Rumah Komunitas (Rukom) sebagai Perawat Modal Sosial Kota

Rumah Komunitas (Rukom) sebagai Perawat Modal Sosial Kota

Jika menuju Bandara Soekarno Hatta, cobalah tengok kiri kanan jalan tol. Apakah yang tergores dalam benak Anda, ketika melihat rumah-rumah bertumpuk dan beratapkan seng, yang bahkan beberapa sudah berkarat itu? Bahkan saya sering berpikir, ingin rasanya duduk di mobil penjemput tamu-tamu dari bandara itu, serta mengajukan pertanyaan yang sama. Kira-kira apakah jawabannya sama dengan yang terlintas di benak saya?

Tulisan penulis sebelumnya tentang “Rumah dengan Dimensi Komunitas” rupanya cukup membuat beberapa pembaca dan juga kolega tertarik untuk mendiskusikannya lebih jauh. Terlebih lagi saat ini, pemerintah tengah mencetuskan gagasan rumah murah yang disambut banyak kalangan.

Namun demikian, ingin ditegaskan bahwa Rumah Komunitas (Rukom) atau Rumah Bersama (Rumma) dalam konsep ini sangat berbeda dengan konsep rumah murah yang tengah digulirkan pemerintah sekarang ini. Ada beberapa hal yang bisa dijelaskan di sini.

Pertama, Rukom atau Rumma ini bukan rumah tumbuh seperti yang dikemukakan sejumlah pengusaha properti dan developer perumahan. Namun, rumah siap huni yang sehat, awet karena berbahan baku yang baik, dan cukup leluasa bagi penghuni untuk beraktivitas.

Rukom bisa berbudget rendah karena beberapa dimensi ruang diubah fungsi sosiologis-antropologisnya, dari fungsi pribadi —karena kepemilikan pribadi— menjadi kepemilikan bersama. Sebagai contoh, ruang dapur, ruang makan, ruang keluarga yang biasanya dimiliki sendiri-sendiri, dalam Rukom, disatukan sehingga menjadi lebih lega dan leluasa.

Di luar kamar tidur, yang jumlah kepemilikan atau aksesnya bisa disesuaikan dengan kemampuan setiap keluarga penghuninya, semua dimiliki secara bersama-sama. Memang tidak banyak orang yang bisa seperti ini, tetapi tidak ada salahnya pemerintah mendorongnya bukan? Toh bangsa ini memimiliki kekayaan pengalaman rumah seperti ini, meski dengan nuansa budaya yang berbeda-beda.

Kedua, Rukom atau Rumma ini didirikan di tanah yang sebelumnya sudah dihuni oleh calon penghuni. Hanya bedanya, jika sebelumnya kurang layak, maka setelah jadi Rukom atau Rumma, harus lebih layak dan memiliki kepantasan. Jadi berbeda dengan konsep rumah murah versi pemerintah yang harus mencari lahan lagi.

Masalahnya, kebanyakan mereka yang kelak akan bertempat tinggal di Rukom atau Rumma itu adalah mereka yang jarak kerjanya tidak terlalu jauh, sehingga penghasilannya bisa dihemat karena tidak boros di transportasi. Dengan konsep ini juga, kita bisa menyelesaikan masalah jarak antara seseorang dengan tempat kerja/usahanya.

Ketiga, Rukom atau Rumma ini karena bisa jadi harus dikenalkan kembali visi komunitas kepada calon penghuni. Penulis mengusulkan, harus adanya pendamping. Tanpa itu, konsep rukom ini akan sangat susah jalannya.

Para pendamping inilah yang akan membangun kohesifitas sosial-budaya antar penghuni. Terlebih lagi, ada beberapa kebiasaan yang harus dibangun, karena mereka tinggal pada satu atap bersama.

Apa yang sedang digodok pemerintah itu bukan berarti salah. Namun sebelum melaksanakan program tersebut, ada baiknya pemangku kebijakan mencermati beberapa kelemahan konsep rumah murah.

(1) Dari aspek lahan, apakah ketersediaan kebutuhan lahan sudah cukup bisa meng-cover jumlah rumah murah yang akan dibangun. Bagaimana sarana penunjang posisi lahan tersebut—transportasi misalnya?

(2) Apakah sudah ada data yang cukup mengenai calon penghuni. Jangan sampai rumah murah akhirnya yang mendapatkan adalah mereka yang berduit lagi. Sebab penghasilan Rp 1,5 juta itu belum ersih. Bagaimana mereka yang menghabiskan 30 hingga 40% gajinya untuk transportasi? Atau, bagaimana jika jarak dari rumah murah yang mereka beli itu akan menggerus sebagian besar pendapatannya untuk transportasi? Serta sejumlah pertanyaan kritis lainnya.

Menyulap Kekumuhan Jakarta

Sekali lagi, daripada menghabiskan APBN untuk program rumah murah yang belum tentu tepat sasaran, mengapa tidak mengubah paradigma rumahnya sendiri, dari rumah pribadi menjadi rumah komunitas atau rumah bersama. Dengan rumah bersama, mungkin kita bisa menyulap kawasan-kawasan kumuh itu, menjadi area yang pantas, layak, sehat, dan tentu saja indah dipandang mata.

Rumah komunitas atau Rumah bersama, seperti yang sudah disebutkan pada artikel sebelumnya, justru menyasar bukan hanya yang sudah berpenghasilan. Bisa jadi mereka yang pensiun, pegawai penghasilan rendah, pengusaha informal, dan sebagainya.

Jika ini bisa diterapkan, maka ketika kita berangkat ke atau pulang dari Bandara Soekarno Hatta, apa yang tersaji di sebelah kiri/ kanan jalan tol itu, bukan lagi rumah-rumah yang kurang layak, tetapi rumah-rumah sehat, pantas, layak, dan memiliki spirit komunitas yang kuat. Bisa jadi, jika komunitasnya kuat, maka organisasi sosial bangsa ini juga akan kokoh dan tangguh.

Dengan model relasional pada perumahan vertikal yang semakin subur di Jadebotabek ini, pendekatan Rukom atau Rumma ini akan memiliki beberapa implikasi sosial budaya yang penting. Di antaranya adalah akan merawat atau meningkatkan kualitas modal sosial masyarakat kota.

Harus diakui secara jujur bahwa modal sosial masyarakat kota mengalami dinamika dan transformasi signifikan seiring meluruhnya budaya kebersamaan. Modal sosial dalam konteks yang lebih besar telah terbukti bisa membangkitkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat peradaban.

Sebaliknya, ketika peluruhan modal sosial tidak direm lajunya, peradaban manusia dengan sendirinya mengalami ancaman serius. Karena itu, pendekatan Rumma atau Rukom ini layak dipertimbangkan untuk mengatasi defisitnya modal sosial masyarakat, khususnya di level yang cukup mikro.

Penghuni perumahan vertikal ini secara kuantitas sangat besar. Sehingga jika digarap serius, maka bisa digerakkan untuk hal-hal positif yang besar dan kuat. Bukankah bangsa yang tangguh itu dibangun dari sebuah komunitas yang juga tangguh? [*]

Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam FIDKOM UIN Jakarta; Pengampu Mata Kuliah Sosiologi Perkotaan. Sumber: https://rmco.id/baca-berita/nasional/48140/rumah-komunitas-rukom-sebagai-perawat-modal-sosial-kota, 19 September 2020. (mf)