Sekolah Rakyat: Mimpi Besar Memutus Lingkaran Setan Kemiskinan
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan/Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia
KEMISKINAN yang diwariskan dari generasi ke generasi telah lama menjadi ironi terbesar dalam perjalanan pembangunan bangsa ini.
Meski Indonesia telah tumbuh sebagai negara berkembang dengan capaian ekonomi yang membanggakan, tapi kenyataan pahit di banyak pelosok negeri masih sama, yaitu anak-anak dari keluarga miskin tetap menjadi kelompok paling rentan putus sekolah.
Ketika dewasa, mereka kembali terjebak dalam kemiskinan yang sama. Mereka tumbuh tanpa cukup bekal pendidikan, minim keterampilan, dan kurang akses terhadap peluang hidup yang lebih baik.
Kondisi inilah yang kita kenal sebagai lingkaran setan kemiskinan, di mana kemiskinan menyebabkan faktor-faktor yang pada gilirannya memperburuk kemiskinan dan menciptakan suatu siklus yang sulit dipotong.
Menurut Nurkse tahun 1953, terdapat empat faktor yang menyebabkan lingkaran setan kemiskinan.
Faktor yang pertama ialah produktivitas rendah akibat kualitas sumber daya manusia yang rendah. Rendahnya produktivitas kemudian berdampak pada minimnya pendapatan yang diterima. Pendapatan yang rendah kemudian akan membatasi kemampuan untuk menabung dan berinvestasi. Kondisi ini kemudian mengakibatkan pada kurangnya investasi untuk peningkatan pendapatan.
Serta faktor terakhir adalah terkait ketidakmampuan pasar untuk menyediakan akses yang adil terhadap sumber daya.
Kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan. Jika akar kemiskinan tidak dipangkas sejak dini, maka masa depan Indonesia sebagai negara maju hanya akan menjadi ilusi belaka.
Dalam konteks inilah, kehadiran Sekolah Rakyat yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi sangat relevan. Bukan sekadar program pendidikan alternatif, Sekolah Rakyat adalah bentuk intervensi sosial yang dirancang untuk memotong rantai kemiskinan sejak dari akar paling dalam, yaitu pendidikan dasar.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan adalah kunci emas untuk keluar dari kemiskinan.
Nelson Mandela pernah mengatakan, "education is the most powerful weapon which you can use to change the world."
Dalam konteks Indonesia, pendidikan memiliki makna yang jauh lebih luas dari sekadar proses transfer ilmu. Pendidikan dapat menjadi jembatan sosial antara kemiskinan dan kesejahteraan.
Namun, bagi sebagian besar rakyat kecil, kunci itu terasa begitu jauh dan sulit digapai. Akses pendidikan yang mahal, jarak sekolah yang jauh, kurikulum yang tak relevan dengan kebutuhan hidup, serta minimnya dukungan sosial membuat banyak anak dari keluarga miskin harus mengorbankan hak mereka untuk belajar.
Data yang dirilis oleh Kemensos terkait pelaksanaan program sekolah rakyat mengungkap bahwa sebanyak 227.000 anak usia SD belum pernah sekolah atau putus sekolah. Angka ini melonjak drastis di jenjang SMP sebanyak 499.000 anak dan SMA sebanyak 3,4 juta anak.
Masalah ini semakin kompleks dengan fakta bahwa banyak anak dari keluarga prasejahtera tidak hanya tertinggal dari sisi akademik, tetapi juga dari sisi gizi, literasi awal, dan dukungan keluarga.
Maka, pendidikan bukan hanya soal sekolah dan guru, tetapi ekosistem yang menyeluruh, yaitu dari rumah, lingkungan, hingga kebijakan negara.
Sekolah Rakyat bukan sekadar bangunan fisik atau proyek pencitraan, melainkan suatu filosofi baru dalam pendidikan bahwa pendidikan harus hadir di tengah masyarakat, menjangkau yang terpinggirkan, dan membebaskan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan.
Presiden Prabowo melihat bahwa negara harus hadir secara nyata bagi rakyat kecil, dan pendidikan adalah jalan paling strategis untuk itu.
Program ini dibangun dengan semangat menyetarakan akses pendidikan berkualitas secara merata hingga ke desa-desa terpencil.
Sekolah Rakyat dirancang bukan untuk menyaingi sekolah formal, tetapi sebagai pelengkap dan menyempurna serta menjangkau mereka yang selama ini tercecer dari radar pembangunan pendidikan nasional.
Meski memiliki fungsi serupa dengan sekolah biasa, yaitu menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, Sekolah Rakyat berbeda dalam banyak aspek penting, dari kurikulum hingga fasilitas.
Perbedaan pertama ialah terkait dengan kurikulum yang digunakan. Sekolah Rakyat akan menggunakan kurikulum nasional dengan tambahan penguatan karakter, seperti pelajaran kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan hidup.
Perbedaan kedua ialah terkait dengan penempatan guru yang akan ditugaskan. Sekolah Rakyat akan merekrut hingga 60.000 guru secara nasional, termasuk relawan pendidikan yang biasa bertugas di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Ketiga ialah berkenaan dengan murid yang akan bersekolah di Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat secara eksklusif ditujukan bagi anak-anak dari keluarga desil 1 dan 2, yakni 20 persen rumah tangga termiskin secara nasional berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Keempat, Sekolah Rakyat pada umumnya akan dibangun di lokasi strategis untuk menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini minim akses Pendidikan.
Perbedaan terakhir ialah terkait dengan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Sekolah Rakyat dirancang sebagai boarding school gratis. Siswa tinggal di asrama, mendapatkan makanan, fasilitas belajar, dan kebutuhan dasar lainnya tanpa biaya.
Sekolah Rakyat mengubah narasi dari "sekolah untuk yang mampu" menjadi "sekolah untuk semua". Program ini akan menjadi ruang pengasuhan sosial yang menciptakan kesetaraan sejak usia dini.
Dengan belajar bersama dalam suasana yang bersahabat, anak-anak dari latar belakang berbeda belajar untuk saling menghargai dan tumbuh bersama.
Lebih dari itu, program ini juga memberi kelegaan emosional bagi orangtua. Banyak orangtua miskin selama ini dihantui rasa bersalah karena tidak bisa menyekolahkan anak mereka. Sekolah Rakyat memberi mereka harapan baru bahwa kemiskinan bukan lagi halangan untuk bermimpi besar.
Tentu saja, Sekolah Rakyat tidak akan berjalan mulus tanpa tantangan. Tantangan pertama ialah ketersediaan guru yang berdedikasi.
Mengajar di daerah terpencil atau lingkungan miskin membutuhkan panggilan jiwa dan pelatihan khusus. Kondisi ini mungkin yang menjadi penyebab 160 orang guru yang sedianya akan mengajar di Sekolah Rakyat kemudian mengundurkan diri.
Tantangan kedua ialah terkait keberlanjutan dalam pendanaan program ini. Pemerintah harus memastikan ada skema anggaran jangka panjang yang stabil, termasuk kemungkinan sinergi dengan CSR, zakat, dan dana desa.
Tantangan berikutnya ialah terkait koordinasi lintas sektor. Pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, tapi seluruh elemen terkait harus bersama-sama menyukseskan program ini.
Tantangan terakhir ialah berkenaan dengan monitoring dan evaluasi partisipatif. Keberhasilan Sekolah Rakyat harus diukur tidak hanya dari jumlah siswa, tetapi juga perubahan sosial di komunitas.
Namun jika semua elemen bergerak bersama, maka Sekolah Rakyat bisa menjadi titik balik pembangunan sumber daya manusia yang paling berdampak.
Ketika Indonesia bermimpi menjadi negara maju di tahun 2045, maka investasi terbesar bukanlah pada infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi semata, tetapi pada generasi mudanya hari ini.
Sekolah Rakyat adalah investasi sosial jangka panjang yang hasilnya mungkin tidak langsung terlihat, tapi akan menentukan wajah bangsa di masa depan.
Dengan memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan dasar yang inklusif, Sekolah Rakyat bukan hanya menjawab kebutuhan hari ini, tetapi juga mengamankan masa depan.
Pendidikan memberi peluang bagi anak-anak untuk tumbuh cerdas, sehat, dan mandiri. Pada saat yang sama, pendidikan akan mengurangi beban negara terhadap angka pengangguran, kriminalitas, dan kesenjangan sosial di masa depan.
Sekolah Rakyat yang dilaksanakan oleh Presiden Prabowo adalah wujud nyata dari prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan struktural. Ia bukan program populis, tapi terobosan yang membumi.
Di tengah tantangan global, krisis ekonomi, dan ketimpangan sosial yang masih tinggi, bangsa ini memerlukan lebih banyak kebijakan yang berpihak pada mereka yang paling lemah.
Sekolah Rakyat adalah salah satu jawabannya.
Bukan hanya karena program ini menyediakan pendidikan gratis, tapi karena program ini menghidupkan kembali harapan. Jika kita ingin melihat Indonesia yang lebih baik, maka kita harus mulai dari mereka yang paling tertinggal.
(Artikel ini telah dipublikasikan di kompas.id pada Jumat, 1 Agustus 2025)