Selebriti dalam Pusaran Politik
Dr. Iding Rosyidin, S.Ag., M.Si.
Wakil Dekan Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Umum Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (Apsipol) Indonesia
Fenomena selebriti dari kalangan pemain film, penyanyi, komedian, dan sejenisnya yang terjun ke dalam perhelatan politik sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Dari pemilu ke pemilu atau pilkada ke pilkada, kaum selebriti kerap hadir menghiasi gegap gempita politik.
Yang teranyar adalah masuknya komika Marshel Widianto dalam bursa pencalonan wakil wali kota Tangerang Selatan. Bahkan, dia telah dipasangkan secara resmi oleh Partai Gerindra untuk mendampingi kadernya, Ahmad Riza Patria. Respons terhadap duet Riza-Marshel cukup ramai sampai saat ini.
Selain itu, ada banyak nama selebriti lain yang digadanggadang akan terjun ke dalam sejumlah pilkada di beberapa daerah di Indonesia. Di antaranya adalah Raffi Ahmad, dan belakangan istrinya, Nagita Slavina, juga kerap disebut. Lalu ada Ahmad Dhani, Krisdayati, Desy Ratnasari, Eko Patrio, Pasha, dan mungkin masih bakal ada nama lainnya lagi yang belum terungkap.
Sejauh ini ada dua model keterlibatan selebriti dalam politik di Indonesia. Pertama, selebriti yang terjun langsung ikut berkompetisi sebagai kandidat, baik pada level eksekutif maupun legislatif. Kedua, mereka yang hanya memainkan peran sebagai pendulang suara (vote getter) –atau sekarang ada istilah yang sangat populer: buzzer– dalam rangka menarik khalayak luas agar menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat yang didukungnya.
Fenomena Politainment
Masuknya kaum selebriti ke dalam panggung politik, khususnya model yang pertama, bukan tidak mungkin akan membuat politik memiliki warna yang berbeda. Citra politik yang serbaserius, dalam derajat tertentu bersifat keras, akan menjadi lebih lunak atau malah bisa menjadi lebih menghibur layaknya sebagai tontonan. Pada level buruknya: politik berubah dari hal-hal substantif-bermakna menjadi artifisial-hampa.
Inilah yang dikenal sebagai konsep politainment seperti yang disebutkan David Schultz (2012) dalam karyanya, Politainment: The Ten Rules of Contemporary Politics: A Citizens’s Guide to Understanding Campaigns and Elections. Ia merupakan gabungan dari politics dan entertainment (hiburan). Para selebriti yang dalam kesehariannya memang berkiprah di dunia hiburan bisa membuat dunia politik layaknya dunia hiburan.
Lalu mengapa kaum selebriti dibawa masuk ke dalam politik? Tampaknya alasan modal popularitas sulit dibantah. Ketika partai-partai politik di Indonesia pada umumnya sangat pragmatis, kehadiran kaum selebriti yang memiliki modal popularitas tersebut disambut dengan antusias. Hal itu sering kali tanpa mempertimbangkan aspek kemampuan dan pengalaman politik mereka.
Hanya, yang mungkin diabaikan partai-partai politik adalah popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas. Di Pemilu 2024 lalu, misalnya, banyak sekali artis yang gagal melenggang ke Senayan meski mereka menggenggam popularitas. Memang ada yang berhasil, tetapi banyak pula yang gagal.
Hal tersebut, salah satu faktornya, karena publik semakin rasional dalam menentukan pilihan politiknya. Mereka mulai kritis ketika melihat para selebriti, terutama yang sama sekali belum berpengalaman atau belum bersentuhan sama sekali dengan dunia politik. Mereka agaknya lebih melihat selebriti hanya akan dijadikan aksesori politik sehingga tidak layak dipilih.
Kasus Taiwan
Apa yang terjadi di Taiwan terkait keterlibatan selebriti dalam politik cukup menarik untuk dibandingkan. Apalagi, Taiwan belum lama ini telah menyelenggarakan pemilihan umum, tepatnya pada Januari 2024, yang dimenangi partai petahana Democratic Progressive Party (DPP) yang terkenal dengan sebutan partai hijau.
Di negeri ini pun, terdapat dua model keterlibatan selebriti dalam politik. Model pertama, misalnya, direpresentasikan Tammy Lai, seorang aktris Taiwan yang belum punya pengalaman politik sama sekali, ketika digandeng oleh calon presiden dari jalur independen Terry Gou sebagai wakilnya. Tetapi, kemudian Terry tidak dapat melanjutkan pencalonan karena tak memenuhi kuota minimal dukungan rakyat.
Untuk model kedua, ada banyak sekali kaum selebriti dari kalangan aktor, aktris, jurnalis, dan sebagainya yang menyuarakan sesuatu yang dianggap condong ke salah satu partai politik. Dalam hal ini partai oposisi Kuomintang (KMT). Mereka, antara lain, melancarkan pernyataan bahwa kemerdekaan Taiwan adalah jalan buntu, sebaliknya unifikasi dengan Tiongkok tidak dapat terhindarkan, dan sejenisnya.
Seperti diketahui, Partai Kuomintang dianggap sebagai pihak yang lebih ingin membawa Taiwan memiliki hubungan yang erat dengan Tiongkok. Sementara DPP sebagai partai berkuasa memiliki posisi yang sebaliknya. Partai tersebut justru ingin Taiwan lebih independen. Karena itu, di bawah DPP, ketegangan Taiwan-Tiongkok kerap terjadi.
Pada kenyataannya, suara kaum selebriti di Taiwan tidak mendapatkan respons positif dari publik. Sebaliknya, mereka justru dihina dan dicemooh. Bahkan, fans-fans yang semula mendukungnya kemudian berbalik arah dan ikut mengkritiknya. Akibatnya, suara mereka tidak memberikan kontribusi apa pun. DPP tetap keluar sebagai pemenang pemilu untuk kali ketiga secara berturut-turut.
Hal itu menunjukkan bahwa keterlibatan selebriti dalam politik Taiwan dengan dua model di atas tidak berpengaruh terhadap publik. Rasionalitas para pemilih di Taiwan agaknya tidak mudah tergoyahkan oleh hal-hal yang tidak substansial. Bahkan, untuk kasus politik uang (vote buying) pun, seperti terungkap dalam obrolan dengan elite politik di sana, mereka tidak mudah tergoda.
Oleh karena itu, keterlibatan selebriti dalam politik di Indonesia, menurut hemat penulis, cukup memprihatinkan. Pasalnya, semakin banyak selebriti yang terjun ke dalam politik tanpa memiliki kapasitas dan pengalaman politik sama sekali, yang notabene akan banyak mendapatkan resistansi dari publik. Kasus Marshel sebenarnya mengonfirmasi secara jelas kecenderungan tersebut.
(Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini jawapos.com pada 25 Juli 2024)