Rumah bagi Pejabat Tinggi
SEKARANG ini ada tiga macam rumah yang disediakan untuk pejabat tinggi negara, rumah dinas, rumah sakit, dan rumah tahanan. Tinggal pilih saja, mana yang disukai.
Demikian guyonan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di sela-sela main golf sambil duduk istirahat menikmati air kelapa muda di Kapuk Indah Golf pertengahan November lalu. Turnamen golf ini diselenggara kan oleh Paguyuban Golf Insan Cita (PGIC) memperebutkan Piala Wapres RI, dan diikuti oleh 140 pemain.
Guyonan dan komentar spontan yang sering keluar dari Pak Kalla memang sering menyengat dan tepat sasaran.Dia sering berpikir out of the box. Sindiran tentang tiga macam rumah di atas terasa lucu, mengundang tawa, sekaligus pedas. Ketiga macam rumah di atas, rumah dinas, rumah sakit, dan rumah tahanan, mengandung kritik, sindiran, dan potret sosial betapa bangsa ini memang sakit.
Kita semua lelah,ingin sekali melihat dan merasakan kapan bangsa, masyarakat dan negara ini berdiri tegak,sehat lahir dan batin. Berbicara tentang rumah dinas, misalnya, selalu saja awal dan ujung ceritanya malu dikemukakan.Rumah dinas artinya rumah yang dipinjamkan untuk ditempati selama masih menjabat, agar lebih produktif dalam melaksanakan tugas negara.
Disayangkan, karena statusnya rumah dinas, sebagaimana juga mobil dinas,perawatannya diabaikan sehingga banyak rumah maupun mobil dinas yang cepat rusak lantaran tidak diurus sebagaimana milik pribadi. Yang lebih fatal, ketika jabatan sudah berakhir banyak penghuni rumah dinas yang tidak mau segera melepas dan mengembalikannya kepada negara.
Padahal, secara legal dan moral mereka tak lagi berhak menggunakan. Kalaupun pindah, mesti minta uang pesangon yang jumlahnya di luar batas kepantasan. Aneh tapi nyata.Namanya saja rumah dinas, mestinya ditempati selama seseorang menjabat kedinasan, tetapi ada yang enggan melepaskan, meski yang bersangkutan sudah memiliki rumah pribadi yang bagus.
Bahkan ada rumah dinas yang dikontrakkan atau dialihfungsikan kepada orang lain atau keluarganya yang tidak berhak. Karena sikap yang tidak legowo seperti itu, maka ada beberapa mantan pejabat tinggi yang shock, tidak siap jabatannya berakhir, sehingga langsung sakit,dan mesti dirawat di rumah sakit.
Saya sendiri khawatir, para pejabat tinggi yang telah mengeluarkan uang miliaran demi mendapatkan posisinya, entah gubernur, bupati, direktur utama BUMN, dan entah apa lagi,jangan-jangan termasuk kelompok ini karena dana yang telah dikeluarkan belum kembali selama menjabat.
Pindah tempat tinggal dari rumah dinas ke rumah sakit tentu sangat menyedihkan, terutama bagi keluarganya. Apa yang disebut postpower syndrome ini terjadi karena seseorang memandang jabatan sedemikian tinggi, bahkan menjadi identitas diri. Orang lupa bahwa jabatan itu sesaat dan kontraktual, tak ubahnya baju.
Ketika seseorang pulang kantor, sesungguhnya telah berubah jabatannya. Ketemu istri berubah menjadi suami, ketemu anak menjadi ayah, ketemu mertua menjadi menantu, berkonsultasi ke dokter menjadi pasien, ketika naik mobil atau pesawat terbang menjadi penumpang, dan seterusnya. Jadi, ibarat baju, jabatan dinas itu mestinya enteng saja memakainya dan melepaskannya.
Problemnya, ketika pakaian itu sudah melekat sekali, ketika dilepas memang badan bisa lecet dan berdarah.Begitu pun jabatan ketika sudah lama melekat sampai hati. Fenomenayangakhir-akhir membuat hati trenyuh adalah semakin bertambahnya mantan pejabat tinggi yang masuk rumah tahanan.
Terlepas apa kesalahan mereka sehingga berpindah dari rumah dinas ke rumah tahanan, kita bisa berempati betapa berat problem mental yang ditanggungnya. Bayangkan, orang yang semula memiliki kekuasaan, jabatan, dan tempat tinggal yang begitu mewah, sekarang mesti terkurung dalam tembokrumahtahanan.
Belumlagi sebelumnya menjadi objek pemberitaanyangtidaksedap, bahkan sangat memalukan dan menyakitkan bagi keluarganya. Sekadar membayangkan saja, saya sudah merinding dan membuat hati menciut. Ketika foto seorang ayah terpampang di media massa dan dinyatakan sebagai tersangka korupsi lalu digiring ke rumah tahanan, maka langit bagaikan runtuh.
Muka ini hendak ditaruh di mana ketika ketemu anak,istri,mertua, dan sahabat karib saat seseorang dinyatakan sebagai penghuni rumah tahanan karena dakwaan korupsi. Terlepas seberapa besar kesalahan yang dilakukan, saya merasa sedih setiap membaca berita ada pejabat tinggi yang menjadi penghuni baru rumah tahanan.
Bertahun-tahun sekolah dan membina karier serta rumah tangga, tiba-tiba bangunan itu roboh dan keluarganya ikut terimpit derita dan malu. Satu sisi pemberantasan korupsi itu bagus dan harus didukung. Sisi lainnya telah membuka tabir betapa bobroknya kultur dan sistem birokrasi kita sehingga memangsa putra-putra terbaik bangsa sendiri.
Di antara mereka itu memang pantas sekali digiring masuk rumah tahanan, sementara ada juga yang jadi korban sistem yang busuk sehingga siapa pun yang menduduki jabatan tinggi mesti terseret ke kubangan korupsi. Menarik direnungkan ucapan klasik, it is easy to build house,but not home.Bagi mereka yang sukses secara materi sekarang ini banyak pilihan untuk membangun atau membeli rumah yang bagus.
Tapi sungguh tidak mudah membina rumah tangga yang indah.Yang juga membuat kita tersentak dan prihatin, keretakan dan kegagalan membangun rumah tangga sering terjadi di kalangan artis yang menjadi idola masyarakat. Mereka tampan, cantik, sukses, kaya, namun banyak yang terhempas badai perceraian.
Jadi, yang diperlukan tidak saja bebas dari rumah tahanan dan rumah sakit, tetapi juga terbebas dari badai rumah tangga.Ketika rumah tangga (home) kacau, meski bangunan rumahnya (house) bagus dan mewah,tak ubahnya bagaikan rumah sakit atau rumah tahanan. Penghuninya merasa tidak nyaman.
Karena itu sungguh benar nasihat agama, bahwa rumah tangga itu suci dan mulia, maka harus dijaga kesucian dan kemuliaannya agar dari sana terlahir generasi baru yang sehat lahir dan batin, memiliki kebugaran mental,spiritual,dan intelektual. Rumah tangga, menurut ajaran agama,bukan sekadar kontrak sosial untuk hidup bersama,melainkan perjanjian agung antara sesama manusia, serta antara manusia dan Tuhan.
Karena itu,menistakan lembaga pernikahan tidak saja merusak kontrak sosial, melukai pasangannya, namun juga mengkhianati perjanjian dengan Tuhannya. Ketika kehidupan politik dan ekonomi sedang suram seperti saat ini, salah satu wilayah yang paling nyaman dan memberikan relaksasi dan optimisme adalah rumah tangga yang damai.
Bukan rumahdinas yangmegah,rumah sakit yang modern, dan pasti bukan rumah tahanan yang dijagaketat. Kalaubisa, tidak tinggal dirumahdinas, rumah sakit, atau rumah tahanan, kecuali sekada rmampir menjenguk teman.(*)
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, Jumat 28 November 2008
Demikian guyonan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di sela-sela main golf sambil duduk istirahat menikmati air kelapa muda di Kapuk Indah Golf pertengahan November lalu. Turnamen golf ini diselenggara kan oleh Paguyuban Golf Insan Cita (PGIC) memperebutkan Piala Wapres RI, dan diikuti oleh 140 pemain.
Guyonan dan komentar spontan yang sering keluar dari Pak Kalla memang sering menyengat dan tepat sasaran.Dia sering berpikir out of the box. Sindiran tentang tiga macam rumah di atas terasa lucu, mengundang tawa, sekaligus pedas. Ketiga macam rumah di atas, rumah dinas, rumah sakit, dan rumah tahanan, mengandung kritik, sindiran, dan potret sosial betapa bangsa ini memang sakit.
Kita semua lelah,ingin sekali melihat dan merasakan kapan bangsa, masyarakat dan negara ini berdiri tegak,sehat lahir dan batin. Berbicara tentang rumah dinas, misalnya, selalu saja awal dan ujung ceritanya malu dikemukakan.Rumah dinas artinya rumah yang dipinjamkan untuk ditempati selama masih menjabat, agar lebih produktif dalam melaksanakan tugas negara.
Disayangkan, karena statusnya rumah dinas, sebagaimana juga mobil dinas,perawatannya diabaikan sehingga banyak rumah maupun mobil dinas yang cepat rusak lantaran tidak diurus sebagaimana milik pribadi. Yang lebih fatal, ketika jabatan sudah berakhir banyak penghuni rumah dinas yang tidak mau segera melepas dan mengembalikannya kepada negara.
Padahal, secara legal dan moral mereka tak lagi berhak menggunakan. Kalaupun pindah, mesti minta uang pesangon yang jumlahnya di luar batas kepantasan. Aneh tapi nyata.Namanya saja rumah dinas, mestinya ditempati selama seseorang menjabat kedinasan, tetapi ada yang enggan melepaskan, meski yang bersangkutan sudah memiliki rumah pribadi yang bagus.
Bahkan ada rumah dinas yang dikontrakkan atau dialihfungsikan kepada orang lain atau keluarganya yang tidak berhak. Karena sikap yang tidak legowo seperti itu, maka ada beberapa mantan pejabat tinggi yang shock, tidak siap jabatannya berakhir, sehingga langsung sakit,dan mesti dirawat di rumah sakit.
Saya sendiri khawatir, para pejabat tinggi yang telah mengeluarkan uang miliaran demi mendapatkan posisinya, entah gubernur, bupati, direktur utama BUMN, dan entah apa lagi,jangan-jangan termasuk kelompok ini karena dana yang telah dikeluarkan belum kembali selama menjabat.
Pindah tempat tinggal dari rumah dinas ke rumah sakit tentu sangat menyedihkan, terutama bagi keluarganya. Apa yang disebut postpower syndrome ini terjadi karena seseorang memandang jabatan sedemikian tinggi, bahkan menjadi identitas diri. Orang lupa bahwa jabatan itu sesaat dan kontraktual, tak ubahnya baju.
Ketika seseorang pulang kantor, sesungguhnya telah berubah jabatannya. Ketemu istri berubah menjadi suami, ketemu anak menjadi ayah, ketemu mertua menjadi menantu, berkonsultasi ke dokter menjadi pasien, ketika naik mobil atau pesawat terbang menjadi penumpang, dan seterusnya. Jadi, ibarat baju, jabatan dinas itu mestinya enteng saja memakainya dan melepaskannya.
Problemnya, ketika pakaian itu sudah melekat sekali, ketika dilepas memang badan bisa lecet dan berdarah.Begitu pun jabatan ketika sudah lama melekat sampai hati. Fenomenayangakhir-akhir membuat hati trenyuh adalah semakin bertambahnya mantan pejabat tinggi yang masuk rumah tahanan.
Terlepas apa kesalahan mereka sehingga berpindah dari rumah dinas ke rumah tahanan, kita bisa berempati betapa berat problem mental yang ditanggungnya. Bayangkan, orang yang semula memiliki kekuasaan, jabatan, dan tempat tinggal yang begitu mewah, sekarang mesti terkurung dalam tembokrumahtahanan.
Belumlagi sebelumnya menjadi objek pemberitaanyangtidaksedap, bahkan sangat memalukan dan menyakitkan bagi keluarganya. Sekadar membayangkan saja, saya sudah merinding dan membuat hati menciut. Ketika foto seorang ayah terpampang di media massa dan dinyatakan sebagai tersangka korupsi lalu digiring ke rumah tahanan, maka langit bagaikan runtuh.
Muka ini hendak ditaruh di mana ketika ketemu anak,istri,mertua, dan sahabat karib saat seseorang dinyatakan sebagai penghuni rumah tahanan karena dakwaan korupsi. Terlepas seberapa besar kesalahan yang dilakukan, saya merasa sedih setiap membaca berita ada pejabat tinggi yang menjadi penghuni baru rumah tahanan.
Bertahun-tahun sekolah dan membina karier serta rumah tangga, tiba-tiba bangunan itu roboh dan keluarganya ikut terimpit derita dan malu. Satu sisi pemberantasan korupsi itu bagus dan harus didukung. Sisi lainnya telah membuka tabir betapa bobroknya kultur dan sistem birokrasi kita sehingga memangsa putra-putra terbaik bangsa sendiri.
Di antara mereka itu memang pantas sekali digiring masuk rumah tahanan, sementara ada juga yang jadi korban sistem yang busuk sehingga siapa pun yang menduduki jabatan tinggi mesti terseret ke kubangan korupsi. Menarik direnungkan ucapan klasik, it is easy to build house,but not home.Bagi mereka yang sukses secara materi sekarang ini banyak pilihan untuk membangun atau membeli rumah yang bagus.
Tapi sungguh tidak mudah membina rumah tangga yang indah.Yang juga membuat kita tersentak dan prihatin, keretakan dan kegagalan membangun rumah tangga sering terjadi di kalangan artis yang menjadi idola masyarakat. Mereka tampan, cantik, sukses, kaya, namun banyak yang terhempas badai perceraian.
Jadi, yang diperlukan tidak saja bebas dari rumah tahanan dan rumah sakit, tetapi juga terbebas dari badai rumah tangga.Ketika rumah tangga (home) kacau, meski bangunan rumahnya (house) bagus dan mewah,tak ubahnya bagaikan rumah sakit atau rumah tahanan. Penghuninya merasa tidak nyaman.
Karena itu sungguh benar nasihat agama, bahwa rumah tangga itu suci dan mulia, maka harus dijaga kesucian dan kemuliaannya agar dari sana terlahir generasi baru yang sehat lahir dan batin, memiliki kebugaran mental,spiritual,dan intelektual. Rumah tangga, menurut ajaran agama,bukan sekadar kontrak sosial untuk hidup bersama,melainkan perjanjian agung antara sesama manusia, serta antara manusia dan Tuhan.
Karena itu,menistakan lembaga pernikahan tidak saja merusak kontrak sosial, melukai pasangannya, namun juga mengkhianati perjanjian dengan Tuhannya. Ketika kehidupan politik dan ekonomi sedang suram seperti saat ini, salah satu wilayah yang paling nyaman dan memberikan relaksasi dan optimisme adalah rumah tangga yang damai.
Bukan rumahdinas yangmegah,rumah sakit yang modern, dan pasti bukan rumah tahanan yang dijagaketat. Kalaubisa, tidak tinggal dirumahdinas, rumah sakit, atau rumah tahanan, kecuali sekada rmampir menjenguk teman.(*)
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, Jumat 28 November 2008