Satu Abad NU dan Kontribusi PTKI Menuju Kebangkitan Baru Islam

Satu Abad NU dan Kontribusi PTKI Menuju Kebangkitan Baru Islam

Prof Asep Saepudin Jahar MA, PhD, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembina LAZIZNU dan LWP PC NU Tangerang Selatan

Bagi seseorang, memasuki usia 100 tahun merupakan sesuatu keberkahan sekaligus peringatan. Dikatakan berkah, mengingat selama masa kehidupannya, ia dapat menyaksikan aneka perubahan sosial di sekitarnya, sembari mencicipi keragaman kemajuan skala nasional dan global. Sebagai pengingat, maka akan membawa dirinya pada banyak kilasan pemikiran tentang apa yang sudah dan belum diperbuat, khususnya bagi kehidupan masyarakat banyak. Model sederhana manusia di atas, dalam beberapa kasus, dapat diaplikasikan dalam melihat kiprah Nahdhlatul Ulama (NU) dalam sejarah umat Islam dunia. Organisasi yang lahir di masa pendudukan kolonialis Hindia Belanda ini, mampu bertransformasi, menggiring arus namun mempunyai komitmen tersendiri, utamanya bagi pembangunan peradaban kemanusiaan dan keislaman yang saling berpadu dan membentuk cita Islam Indonesia yang ramah, toleran dan egaliter.

Nilai-nilai di atas dilakukan oleh banyak lini profesi dan organisasi yang ditekuni para kader NU, utamanya mereka yang berprofesi sebagai sarjana, dosen, peneliti yang tergabung sebagai staf pengajar di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Penguasaan akan khazanah keislaman berpadu dengan kapasitas dan profesionalitas kerja, sehingga ikut menempa para dosen NU menjadi pribadi yang peka dengan perubahan zaman sekaligus responsif menawarkan gagasan dan pengalamannya untuk membangun bangsa.

PTKI merupakan citra pendidikan tinggi Islam yang menawarkan beragam paradigma yang tidak ditawarkan perguruan tinggi lainnya. Salah satu konsep pemikiran yang ditawarkan adalah ihwal paradigma Islam Washatiyah.

Secara etimologis, kata washatiyah merujuk pada kata "tengah" atau "senantiasa berada di garda tengah". Dalam konstelasi perpolitikan global, paham Islam Washatiyah kerap dihadapkan sebagai solusi untuk membawa paradigma keummatan menuju suatu ekosistem keberislaman yang moderat, terbuka dan adaptif dengan nilai-nilai tempatan, jauh dari fanatisme Islam yang cenderung monolitik dan simbolik.

Jika merujuk pada telaah yang diedit oleh Quintan Wiktorowicz dalam buku Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach (2003) disebutkan bahwa terdapat banyak puak gerakan Islam yang mengusung purifikasi ajaran Islam di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, nilai islam yang ditampilkan cenderung mendorong pada pemaksaan pandangan, sehingga yang muncul bukannya harmonisasi keragaman pemikiran Islam, melainkan upaya unifikasi yang menimbulkan pertentangan ideologis yang kronis. Muaranya, umat terjebak dalam suasana saling bersitegang dan terjadi klaim kebenaran di antara mereka yang senantiasa megarah pada perpecahan beragama dan bernegara.

Di Indonesia, fenomena di atas agaknya telah terlihat dalam sejumlah kasus pertentangan akibat perbedaan cara pandang keagamaan. Di setiap fenomena, para intelektual NU, terutama yang tergabung dalam PTKI, senantiasa hadir dan melakukan klarifikasi. Secara umum, konsep yang ditawarkan adalah supaya umat dapat berpikir jernih tentang realita Islam yang tumbuh di Indonesia, yang memang bersinggungan dengan aneka pemahaman dan kepercayaan lama yang lebih dulu eksis. Konsep berpikir dan aplikasi Islam di negeri ini senantiasa menjurus pada kehidupan bersama dalam keragaman. Realita bhineka tidak dilihat sebagai tantangan, melainkan sebagai kekayaan untuk menjalin aneka kerja-kerja kemanusiaan yang jauh lebih mengakar, ketimbang membahas sesuatu yang sifatnya furu'iyah (masalah parsial dalam keagamaan, yang sejatinya memang berbeda di setiap tempat dan waktu).

Para sarjana NU merupakan pribadi yang par excellence. Masa muda mereka dididik di lingkungan pesantren-pesantren yang menitikberatkan pada penguasaan al-turats, yakni aneka kitab-kitab klasik Islam yang telah terbukti integratif merawat paham dan aktivitas umat islam Nusantara. Kitab Fathul Muin misalnya, merupakan salah satu kitab lintas zaman, yang anjuran-anjurannya dalam bidang fiqih (hukum Islam) masih diberlakukan oleh umat Islam di era kekinian. Selepas itu, saat mereka menempuh pendidikan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri, ingatan akan khazanah lama senantiasa dijaga dan dikembangkan, sehingga ilmu pengetahuan baru yang didapat kemudian, tidak serta merta merubah cara pandang keislaman mereka. Malahan, itu memperkaya paradigma keislamannya menjadi lebih responsif dengan perkembangan zaman.

Dalam konsep PTKI dewasa ini, dikenal pandangan integrasi Islam. Konsep ini merujuk pada pembibitan aneka ilmu pengetahuan baru yang merupakan integrasi dari konsep keilmuan umum (positivitik) dengan ajaran Islam. Ini merupakan suatu sumbangan penting yang menegaskan peran agama dalam peradaban manusia. Dalam lingkungan NU, dikenal diktum klasik al-muhafazah 'ala qadimi al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yang artinya menjaga nilai-nilai kebaikan, dan mengambil unsur baru yang lebih baik. Ungkapan ini merupakan satu konsep yang memayungi integrasi Islam. Suatu grand narrative yang dibiakkan oleh para sarjana di PTKI hingga hari ini.

Melihat pada proses pembentukan paradigma inetelektual para sarjana, dosen dan peneliti NU di atas, rasanya menjadi sesuatu yang tepat, jika negeri ini berharap banyak pada mereka, sebagai pandu masyarakat dalam mencanangkan kehidupan keislaman yang moderat dan harmonis. Lewat perkuliahan, mereka menyebarkan pemahaman kebajikan ini hingga nantinya akan diteruskan oleh para mahasiswa-mahasiswa kelak.

Kebangkitan

Dalam konteks kemajuan bernegara, peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai ilmu dan teknologi, yang terampil dan tepat guna adalah suatu keharusan. Demikian halnya untuk mengisi aneka kerja-kerja besar negara, khususnya dalam penguatan paradigma Islam yang moderat dan sustaninabel, serta bidang-bidang strategis di semua bidang kehidupan, maka proyek peningkatan SDM ini harus dijalankan secara sistematis, strategis, masif dan produktif.

Tugas besar di atas, hingga hari ini mampu dijalankan oleh PTKI, khususnya dalam penyediaan sarjana, peneliti, guru hingga pendakwah Islam yang berkiprah di masyarakat. UIN Syarif Hidayatullah misalnya, telah melahirkan sejumlah sarjana Islam yang kompeten dalam pembangunan peradaban kemanusiaan, contohnya ahli ilmu Alquran, Prof Dr Chatibul Umam MA dan sejarawan Islam, Prof Dr Azyumardi Azra CBE MA yang baru saja berpulang beberapa waktu lalu. Kontribusi keduanya dalam mewartakan paradigma Islam moderat lewat ekspertisnya diakui sebagai pondasi penting kebangkitan pemikiran Islam dunia.

Proses produksi intelektual merupakan syarat penting menuju kebangkitan Islam. Melalui jejaring pesantren yang dimilikinya, NU mempunyai modal besar untuk mewujudkan hal itu. Terlebih dengan mendorong para santri menggeluti aneka ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga produksi para sarjana yang menguasai bidang strategis, mempunyai cita keislaman yang luas, dan senantiasa peka pada perubahan zaman, dapat tetap terjaga. Ini merupakan satu wajah dari jalan panjang kebangkitan Islam di abad digital.

Sumber: detiknews.com, Senin, 23 Januari 2023.