Santri, Pesantren, dan Masa Depan Peradaban Indonesia

Santri, Pesantren, dan Masa Depan Peradaban Indonesia

Prof. Dr. Imam Subchi, M.A.
Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum

Cendekiawan muslim sekaliber Gus Dur mengatakan bahwa pondok pesantren memiliki ciri khasnya secara otonom yang mendiferensiasikan entitas kelembagaan ini dengan entitassosial lainnya. Hal tersebut karena ditengarai pondok pesantren secara sistemik masih menjaga nilai kultural yang masih terawat dengan baik di tengah pergumulan dinamika sosio-politik domestik (Abdurrahman Wahid, 1974).

Sejak awal, pondok pesantren menjadi faktor simbolik atas kehadiran figur kiai dan santri. Keduanya, tidak bisa dinafikan dalam percakapan keagamaan, karena sebagai entitas sosial, keduanya saling menjaga kohesi keagamaan di satu pihak, dan kohesi kebangsaan di pihak yang lain.

Teritorial pesantren yang terletak di Jombang sangat kentara terhadap pondok pesantren yang populer di kalangan muslim, bukan hanya yang berasal dari Jawa, melainkan dari luar Pulau Jawa juga banyak yang menempuh pendidikan ke pesantren-pesantren tersebut, seperti Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, dan Rejoso.

Dalam bahasa lain, kehadiran dua entitas – kiai dan santri, menjadikan posisi Indonesia semakin berbeda dari entitas yang lainnya. Secara historis, bahkan saat Indonesia belum memeroleh kemerdekaan secara de facto dan de jure, entitas seperti kiai dan santri memiliki peranan yang sangat signifikan dalam percaturan kemerdekaan tersebut.

Tak ayal, jika Indonesia melalui pemerintah dewasa ini memberikan privilese terhadap para santri dengan adanya Hari Santri Nasional yang secara reguler dirayakan pada bulan Oktober.

Akibatnya, saat ini perspektif publik terhadap kiai dan santri serta pondok pesantren semakin inklusif. Sebab, sebelumnya, santri dan pondok pesantren seringkali diasosiasikan pada second line position dalam interaksi sosial di Indonesia.

Padahal, pondok pesantren telah melahirkan para cendekiawan muslim, presiden, wakil presiden, akademisi, dan para birokrat sebagai aktor negara. Secara umum, kiai sebagai pemegang tampuk kekuasaan di pesantren memiliki legitimasi yang relatif besar, karena keilmuan, kompetensi, kapasitas, dan kapabilitasnya di bidang keagamaan.

Pada saat yang sama, sedari awal sebelum Indonesia berdiri dan jika kita mengkaji kitab kuning tentu saja akan menemukan para ulama yang bukan sekadar memiliki kemampuan di sektor tertentu (ukhrawi) semata, melainkan memiliki kemampuan di sektor yang lainnya (keduniaan).

Dengan demikian, karisma kiai sangat dihormati oleh para santri dan para penduduk. Karisma yang dimilikinya bukan hanya berasal dari kemampuannya semata, melainkan memeroleh dukungan dari Sang Pencipta karena seringkali membangun interaksi sebagai seorang hamba yang taat terhadap Allah Swt., pemegang otoritas tertinggi kosmos.

Atas dasar tersebut, sebagian besar santri dan penduduk berupaya memeroleh keberkahan atas jalinan interaksi tersebut. Karena itu, dalam konteks Indonesia – banyak para santri dan penduduk yang sowan untuk silaturahmi terhadap kiai untuk 'ngalap berkah'.

Hal ini sangat diyakini secara konsisten oleh para santri dan kiai bahwa keberkahan dari kiai sangat besar sekali. Bahkan, meminjam istilah K.H Ahmad Bahauddin Nursalim atau populer disebut sebagai figur Gus Baha dalam diskursusnya bahwa seseorang tidak boleh melawan kiai, karena akan kualat.

Sentralnya posisi kiai di pondok pesantren, membuatnya semakin menjadi aktor tunggal – yang bisa menciptakan prinsip sami'na wa atho'na. Akibatnya, para santri dan masyarakat cenderung akan mendengar apa yang telahdisampaikan oleh para kiai.

Hal ini bisa ditemukan dari pergumulan para kiai yang menjadi aktor utama dalam kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, di tengah pergumulan tersebut – dewasa ini masih saja ada masyarakat yang menilai relasi sosial kiai, santri, dan pesantren hanya sebatas masyarakat biasa.

Artikel ini telah dipublikasikan di kolom Opini JawaPos pada Rabu (22 Oktober, 2025).