatan angka perceraian di Jawa dimana hampir 20 persen perempuan usia 15-49 tahun pernah mengalami perceraian dengan inisitatif cerai terbanyak dari perempuan.

Tingkat pendidikan, kemandirian ekonomi, dan dukungan keluarga merupakan sebagian alasan perempuan lebih percaya diri meninggalkan ikatan perkawinan yang tidak membuatnya bahagia. Sejumlah regulasi perkawinan, seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memberi ruang bagi perempuan melakukan gugatan cerai.

Namun, jelasnya, tidak sedikit perempuan juga harus menerima konsekuensi bahwa gugatan cerai tidak selalu mendukung perempuan seperti minimnya harta bagian yang seharusnya mereka dpaatkan. “Banyak perempuan pasca cerai dilaporkan tidak menerima pembiayaan dalam jumlah seharusnya. Pengadilan memang memiliki mekanisme untuk memaksa itu, namuan selain tidak menyadari, perempuan juga tidak mau menggunakan mekanisme tersebut," katanya.

Dari sisi regulasi, jelasnya, KHI di Indonesia sudah cukup maju dengan memungkinkan perempuan mengajukan cerai dari sebuah perkawinan. Meski begitu, dilihat dari sudut pandang pembagian kerja dalam rumah tangga, produk hukum ini tetap menekankan suami sebagai penopang utama pembiayaan keluarga.

Sementara itu, Rika mengamati masih banyaknya kekerasan domestik terhadap perempuan di tanah air. Kekerasan dalam berbagai varian fisik dan verbal terjadi dengan aktor utama laki-laki sebagai suami.

Sejumlah produk hukum diakuinya banyak dibuat dalam melindungi kaum perempuan sehingga bisa dikatakan perempuan sebetulnya memiliki akses terhadap keadilan. Namun dalam realitasnya, berbagai akses tidak seluruhnya menolong perempuan sendiri.

“Pengalaman korban-korban kekerasan domestik di kalangan perempuan Indonesia menggambarkan bahwa mereka memiliki peluang akses ke keadilan. Meski demikan, tidak semua resourse itu menolong dan berguna pada kasus-kasus individual tertentu,” paparnya.

Menurut Rika, terdapat sejumlah alasan perempuan kesulitan mengakses keadilan. Diantaranya, perspektif aparat hukum yang lebih mendorong perempuan untuk menyelesaikan kekerasan atas dirinya sebagai wilayah rumah tangga.

“Alasan lain, tingginya pencabutan laporan atas kekerasan rumah tangga, misal karena faktor lainnya seperti status perkawinan yang tidak jelas,” tambahnya.

Lebih jauh Windi berpendapat masih adanya realitas yang tidak cukup mendukung kesetaraan gender bisa dirunut dari minimnya pendidikan kesadaran gender sendiri. Dari sisi pendidikan hukum, kurikulum pendidikan hukum yang tegas menyebutkan gender sangat minim.

Riset Windi atas kurikulum pendidikan hukum di sejumlah perguruan tinggi Islam misalnya hanya ada satu mata kuliah terfokus gender, yaitu Family Law and Gender. Selain hanya berbobot 2 SKS, status mata kuliah juga adalah mata kuliah pilihan sehingga tidak ada kewajiban mahasiswa mengambilnya.

“Isunya adalah minimnya bobot kredit kurikulum dan kurangnya diskusi ter-update tentang isu-isu gender. Sehingga integrasi isu-isu gender dalam pendidikan hukum Islam tidak begitu optimal," simpulnya. (zm)