Revitalisasi Etika Publik (4)

Revitalisasi Etika Publik (4)

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE.

 

Revitalisasi etika pribadi, etika publik, dan etika politik jelas tak mudah. Meski sumber dan nilai etika begitu melimpah dalam masyarakat, pada praktiknya etika cenderung diabaikan banyak penyelenggara negara, aparat birokrasi, pihak swasta, dan kalangan masyarakat.

Meminjam kerangka Prinsip Pengelolaan Etika dalam Pelayanan Publik yang tersebar dalam berbagai literatur, ada beberapa kebijakan dan langkah yang dapat diambil untuk penerapan etika secara komprehensif, tapi praktis.

Pertama, adanya kejelasan standar dan ukuran etika bagi pelayanan publik. Penyelenggara negara dan pelayan publik perlu tahu secara jelas prinsip dan ukuran dasar tentang pekerjaan mereka, lengkap dengan batas jelas mengenai mana yang boleh dan tidak boleh.

Kedua, adanya kerangka hukum tentang standar etika sebagai dasar standar dan kewajiban pelayan publik. Harus ada kerangka hukum dan regulasi yang merupakan bimbingan untuk pendisiplinan dan penegakan hukum bagi setiap pelanggaran.

Ketiga, adanya bimbingan etika bagi setiap pelayan publik untuk dipegang,  disosialisasikan, dan dipromosikan setiap pihak sepanjang waktu.

Keempat, adanya kejelasan hak dan kewajiban pelayan publik ketika melakukan pelanggaran, mencakup ketentuan dan prosedur yang harus diikuti pemeriksa dan pelayan publik yang terduga melanggar etika.

Kelima, adanya komitmen politik menegakkan etika pelayan publik. Para pemimpin politik dan petinggi birokrasi bertanggung jawab mempertahankan penegakan etika dan menindak setiap mereka yang melanggar etika yang telah ditetapkan.

Keenam, adanya transparansi pengambilan keputusan agar kekuasaan dan kewenangan pemegang posisi puncak terjaga dalam penegakan etika dan penindakan pelanggaran.

Ketujuh, adanya panduan jelas tentang interaksi yang dibenarkan di antara sektor publik dan swasta sehingga tak terjadi konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi.

Kedelapan, adanya contoh dan praktik konsisten penegakan etika oleh setiap atasan. Jika atasan melakukan pelanggaran etika, ia memberikan contoh tidak baik sekaligus mengisyaratkan ‘kebolehan’ pelanggaran etika oleh anak buahnya.

Dalam penanaman etika pribadi, etika publik, dan etika politik perlu disinggung ihwal integritas. Dalam perspektif agama, integritas adalah keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal.

Iman adalah dasar yang menjadi kekuatan penggerak (driving force) dalam berpikir dan bertindak. Namun, iman saja tidak cukup; harus disertai ‘ilmu’ menyangkut berbagai aspek ajaran agama dan kehidupan sehari-hari.

Iman dan ilmu menjadi hampa jika tak disertai amal (saleh, good deeds); iman tanpa amal ibarat pohon tanpa buah. Bahkan, orang beriman tanpa amal saleh, termasuk golongan orang merugi.

Kehidupan dan keimanan hanya bisa bermakna kalau mereka yang beriman selalu mengerjakan amal saleh. Amal saleh tidak hanya menyangkut ibadah pokok, tetapi segenap perbuatan dan tindakan yang  baik bagi diri sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa, dan negara.

Karena itu, integritas iman, ilmu, dan amal merupakan salah satu sumber utama dan etos pembentukan tata kelola pemerintahan baik (good governance) dan corporate culture—dengan menerapkan etika pribadi, etika publik, dan etika politik.

Keterpaduan di antara ketiganya dapat mendorong para pelaku beriman melaksanakan tugas secara maksimal dan terbaik. Iman mendorong orang beriman memandang setiap pekerjaannya sebagai ibadah; bukan sekadar perbuatan ‘keduniaan’.

Sebagai ibadah, setiap perbuatan baik dan pekerjaan harus dilaksanakan sesuai ‘rukun’ dan ‘syarat’, sehingga dapat memperoleh ‘ganjaran’ (rewards), baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Agar pelaksanaan tugas sebagai ibadah maksimal, perlu pengetahuan dan keterampilan memadai. Setiap pejabat, pegawai, dan pekerja mesti meningkatkan ilmu, keahlian, dan keterampilan.

Penguatan etika birokrasi untuk membangun good governance dan corporate culture, konsekuensi logis belaka dari iman, ilmu, dan amal. Setiap orang beriman dituntut senantiasa ‘memperbaharui’ keimanan, yang dapat mengalami ‘pasang dan surut’.

Dengan iman terbarukan—sehingga menjadi dinamis—orang bersangkutan juga selalu ingin melakukan tajdid (renewal, pembaruan) dan islah (reform, reformasi).

Pembaruan dan reformasi—yang bertitik tolak dari iman dan ilmu yang kuat—niscaya dapat mengantarkan diri, masyarakat, bangsa, dan negara ke dalam kehidupan lebih baik, termasuk penciptaan good governance dan corporate culture.

Dalam konteks good governance, integritas iman, ilmu, dan amal dapat mewujudkan pribadi—termasuk pegawai yang memiliki integritas pribadi.

Pejabat publik dan pegawai yang memiliki integritas menggunakan kekuasaan dan wewenang hanya untuk tujuan sah menurut hukum.

Integritas adalah antitesis dari korupsi, yaitu penggunaan kekuasaan untuk tujuan tidak sah oleh individu atau kelompok yang memegang kekuasaan, otoritas, dan wewenang.

Penciptaan dan penguatan integritas pribadi pejabat publik dan pegawai adalah faktor terpenting pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi guna terbentuknya good governance. (zm)

  Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom resonansi Koran Republika, 30 Juni 2022.