Richard Dawkins 3
Oleh: Jajang Jahroni (Ketua LP2M UIN Jakarta)
Apakah Dawkins seorang atheis? Jawabannya ya. Dawkins tidak percaya tuhan. Baginya ide tuhan absurd dan penuh takhayul. Agama fake, sains evidence-based. Sains bisa menjelaskan semuanya, agama atau, lebih tepatnya, faith seringkali menistakan akal sehat. Dawkins percaya pada universal intelligence yang mengatur keteraturan alam semesta ini. Sebagai seorang manusia, ia pun memilik rasa kagum atas keindahan dan keteraturan alam. Namun tidak lantas ia percaya kepada tuhan. Inilah perasaan “religious” satu-satunya yang ia miliki bila kata tersebut boleh disematkan padanya.
Dalam hal keyakinan, Dawkins banyak mengikuti keyakinan Einstein, penemu teori relativitas. Keyakinan ini disebut Deisme, kepercayaan kepada hukum alam raya yang serba teratur dan terukur. Tuhan bukanlah sosok yang mempribadi, tuhan personal seperti dalam kepercayaan Islam, Kristen, dan Yahudi. Juga diyakini tuhan tidak ikut campur dalam urusan kehidupan manusia, tuhan tidak menghukum, juga tidak menjawab doa-doa, karena semua kehidupan manusia sudah memiliki mekanisme sendiri. Orang tidak perlu emosional membela tuhan, tokh hanya seperangkat hukum alam. Dibela atau tidak hukum alam tetap ada. Tidak ada orang yang melentangkan diri di jalan membela Milky Way. Sementara itu Tuhan Theisme dalam tiga agama di atas, menurut Dawkins, telah menimbulkan banyak kesengsaraan.
Gambaran Dawkins tentang agama, terutama Kristen, dan agama monotheis lainnya Islam dan Yahudi, sinis dan penuh sterotip. Sebagai ilmuwan Dawkins bukan hanya atheist, ia juga anti-agama, dan di mana-mana mengatakan agama adalah jahat. Di sini Dawkins menjadi sosok yang kontroversial. Tuhan, ada atau tidak, bukan ranah sains, unobservable; itu ranah agama. Sebagai seorang ilmuwan, ia harusnya bicara saja tentang sains, alam semesta dan seterusnya, seperti kerap yang dilakukan banyak ilmuwan. Kalaupun kemudian menjadi agnostik atau bahkan atheis, silakan saja, itu haknya, tidak perlu diumbar ke publik.
Namun itulah Dawkins. Ia gundah karena agama banyak diberi keistimewaan. Pada 21 Feb 2006, Mahkamah Agung AS mengabulkan tuntutan kelompok Centro Esperita Beneficiente Uniao do Vegetal untuk mengkonsumsi dimethyltryptamine, sejenis halusinogenik yang tidak diperjualkan secara bebas. Alasannya, dengan obat tersebut, mereka bisa memahami perintah Tuhan lebih baik meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim ini. Sementara pada awal 2000-an banyak kelompok Kristen di AS menuntut diskriminasi terhadap kelompok LGBT, Muslim dan pro-choice (kelompok yang mendukung aborsi), dan dikabulkan. Pada 2004, James Nixon memenangkan hak untuk mengenakan kaos mentereng bertuliskan: LGBT dosa, Islam dusta, aborsi neraka. Sementara itu, pada 2006, sebuah majalah di Denmark memuat 12 kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad. Kasus ini kemudian menyulut kemarahan di berbagai belahan dunia. Demo di mana-mana. Tak terhitung kerugian material, puluhan jiwa melayang. Kata Dawkins, orang beragama gemar dengan apa yang disebut “pendemonium”, suasana kacau balau yang luar biasa. Itulah agama, dan itulah yang membuatnya antipati terhadapnya.
Apakah agama (faith) adalah kejahatan (evil)? Terhadap pertanyaan ini Dawkins menjawab ya. Alasannya adalah, kata Dawkins, orang yang percaya sesuatu tanpa perlu pembuktian akan cenderung membela kepercayaannya, apa pun yang terjadi. Di sinilah kejahatan itu terjadi. Maka terjadilah bom bunuh diri, orang meledakkan tubuhnya di tengah keramaian, orang melakukan kekerasan yang luar biasa. Ini semua terjadi karena yang ada di benak orang itu adalah faith, menjadi syahid demi mencapai surga, bertemu bidadari, dan seterusnya.
Sayangnya, dalam menganalisa aksi teror, Dawkins tidak pernah mempertimbangkan faktor-faktor lain semisal politik, ekonomi, dan kekuasaan. Yang ada di matanya adalah agama; agamalah yang mendorong seseorang menjadi jahat; agamalah yang menjadi biang keladi. Ketika ditanya Mehdi Hasan, mengapa selalu menunjuk agama sebagai penyebab terjadinya berbagai kejahatan, padahal perang paling terbesar abad lalu (PD I dan II) tidak ada hubungannya dengan agama. Dawkins terhenyak dan tidak bisa menjawab lugas. Ia hanya berputar-putar bahwa “pengebom bunuh diri itu percaya dengan janji surga...”
Dawkins pun tampak gelagepan ketika ditanya John Lennox, lawan debatnya : “Do you have faith on your wife?” Dawkins menjawab, “Yes of course.” Lennox bertanya lagi: “Do you have evidence on it?” Dawkins menjawab: “A plenty of evidence.” Terdengar tawa dan tepuk tangan. Jawaban Dawkins ini secara tidak langsung membatalkan argumennya sendiri bahwa faith tidak perlu bukti.
Dalam perdebatan, Lennox, seorang ahli matematika dari Oxford, mematahkan argumen atheisme. Kalau Tuhan tidak ada, kata Lennox, lalu siapa yang menciptakan alam semesta ini? Pertanyaan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Harus dijawab. Kalau ada hukum-hukum universal di balik alam semesta ini, maka harus ada yang menciptakan hukum-hukum tersebut. Begitu pikiran manusia. Pikiran manusia tidak bisa menerima ketiadaan sang pencipta. Dan sang pencipta itu tidak diciptakan (uncreated Creator). Inilah adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang diajukan umat manusia sejak dahulu kala. Dan dari sinilah argumentasi tentang tuhan, atau apa pun namanya, menjadi masuk akal. Namun anehnya, argumen yang sederhana ini tidak menarik perhatian kaum ilmuwan termasuk Dawkins.
Pengetahuan Dawkins tentang Islam tampaknya didasarkan pada sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ini bisa terlihat dari percakapannya dengan Mehdi Hasan. Ketika Hasan berargumen bahwa agama menginspirasi manusia untuk menjadi orang baik, meski ada juga orang menjadi jahat karena agama, Dawkins menjawab bahwa ia sebenarnya tidak perduli dengan baik atau buruk. Ia hanya perduli dengan “scientific evidence”. Lalu ia bertanya kepada Hasan apakah ia percaya bahwa Muhammad pergi ke surga menunggang kuda terbang. Hasan menjawab bahwa ia percaya Tuhan, percaya wahyu, dan percaya mukjizat. Dawkins geleng-geleng kepala. Dari pertanyaannya tampak bahwa Dawkins memahami kuda terbang (buraq) di sini dalam arti harfiyah, yaitu kuda yang bersayap, sebuah riwayat yang banyak diperdebatkan di kalangan sarjana Muslim.
Argumen Dawkins tentang atheisme jauh dari tuntas. Ada banyak loophole di sana sini yang membuat orang menyangsikan atheisme. Namun bahwa atheisme di bawah Dawkins semakin populer juga tidak bisa dipungkiri. Tampak bahwa ini semacam trend, banyak anak muda jatuh hati pada atheisme yang kelihatan “scientific”. Ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari sosoknya yang flamboyant yang menarik simpati publik di mana saja dia bicara. Dalam kolom komen perdebatannya dengan Mehdi Hasan, ada pemirsa yang menulis bahwa Dawkins seharusnya dapat hadiah atas kesabarannya menghadapi gaya Hasan yang cenderung intimidating.
Dawkins tampaknya telah menjadi simbol perlawanan terhadap agama yang dalam beberapa dekade terakhir memainkan perannya yang destruktif. Lebih lanjut, sosoknya merepresentasikan perdebatan antara ilmu dan agama (Kristen) di Barat yang jauh dari selesai. Kita lihat saja. (sam/mf)