Resonansi Peran Pemuda
Prof. Dr. Imam Subchi, M.A.
Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum
Momen Hari Sumpah Pemuda senantiasa menjadi ikhtiar untuk mengingat peran kaum muda. Gejolak emosi, rasa ingin tahu dan sikap sedikit naif menjadi penanda, bahwa sesungguhnya manusia selalu berposes.
Tentu saja, ini mengarah pada proses menuju kesempurnaan (insan kamil). Untuk menjadi pribadi yang berguna, keingintahuan perlu didasari oleh pembiasaan tanggung jawab dan tenggang rasa sosial.
Kaum muda senantiasa menjadi pilar bangsa. Keberadaannya senantiasa ditunggu, karena dari lingkungannya akan lahir para pemimpin yang digadang akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih cerah.
Heterogenitas hobi atau ketertarikan akan sesuatu selalu menjadi ciri khas dari angkatan muda. Rasa ingin tahu ini hendaknya dipelihara dan diasah, agar terus tumbuh berkecambah menjadi belukar makna yang akan membumbung tinggi menjadi semesta harapan.
Memasuki era disrupsi informasi, menjadi sesuatu yang bijaksana untuk memaknai momen Sumpah Pemuda sebagai laku batin dan pikir untuk membicarakan kembali masa emas kepemudaan. Ini bukan hanya bicara tentang bagaimana tantangan ke depan, namun juga persiapan untuk menanggulanginya.
Problem kekinian
Era mondial membawa paradoks bagi pemuda: di satu sisi, peluang tak terbatas terbuka lebar, namun di sisi lain, tantangan dalam berkreasi justru semakin kompleks.
Tekanan untuk menciptakan sesuatu yang orisinal harus bersaing dengan banjir informasi dan konten global yang serba instan.
Algoritma media sosial cenderung menduplikasi kesuksesan tren yang sudah ada, meminggirkan eksperimen dan inovasi yang tidak langsung populer.
Pemuda terjebak antara mempertahankan identitas kultural lokal dan mengadopsi gaya global yang lebih mudah diterima pasar. Tantangan terbesar bukan lagi pada kurangnya ide, tetapi pada kemampuan untuk mempertahankan keberlanjutan dan kedalaman kreativitas di tengah distraksi dan tekanan algoritmik.
Di bidang ketenagakerjaan, pemuda menghadapi kesenjangan besar antara kompetensi yang dimiliki dan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah.
Revolusi Industri 4.0 dan otomatisasi menggerus lapangan pekerjaan tradisional, sementara di saat yang sama, muncul permintaan tinggi untuk keterampilan digital dan analitis yang sering tidak terpenuhi oleh sistem pendidikan konvensional.
Gelar akademis tidak lagi menjadi jaminan, karena dunia kerja lebih menghargai kemampuan adaptasi, pemecahan masalah, dan literasi data. Persaingan juga semakin global; pemuda tidak hanya bersaing dengan sesama warga negara, tetapi juga dengan talenta dari seluruh dunia yang dapat diakses secara virtual, menekan upah dan meningkatkan persyaratan kompetensi.
Problem digital menjadi tantangan multidimensi yang mencakup tidak hanya kesenjangan akses, tetapi juga dampak psikologis dan etis. Misinformasi, echo chamber, dan polarisasi di ruang digital dapat mempengaruhi persepsi dan kesehatan mental pemuda.
Di sisi lain, keamanan data dan privasi sering dikorbankan untuk kenyamanan, sementara literasi digital yang memadai untuk memahami implikasi ini masih terbatas.
Ketergantungan pada platform teknologi juga menciptakan kerentanan, di mana pemuda menjadi produk (data) sekaligus pengguna, sering tanpa menyadari nilai ekonomi yang mereka hasilkan. Tantangannya adalah menjadi subjek yang kritis dan terlindungi dalam ekosistem digital, bukan hanya objek pasif.
Keterhubungan dengan masyarakat global melalui internet menawarkan peluang kolaborasi tanpa batas, tetapi juga berpotensi mengikis identitas kultural lokal.
Pemuda dihadapkan pada tekanan untuk menguasai bahasa dan norma global (biasanya Barat) untuk dapat berpartisipasi, yang dapat menyebabkan marginalisasi nilai-nilai lokal. Namun, di sisi lain, platform global juga menjadi panggung untuk mempromosikan kekayaan budaya kepada audiens mancanegara.
Tantangan sebenarnya adalah menemukan keseimbangan: menjadi warga dunia tanpa kehilangan akar, serta memanfaatkan jaringan global untuk membangun solidaritas dan mengatasi masalah bersama seperti perubahan iklim atau ketidakadilan, alih-alih terjebak dalam kompetisi budaya yang timpang.
Dalam konteks pemerintahan, pemuda global menghadapi krisis legitimasi dan relevansi institusi politik tradisional.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah menguat, yang dipicu oleh persepsi luas tentang korupsi, birokrasi yang lamban, dan kegagalan dalam menyelesaikan masalah mendesak seperti ketimpangan ekonomi dan perubahan iklim.
Ruang politik formal sering terasa tertutup dan tidak aspiratif, didominasi oleh elite lama yang tidak memahami dinamika generasi digital. Namun, di saat yang bersamaan, pemuda justru memelopori bentuk partisipasi baru melalui aktivisme digital, petisi daring, dan gerakan sosial akar rumput untuk menuntut akuntabilitas dan kebijakan yang progresif.
Tantangan terbesar mereka adalah menerjemahkan energi perubahan ini menjadi kekuatan politik yang nyata—entah dengan merebut ruang dalam sistem yang ada atau menciptakan model governance alternatif yang lebih transparan, inklusif, dan responsif terhadap suara generasi muda.
Sementara itu, dalam ranah agama, pemuda mengalami ketegangan antara warisan tradisi dan nilai-nilai global modern. Eksposur terhadap beragam pemikiran, filosofi, dan gaya hidup melalui internet telah mendorong banyak pemuda untuk mempertanyakan dan menafsirkan ulang keyakinan mereka di luar penafsiran hierarkis yang kaku.
Mereka sering mencari spiritualitas yang otentik, personal, dan berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan universal, ketimbang sekadar menjalankan ritual warisan. Hal ini menimbulkan jarak dengan institusi agama formal yang dianggap terlalu legalistik, tidak inklusif, atau tidak relevan dengan masalah kontemporer seperti keadilan sosial dan identitas.
Tantangan utama yang mereka hadapi adalah merangkul kebebasan bereksplorasi secara intelektual dan spiritual tanpa sepenuhnya tercerabut dari komunitas dan akar kulturalnya, sekaligus mendorong transformasi institusi keagamaan agar lebih dialogis dan mampu menjawab kegelisahan eksistensial generasi muda di dunia yang semakin kompleks.
Yuval Noah Harari, seorang penulis sejarah, melihat masa depan agama-agama tradisional menghadapi dua pilihan yang drastis: bertransformasi atau menjadi punah. Dalam 21 Lessons for the 21st Century, ia menegaskan bahwa kelangsungan hidup agama bergantung pada kemampuannya untuk melakukan "revolusi doktrin"—sebuah dekonstruksi dan rekonstruksi keyakinan secara radikal—guna menjawab tantangan eksistensial dari bioteknologi dan kecerdasan buatan yang akan mengubah esensi manusia.
Tanpa terobosan ini, agama akan direduksi menjadi sekadar relikui nostalgia, sebuah kekuatan yang hanya mengurusi ritual privat yang semakin terpinggirkan. Sementara itu, panggung utama peradaban dan masa depan spesies manusia akan sepenuhnya dikuasai oleh visi tekno-humanis yang sekuler, meninggalkan agama dalam bayang-bayang sejarah.
Di samping membicarakan masalah makro, agaknya, pandangan kita juga harus melihat sisi mikro, yakni jati diri pemuda itu sendiri. Pemuda era kekinian hidup dalam banjir stimulasi dan pilihan yang tak tertahankan. Media sosial, tekanan akademis, dan ekspektasi karir menciptakan lingkungan di mana mereka secara konstan dibombardir dengan pesan tentang apa yang harus dianggap penting: kesuksesan viral, gaya hidup mewah, dan citra diri yang sempurna. Menurut Mark Manson dalam Seni Bersikap Bodo Amat (judul asli: The Subtle Art of Not Giving a Fck*), akar masalah dari kecemasan dan kebingungan generasi ini bukanlah karena mereka tidak peduli pada hal-hal yang benar, tetapi karena mereka terlalu banyak peduli pada hal-hal yang salah.
Buku ini berfungsi sebagai koreksi brutal terhadap kebiasaan untuk mengukur harga diri berdasarkan "likes", komentar, dan perbandingan sosial yang tiada henti.
Manson menawarkan sebuah paradoks: kunci untuk hidup yang lebih memuaskan justru terletak pada kemampuan untuk memilih dengan sadar pada hal apa kita harus peduli, dan pada hal apa kita harus "bersikap bodo amat".
Salah satu kebiasaan pemuda yang paling menonjol adalah "pengejaran positivity" yang toksik. Mereka merasa tertekan untuk selalu bahagia, percaya diri, dan optimis, sebuah konsep yang oleh Manson disebut sebagai "The Feedback Loop from Hell". Ketika mereka gagal merasakan emosi positif tersebut, mereka menganggap diri mereka gagal. Buku ini membongkar mitos budaya modern tentang kebahagiaan yang konstan dan justru menegaskan bahwa perjuangan, kegagalan, dan emosi negatif seperti sedih atau cemas adalah bagian yang tak terelakkan dan justru bermakna dari kehidupan manusia.
Dengan memeluk kenyataan pahit dan batasan diri, pemuda justru dapat menemukan kebebasan yang sejati—bebas dari beban untuk menjadi luar biasa dalam segala hal.
Kebiasaan lain yang dianalisis oleh Manson adalah kecenderungan untuk menyalahkan faktor eksternal atas ketidakbahagiaan diri sendiri. Pemuda sering kali terjebak dalam mentalitas korban, menyalahkan algoritma, sistem, orang tua, atau keadaan atas masalah mereka.
Seni Bersikap Bodo Amat menekankan prinsip tanggung jawab yang radikal: meskipun kita tidak selalu bertanggung jawab atas setiap masalah yang menimpa kita, kita selalu bertanggung jawab atas cara kita menanggapinya. Prinsip ini sangat relevan bagi pemuda yang menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian. Dengan beralih dari pola pikir "ini salah siapa?" menjadi "apa yang bisa saya lakukan?", mereka beralih dari pasif menjadi aktif, menjadi arsitek bagi kehidupan mereka sendiri.
Dalam konteks nilai dan tujuan hidup, pemuda kini sering mengalami krisis makna. Mereka didorong untuk mencari "passion" yang ajaib sebagai jawaban atas segala kebingungan. Manson menentang narasi ini dengan tegas. Menurutnya, passion bukanlah sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang dibangun melalui komitmen dan pengorbanan. Kebiasaan untuk terus-menerus "menjelajahi pilihan" tanpa pernah berkomitmen justru adalah resep untuk ketidakpuasan yang abadi. Sebaliknya, kebahagiaan sejati datang bukan dari menghindari masalah, tetapi dari memilih masalah yang sesuai dengan nilai-nilai kita dan berjuang untuk menyelesaikannya.
Berbenah
Dalam menghadapi kompleksitas tantangan global yang mengintervensi segala lini kehidupan, kaum muda Indonesia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton atau sekadar pengkritik.
Gelombang disrupsi digital, krisis iklim, dan polarisasi sosial menuntut kehadiran generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga terampil secara kolaboratif dan berintegritas secara moral.
Untuk bertransformasi dari potensi menjadi kekuatan nyata yang mampu menjawab tantangan zaman, diperlukan pendekatan holistik yang membekali pemuda dengan senjata yang tepat. Pendekatan ini dapat diwujudkan melalui tiga sikap yang kayak dikembangbiakkan di bawah ini.
Langkah pertama yang fundamental adalah menyiapkan diri dalam lingkungan belajar yang konstruktif. Di era disrupsi ini, basis keilmuan tidak lagi sekadar tentang memperoleh gelar, melainkan tentang membangun kerangka berpikir kritis dan analitis yang mampu memugar postur imajinasi serta memelihara gagasan pembangunan berkelanjutan.
Kaum muda perlu membiasakan diri dengan ekosistem belajar sepanjang hayat yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, sekaligus tetap berakar pada kearifan lokal.
Dengan fondasi keilmuan yang kokoh dan relevan, generasi muda tidak hanya menjadi penerima informasi pasif, melainkan kurator dan pencipta pengetahuan yang dapat menjawab tantangan zaman dengan solusi inovatif.
Kedua, kolaborasi lintas sektor dan agama harus menjadi nafas pergerakan kaum muda. Kecerdasan intelektual individual saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah ekosistemik yang kompleks. Kaum muda perlu membangun aliansi strategis yang melampaui batas-batas disiplin ilmu, sektor ekonomi, dan keyakinan untuk membiakkan kebajikan sosial secara organik. Kolaborasi semacam ini menciptakan ekosistem sinergis di mana berbagai perspektif saling melengkapi, menghasilkan solusi yang lebih holistik dan inklusif. Dalam kolaborasi yang autentik, perbedaan tidak dilihat sebagai penghalang, melainkan sebagai kekuatan yang memperkaya wawasan dan pendekatan penyelesaian masalah.
Ketiga, seluruh upaya harus bermuara pada pengutamaan maslahat bersama yang berkelanjutan.
Hasil kolaborasi harus terukur dampaknya dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, bukan sekadar mengecap proyek-proyek besar yang bersifat sesaat dan minim sustainabilitas.
Gelora muda perlu diarahkan untuk menciptakan "rantai hidup" yang saling menghidupi—setiap inisiatif harus memiliki efek multiplier yang memberdayakan komunitas lain dalam ekosistem nasional.
Dengan menjadikan maslahat bersama sebagai kompas pergerakan, kaum muda tidak hanya mengejar kesuksesan individu, melainkan membangun warisan nyata yang terus bertumbuh dan mengakar dalam masyarakat, menciptakan dampak yang transenden dan berjangka panjang.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom Opini InilahCom pada Selasa (28 Oktober, 2025)
