Revitalisasi Etika Publik (3)

Revitalisasi Etika Publik (3)

Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk revitalisasi etika pribadi, etika publik, dan etika politik penting mempertimbangkan penjelasan Markkula Center for Applied Ethics di Universitas Santa Clara, AS.

Pusat Etika Terapan ini menjelaskan etika secara lebih rinci sebagai ukuran dan standar tentang hal ihwal yang benar dan baik dengan hal yang salah dan tidak baik.

“Pertama-tama, etika mengacu pada standar-standar baku tentang hal- hal yang benar dan hal-hal yang salah, yang menegaskan tentang apa yang harus dilakukan manusia—biasanya terkait hak, kewajiban, kemanfaatan, dan kemaslahatan bagi masyarakat, dan kebajikan (virtues) bagi semua”.

Etika pada saat yang sama juga menyangkut standar-standar tentang perbuatan yang mesti dijauhi, seperti korupsi, mencuri, menipu, memfitnah, dan perbuatan buruk lainnya. Asosiasi Penyelenggara Pemerintahan Kota Internasional juga bersepakat tentang etika.

Asosiasi ini merumuskan etika dengan menjelaskan sejumlah bentuk perbuatan baik atau kebajikan yang mesti dijalankan dan perbuatan buruk yang mesti ditinggalkan seperti: baik dan buruk; benar dan salah; kebajikan dan kemungkaran; manfaat dan mudarat; kehati-hatian dan kelalaian; karakter teguh dan keurakan berantakan.

Dalam konteks Indonesia, etika terkandung tidak hanya dalam ajaran berbagai agama atau spiritualitas dan ketentuan hukum, tetapi juga dalam social decorum berupa adat istiadat dan nilai luhur sosial budaya.

Nilai etika dalam semua entitas ini terbentuk secara sosial budaya selama berabad-abad—menciptakan dan mengukuhkan kohesi dan stabilitas sosial. Namun, kini semua entitas yang menjadi sumber etika itu menghadapi banyak tantangan.

Perubahan politik, ekonomi, sosial-budaya, iptek, dan agama yang begitu cepat akibat revolusi 4.0 yang menyambung cepat dengan revolusi 5.0 mengakibatkan disrupsi yang membuat tergerusnya banyak nilai etika.

Sebab itulah, perlu pemberdayaan dan revitalisasi nilai agama, sosial-budaya, adat istiadat, dan tradisi yang kondusif dan suportif bagi penguatan etika politik dan integritas para penyelenggara negara.

Sekali lagi, dalam masyarakat kita sebenarnya terdapat banyak nilai budaya—yang sering tumpang tindih dan berpadu dengan nilai dan ajaran agama—seperti etos kerja tinggi untuk menjalankan tugas sebaik mungkin; disiplin dalam melaksanakan pekerjaan dan tugas; jujur dalam menjalankan tugas; amanah ketika memegang setiap tanggung jawab; bertanggung jawab (akuntabel) dalam tugas; adil ketika menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah; malu melakukan kesalahan; dan patuh pada tatanan hukum, ketentuan dan ketertiban.

Nilai sosial-budaya dan agama yang kondusif dan suportif bagi penciptaan dan penguatan etika politik dan integritas para pejabat publik belum betul-betul ‘membudaya’ dalam kehidupan dan perilaku pribadi dan publik sehari-hari.

Faktor penyebabnya banyak, mulai dari ‘keterbelahan pribadi’ (split personality) pejabat publik bersangkutan yang memisahkan nilai sosial-budaya dan agama luhur dengan praksis kehidupan sehari-hari.

Faktor kedua, adanya peningkatan dorongan gaya hidup materialistik dan hedonistik yang membuat banyak pejabat publik tergoda melakukan pelanggaran integritas. Faktor ketiga, lemahnya penghormatan dan kepatuhan pada tatanan hukum.

Faktor keempat, lemahnya penegakan hukum dari para penegak hukum; dan kelima, adanya permisivisme luas di kalangan masyarakat terhadap pelanggaran norma etika dan nilai sosial-budaya dan agama yang dilakukan kalangan pejabat publik.

Aktualisasi etika, nilai budaya, dan agama yang suportif bagi etika politik dan integritas pejabat publik memerlukan dukungan luas. Revitalisasi nilai etika dari berbagai entitas tidak bisa berdiri sendiri.

Ajaran agama dengan ajaran etika dan juga nilai sosial-budaya dan tradisi sering lebih menjadi sekadar imbauan moral daripada kewajiban yang mesti dilaksanakan mereka yang beriman dan beradat lengkap dengan sanksi hukumnya.

Karena itu, aktualisasi nilai etika pribadi, etika publik dan etika politik memerlukan revitalisasi, sosialisasi, pembudayaan atau pembumian terus menerus.

Selain itu meniscayakan dukungan penegakan hukum konsisten, yang memiliki kekuatan memaksa sehingga nilai etika teraktualisasi dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara bangsa. Pengembangan etika politisi dan pejabat publik dapat dilakukan melalui pendidikan sejak pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi.

Banyak nilai etika diajarkan melalui berbagai mata pelajaran/mata kuliah, tapi tidak fungsional. Persoalannya, nilai etika diajarkan lebih hanya untuk kepentingan kognitif daripada afektif dan psiko-motorik; hanya untuk diketahui dan diingat untuk kepentingan ujian daripada untuk diamalkan.

Akibatnya, nilai-nilai etika menjadi sekadar pengetahuan yang bakal diujikan daripada dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itulah perlu pendekatan dan metode pembelajaran baru yang lebih memungkinkan terjadinya internalisasi dan aktualisasi nilai etika oleh peserta didik sepanjang kehidupan mereka.

Sumber: Resonansi Republika, 23 Juni 2022. (sam/mf)