Saatnya Pembukaan Sekolah

Saatnya Pembukaan Sekolah

Sebagian sekolah masih belum memutuskan apakah akan membuka, atau tetap menutup sekolah. Padahal pemerintah meminta sekolah di zona hijau dan kuning untuk dibuka. Melalui SKB empat menteri tahun 2020, sekolah dapat melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas pada Juli dan Agustus 2021.

Tidak hanya kepada sekolah, orang tua pun dilema. Bagaimana jika sekolah menjadi klaster covid-19? Bagaimana jika anak terpapar virus korona? Sementara itu, anak sudah jenuh belajar dari rumah, dan di sebagian wilayah tidak ada internet. Data Pokok Pendidikan per 2 Juni 2020 menunjukkan 19 persen sekolah atau 42.159 sekolah di semua jenjang belum tersambung internet (Kemendikbud, 2020).

Berikut beberapa alasan mengapa sekolah perlu segera dibuka. Pertama, siswa bermain di luar rumah selama pagebluk. Mereka pergi ke mall, restoran, atau tempat wisata, melalui darat, laut, maupun udara. Pada tiga bulan pertama pagebluk, mungkin siswa dan orang tua sanggup tidak keluar rumah, tetapi setelah itu kehidupan kembali normal.

Anak dan orang tua keluar rumah untuk kepentingan tertentu. Meski pemerintah melarang mudik saat liburan lebaran, sebagian masyarakat nekat pulang kampung. Tempat-tempat wisata dipenuhi pengunjung. Membingungkan, mudik dilarang tetapi wisata diperbolehkan. Pemerintah tidak konsisten. Sekolah ditutup tetapi mall, restoran, dan tempat wisata dibuka.

Berdasarkan pedoman PTM terbatas Kemendikbud, siswa hanya dua hari di sekolah selama seminggu, dan hanya tiga jam dalam sehari, serta membawa makanan dari rumah. Bagaimana dengan operasional mall dan tempat wisata? Anak bersama keluarganya bisa saja lebih dari tiga jam saat berkunjung ke kedua tempat tersebut.

Bisa jadi, siswa bisa lebih terkontrol di sekolah dibandingkan di luar sekolah. Mungkin juga warga sekolah lebih tertib menjalankan protokol kesehatan dibanding pengunjung mall, restoran, dan tempat wisata. Jika tujuan penutupan sekolah untuk membatasi mobilitas anak, tidak akan efektif jika ketiga tempat itu dibuka.

Kedua, riset Kemendikbudristek menyatakan bahwa hasil belajar turun selama PJJ di era pageblug. Menurut laporan World Bank (2020), di Indonesia, hasil capaian belajar siswa dari rumah rata-rata hanya sebesar 33 persen dibandingkan dengan capaian belajar normal di dalam kelas.

Hal ini tidak mengherankan karena sebagian wilayah tidak memiliki internet, dan sebagian siswa tidak memiliki komputer. Kecuali itu, sebagian guru juga lemah dalam literasi digital. Hasil Survei BDR menunjukkan 20,1 persen siswa dan 22,8 persen guru belum memiliki perangkat TIK seperti komputer, laptop atau smartphone yang dapat digunakan untuk belajar daring (Kemendikbud, 2021).

Pembelajaran bauran (blended learning) menjadi pilihan rasional untuk mengatasi turunnya hasil belajar di atas. Menurut Dziuban, dkk. (2020), “pembelajaran bauran telah menjadi aktivitas rutin yang dilakukan di banyak sekolah di seluruh dunia”. Siswa belajar di sekolah dua hari, dan belajar di rumah tiga hari. Pada saat yang sama, pemerintah harus segera membangun fasilitas internet di daerah-daerah tertentu. Jika tidak, PTM terbatas tidak bisa dihindarkan.

Ketiga, terjadi penurunan pendapatan sekolah swasta dari iuran bulanan. Bahkan ada yang hanya menerima 15 persen dari total siswanya. Penyebabnya orang tua terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau ragu membayar iuran. Ragu karena anaknya merasa tidak diajar oleh guru.

Guru terkesan hanya memberikan tugas, dan tidak banyak berperan. Padahal, guru tidak diam. Mereka menyiapkan materi sebelum mengajar, dan memeriksa tugas siswa untuk memberikan umpan balik. Bahkan ada banyak penilaian bahwa beban guru berlifat saat pembelajaran daring. Guru harus mengajar sebagian siswa di kelas, mengajar sebagian siswa secara daring, dan mengajar sebagian siswa di rumah.

Gaji guru berkurang karena pendapatan sekolah turun—sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Meskipun demikian, hampir tidak ada keluhan guru di media sosial tentang pengurangan gaji tersebut. Selain itu, sekolah kehilangan pendapatan dari kantin atau koperasi sekolah. Pedagang kaki lima dan jasa antar jemput siswa juga kehilangan mata pencaharian. Dampak ekonomi penutupan sekolah tidak kecil. Isu ini kalah seksi dengan statistik pasien positif korona.

Demikianlah, PTM di zona hijau dan kuning bisa dimulai dengan mematuhi protokol kesehatan. Sama seperti halnya mall, tempat wisata, dan restoran yang sudah dibuka dan beradaptasi dengan kenormalan baru (new normal). Demikian pula dengan transportasi udara, darat, dan laut yang sudah dibuka.

Pembukaan sekolah tidak hanya menjawab menurunnya hasil belajar siswa (lost learning) selama pagebluk, tetapi juga akan menghidupkan ekonomi sekolah dan lingkungan di sekitarnya. Kondisi ekonomi sekolah akan memengaruhi kualitas pembelajaran, pelayanan, fasilitas sekolah.

Pembelajaran tatap muka tidak bisa digantikan sepenuhnya dengan pembelajaran daring. Guru perlu melihat langsung antusiasme, sikap, dan perilaku siswa selama pembelajaran. Demikian pula siswa membutuhkan visualisasi langsung cara dan antusiasme guru saat mengajar. Hal ini tidak bisa terpenuhi dalam pembelajaran daring.

Jika tidak sekarang, sampai kapan sekolah akan ditutup? Sudah lebih setahun siswa belajar dari rumah. Mereka tidak pergi ke sekolah tetapi pergi ke berbagai tempat yang mungkin saja lebih tidak aman dibanding sekolah. Mungkin juga sebagian mereka tidak belajar. Sementara tidak ada seorang pun tahu kapan pagebluk ini mereda atau berakhir.

Pemerintah daerah tidak boleh mempersulit pembukaan sekolah di daerahnya. Pemda membantu kesiapan sekolah menyambut PTM. Sementara sekolah harus terbuka dan bekerjasama dengan dinas pendidikan, dinas kesehatan, dinas perhubungan, dan gugus tugas di wilayahnya. Jika tumbuh komitmen bersama, maka siswa bisa kembali belajar di sekolah dengan mematuhi protokol kesehatan.

Dr Jejen Musfah MA, Dosen Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Sekjen Pengurus Besar PGRI dan Nina Irmawati, PTP Ahli Madya PPPPTK Penjas & BK. (mf/MusAm)