Revitalisasi Etika Publik (2)

Revitalisasi Etika Publik (2)

Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam upaya revitalisasi etika publik, konflik dan dilema bisa terjadi di antara etika pribadi dengan etika publik dan etika politik. Ini tak lain karena substansi, karakter, dan sifat bidang-bidang etika ini bukan tidak ada yang kontradiktif, khususnya dengan etika politik.

Pada satu pihak, etika pribadi merupakan nilai dan prinsip etis dan moral luhur. Sedangkan politik di pihak lain—meski juga mengandung prinsip dan nilai luhur—sering terseret dan terjerumus ke dalam kepentingan politik partisan, pragmatis, dan oportunistik dengan mengabaikan kepentingan warga dan publik secara keseluruhan.

Sekali lagi, etika umumnya dipahami sebagai ‘teori atau ilmu tentang praktik moral’. Etika juga dipandang sebagai karakter atau etos individu/kelompok berdasarkan nilai dan norma luhur.

Dengan pengertian ini, etika tumpang tindih dengan moralitas dan/atau akhlak dan/atau social decorum (kepantasan sosial), yaitu seperangkat nilai dan norma yang mengatur perilaku baik dan luhur manusia yang bisa diterima masyarakat, bangsa, dan negara.

Pada pihak lain, ‘politik’ secara sederhana adalah istilah yang umumnya diterapkan pada ‘cara atau bahkan ‘seni’ pengelolaan kekuasaan pemerintah atau kenegaraan. Politik juga mencakup budaya politik dan perilaku pejabat publik dalam pemerintah.

Dalam konteks ini, pengelolaan pemerintahan atau negara secara bertanggung jawab, kredibel, dan akuntabel untuk kepentingan dan kemaslahatan publik dan warga memerlukan tak hanya UU, tapi juga etika politik, yang mengalir dari etika pribadi yang bersumber dari agama, tradisi, dan adat (social decorum), yang mencakup kearifan lokal dan juga regulasi negara yang berlaku.

Etika politik sering juga disebut ‘etika publik’, yang mengandung nilai luhur ‘moralitas politik’.

Karena terkait ranah publik, etika politik menyangkut praktik penilaian etis dan moral terhadap keputusan dan aksi politik beserta aktor dan agen politik di ruang publik dan mengandung konsekuensi serta implikasi tertentu terhadap kehidupan publik.

Etika politik biasanya dibagi menjadi dua bagian, yang masing-masingnya distingtif, tapi tetap terkait satu sama lain. Kedua bidang etika politik bersumber dari filsafat etika/moral, filsafat politik, ilmu politik, dan teori demokrasi.

Pertama, etika proses politik, menyangkut proses politik yang berlangsung, apakah sesuai atau tidak dengan nilai etis dan moral yang berlaku dalam kehidupan publik.

Etika proses politik juga terkait ketentuan hukum yang mesti dipatuhi setiap dan seluruh pejabat publik untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan.

Kedua, etika politik, terkait kebijakan yang semestinya sesuai tujuan politik demokrasi dan kemaslahatan berbangsa--bernegara—untuk kepentingan publik sebesar-besarnya. Etika kebijakan publik mesti berpijak pada prinsip keadilan dan kesetaraan bagi setiap dan seluruh warga.

Tidak ragu lagi, etika politik sangat penting dalam kehidupan politik dan publik. Tanpa etika politik, yang terjadi bukan hanya kekacauan dalam pengelolaan lembaga-lembaga negara, melainkan juga dapat menjerumuskan negara menjadi negara gagal (failed state).

Etika politik mesti diperkuat terus-menerus walaupun usaha ini tidak mudah sama sekali karena banyak tantangan dan kendala di lingkungan birokrasi pemerintahan dan warga; sebagian kalangan pada kedua pihak ini sering tidak peduli etika.

Penerapan atau pembumian etika publik oleh pejabat mutlak adanya agar mereka teguh dalam penyelenggaraan politik dan negara. Jika memiliki integritas—kesatuan dalam menerapkan etika pribadi dan publik—mereka dapat teguh menerapkan atau membumikan etika politik.

Dengan integritas mereka juga lebih tegar menghadapi godaan KKN dalam berbagai bentuk, serta pelanggaran hukum dan moral lainnya.

Pembumian etika publik dan etika politik di kalangan politisi dan pejabat publik juga dapat dilakukan dengan memberdayakan aparat negara, pihak swasta, organisasi massa, dan LSM.

Mereka secara simultan mesti terus memperkuat kerja sama dan jaringan, agar terus memiliki kesadaran kuat tentang pentingnya penguatan etika dalam penyelenggaraan negara.

Pada saat yang sama, perlu memperkuat kesadaran tentang bahaya pelanggaran etika pribadi, etika publik, dan etika politik. Pejabat publik semestinya dapat menyadari bahaya pelanggaran etika pribadi, etika publik, dan etika politik terhadap kehidupan pribadi, keluarga, negara, dan bangsa.

Kesadaran tentang pentingnya penerapan etika publik dan etika politik dan bahaya pelanggaran terhadap etika pribadi, etika publik, dan etika politik dapat mendorong peningkatan upaya pemberantasan korupsi.

Maka itu, perlu dilakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan dalam pembumian etika politik sehingga dapat dibangun kapasitas integritas etis dan moral memadai dalam diri setiap pejabat publik dalam menghadapi korupsi.

Penguatan etika politik penyelenggara negara atau pejabat publik memerlukan pula penguatan etika itu sendiri. Penguatan ini terkait etika pribadi, khususnya dalam kaitan dengan etika publik dan etika politik.

Sumber: Resonansi Republika, 16 Juni 2022. (sam/mf)