RIHLAH
Oleh : Dr Arief Subhan Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Perjalanan (rihlah) mempunyai tradisi panjang dalam sejarah kemanusiaan. Konsep manusia sebagai “homo viator” barangkali merupakan indikasi bahwa perjalanan merupakan ciri utama kebudayaan. Bahkan terdapat konsep yang meyakini bahwa hidup itu pada hakekatnya adalah sebuah perjalanan. Perjalanan menemukan yang supernatural, kebudayaan eksotik, dan yang suci, merupakan hasrat yang secara berkelanjutan mendorong manusia untuk terus melakukan perjalanan. Tidak heran jika pada setiap agama dan kebudayaan, selalu dijumpai konsepsi tentang perjalanan suci (pilgrimage), terutama pada agama-agama besar dunia. Islam, agama yang terus mengalami pertumbuhan pengikut di dunia, mengenal beberapa konsep perjalanan yang menjadi kajian kalangan sarjana, yaitu perjalanan ibadah haji (hajj), perjalanan untuk mencari ilmu (thalab al-ilm), dan perjalanan untuk tafakkur (kontemplasi) dan tadabbur (refleksi), serta yang juga harus disebutkan adalah perjalanan untuk melakukan perdagangan dan mencari rezeki. Perjalanan ibadah haji, yang juga merupakan jenis perjalanan ke tempat suci (pilgrimage), merupakan ibadah wajib bagi setiap Muslim dengan pengecualian bagi “yang tidak mampu”. Karena posisinya sebagai ibadah wajib, maka perjalanan haji merupakan perjalanan paling populer di dunia Islam.
Sedangkan perjalanan untuk mencari ilmu adalah perjalanan yang dilakukan untuk berguru kepada ‘ulama (tung. ‘alim) sebagai otoritas keislaman. Dalam tradisi kesarjanaan Muslim, perjalanan untuk mencari ilmu, atau seringkali juga disebut dengan istilah rihlah ilmiah, merupakan perjalanan ibadah untuk mendapatkan kemuliaan dan pahala. Kemuliaan, karena terdapat firman Allah SWT. yang menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang berilmu; pahala, karena mencari ilmu merupakan ibadah.
Sedangkan perjalanan untuk tafakkur dan tadabbur dilakukan kaum Muslim merujuk pada perintah dalam al-Qur’an, “Katakanlah, ‘berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh Allah maha kuasa atas segala sesuatu (Q.S. 29:20). Dalam ayat lain dikatakan, “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (Q.S. 22: 46).
Islam merupakan agama yang sangat mendorong pemeluknya melakukan perjalanan (rihlah)—atau banyak juga yang mempergunakan istilah “safar” (yang juga berarti perjalanan). Dan semuanya dengan kemuliaan dan pahalanya masing-masing. Dalam sejarah Islam, terdapat kisah-kisah perjalanan yang dilakukan Nabi saw; perjalanan kafilah dagang di mana Nabi saw bertemu dengan pendeta yang mengetahui tanda-tanda kenabian; perjalanan hijrah Nabi saw dari Mekkah ke Madinah yang penuh perjuangan; perjalanan isra’ dan mi’raj dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsa lalu menuju sidrah al-muntaha, dan masih banyak lagi perjalanan yang dilakukan Nabi saw yang semuanya kemudian menjadi historis. Rihlah (bhs. Arab) mengandung arti “perjalanan”. Akan tetapi, kata ini dipergunakan dalam pengertian spesifik. Rihlah menunjuk pada praktek menempuh perjalanan panjang bahkan hingga ke luar negeri dengan tujuan khusus, yaitu perjalanan untuk mencari dan mengumpulkan hadis atau menuntut ilmu agama. Akan tetapi, terkadang kata itu juga dipergunakan dalam pengertian perjalanan dalam rangka penelitian atau wisata. Ar-Rihlah juga kemudian dijadikan judul dari berbagai literatur yang memuat catatan dan pengalaman sepanjang perjalanan dari para pelakunya. Di antara kitab rihlah yang terkenal adalah Rihlah Ibn Batutah dari abad ke-14, catatan mengenai perjalanan musafir asal Maroko bernama Ibn Batutah (Ross Dunn, The Adventures of Ibn Batuta, Muslim Traveler on the Fourteenth Century, 2012).
Seperti disebutkan, rihlah juga dilakukan para sarjana Muslim ahli hadis pada abad pertama Islam. Mereka melakukan perjalanan untuk mengkonfirmasi hadis-hadis Nabi saw., dan berdasarkan itu, mereka membuat kategorisasi hadis dalam tingkatan-tingkatan yang sesuai dengan validitasnya. Berdasarkan itulah Muslim yang hidup pada periode berikutnya mengenal hadis mutawatir (yang validitasnya tidak dapat diragukan lagi) dan hadis ahad. Hadis ahad kemudian terbagi lagi menjadi beberapa tingkatan seperti sahih, hasan, dhaif dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa kemunculan ilmu hadis merupakan buah dari perjalanan (rihlah) para sarjana Muslim tersebut.
Tradisi pesantren, yang khas Indonesia, juga sangat lekat dengan tradisi rihlah atau tepatnya rihlah ilmiyah. Setiap orang tua Muslim yang mengirimkan anaknya belajar di pesantren memulai dengan perjalanan menuju pesantren yang biasanya berlokasi di kota yang berbeda. Di pesantren bahkan dikenal istilah santri kelana, yaitu santri yang belajar dengan berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Menarik bahwa munculnya santri kelana ini dilatarbelakangi oleh keahlian berbeda yang dimiliki oleh kyai. Demikianlah untuk hanya menyebutkan contoh dulu jika santri mau belajar ilm sharaf (gramatika), ia akan datang kepada Kyai Ali Maksum, Pesantren Krapyak Yogyakarta; jika hendak menekuni fiqh sosial, ia datang kepada Kyai Sahal Mahfudz, Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati, Jawa Tengah; dan seterusnya. Santri yang belajar berpindah-pindah itu kemudia dikenal dengan santri kelana. Karena kuatnya tradisi rihlah dalam Islam, dan semakin besarnya potensi konsumer Muslim di dalamnya, Islamic tourism dengan turunan halal tourism kemudian menjadi salah satu trend sekarang ini. Pada 2015, populasi Muslim sejagad diperkirakan mencapai 1,8 miliar, membentuk sekitar 24% dari populasi dunia. Islam adalah agama yang dominan di beberapa bagian dunia seperti di Asia Selatan, Asia Tengah, Timur Tengah, Indonesia dan Afrika Utara. Islam juga merupakan agama terbesar kedua di Eropa setelah Kristen, membentuk 4,9% dari populasi Eropa pada 2016 dan diperkirakan meningkat menjadi 7,4% pada 2050 (Pew Research Center, 2017). Dapat diperkirakan bahwa tradisi rihlah dalam Islam yang bertransformasi secara kreatif menjadi Islamic tourism, dengan segala tuntutan turunannya, merupakan salah satu ciri budaya populer Islam kontemporer yang penting. Semoga pandemi ini segera berlalu dan kita bisa kembali melakukan rihlah setelah sekian lama #KerjaDiRumahSaja (sam/mf)