Resiliensi Demokrasi, Mungkinkah?

Resiliensi Demokrasi, Mungkinkah?

Dzuriyatun Toyibah

 

DRAMA-DRAMA menjelang Pemilu 2024 menguatkan kekhawatiran tentang rentannya (vulnerability) demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia dikejutkan oleh gagasan penundaan pemilu, juga gagasan tiga periode untuk pemerintahan Jokowi. Ketika gagasan-gagasan tersebut terbukti tidak berlanjut, maka ada optimisme terhadap resiliensi demokrasi Indonesia.

Perjuangan demokrasi secara umum diinisiasi oleh civil society. Indonesia berutang kepada tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, BJ Habibie, Azyumardi Azra, Syafii Maarif, dan tokoh-tokoh yang gigih memperjuangkan demokrasi. Karena perjuangan yang gigih untuk tegaknya demokrasi, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dengan penduduk mayoritas muslim. Perjuangan tersebut bisa mematahkan anggapan Islam tidak compatible dengan demokrasi.

Demokrasi bisa bertahan karena ada kebijaksanaan, hati nurani, dan akal sehat. Demokrasi harus terus disuarakan agar tidak diselewengkan oleh kepentingan kekuasaan, baik oleh pihak yang merebut maupun yang mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini, peran pemuda dan mahasiswa serta organisasi sukarela (kelompok masyarakat sipil) sangat penting.

 

Gerakan pemuda dan mahasiswa

Generasi muda selalu diharapkan menjadi kekuatan yang militan dalam mempertahankan demokrasi. Tidak bisa dimungkiri, selalu ada kehawatiran dan rumor-rumor yang membuat pemuda dan mahasiswa tidak sepenuhnya murni sesuai hati nurani. Ada tuduhan-tuduhan bahwa pemuda dan mahasiswa juga berpolitik praktis, ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.

Terlepas dari anggapan bahwa gerakan pemuda dan mahasiswa sebagai mitos, harapan terhadap pemuda dan mahasiswa sebagai pilar utama demokrasi merupakan hal yang sangat logis. Pertama, membangun sistem yang kuat dan kokoh adalah hal yang sangat berhubungan dengan kepentingan generasi muda.

Sistem yang kokoh akan menjamin kehidupan di masa mendatang yang berdasarkan nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan. Dengan sistem yang adil maka generasi muda akan menikmati kehidupan yang berperadaban dan bermartabat. Sistem tersebut menjamin kesamaan kesempatan, profesionalitas yang lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Kedua, sangatlah disayangkan ketika pemuda dan mahasiswa bersikap pragmatis, mengejar kenikmatan sesaat, bersikap hedonis, apatis, membenarkan segala cara yang penting bisa mendapatkan keuntungan. Tentu, sangat menyedihkan jika kelompok pemuda dan mahasiswa yang pragmatis menjadi penentu dan pengendali sejarah Indonesia selanjutnya.

Pendidikan di Tanah Air memang belum ideal sehingga Indonesia berharap-harap cemas menanti tampilnya generasi muda yang memiliki karakter kuat yang bisa menjaga demokrasi Indonesia. Dengan survei yang menunjukkan lebih dari 50% pemilih pemula bisa menoleransi politik dinasti, tentu menjadi reminder yang sangat menghawatirkan. Perlu ada upaya yang sistematis menyadarkan situasi ini, perlu ada sikap untuk tidak menyerah, mari bangkit menghadapi keadaan ini.

 

Organisasi sukarela

Organisasi sukarela memiliki peran yang strategis dalam demokrasi sebagaimana harapan terhadap pemuda dan mahasiswa agar menjadi penopang utama demokrasi. Di akhir masa Orde Baru, organisasi-organisasi sukarela sangat menjamur. Terdapat banyak lembaga kajian yang mengembangkan pemikiran tentang demokrasi, diskusi-diskusi yang sangat hangat tentang berbagai hal yang meramaikan public sphere. Dari situ muncul pemikiran-pemikiran kritis untuk mengonsolidasi demokrasi. Para cendekiawan, akademisi, aktivis, dan mahasiswa menjadi kekuatan yang sangat strategis.

Indonesia menjadi negara demokrasi yang relatif aman dan stabil karena ada tradisi kesukarelaan. Sebagian besar dari warga negara Indonesia terbiasa dengan berorganisasi. Perkumpulan-perkumpulan yang bersifat guyub rukun, termasuk juga membahas masalah-masalah kemasyarakatan, melatih kepemimpinan, diskusi, dan mengekspresikan kebebasan berbicara dan berpendapat.

Munculnya berbagai organisasi sukarela, di mana masyarakat tidak hanya berafiliasi dalam satu organisasi, tetapi bisa masuk dalam dua atau lebih keanggotaan organisasi, menjadikan munculnya katup pengaman (safety valve) yang mencegah terjadinya konflik yang terlalu dalam karena safety valve tersebut memfasilitasi resolusi konflik.

Seiring dengan Orde Reformasi, muncul kekuatan politik yang terlalu dominan dan memperlemah kekuatan civil society. Tokoh-tokoh, para intelektual yang menggawangi organisasi sukarela, berpindah menempati jabatan di pemerintahan dan lembaga politik lainnya. Meskipun demikian, harapan organisasi sukarela untuk tetap menjadi civil society organization juga tetap logis, mengingat peran sejarah yang pernah ada. Di tengah-tengah pragmatisme politik, Indonesia rindu akan kembalinya gerakan civil society.

 

Resiliensi demokrasi

Demokrasi tidak berada di ruang hampa. Sebaliknya, demokrasi ditentukan oleh sejauh mana komitmen semua pihak untuk berada dalam rel-rel demokrasi. Perlu kesadaran dari semua pihak untuk tetap mempertahankan demokrasi. Sayangnya, realitas politik telah menghasilkan elite terlalu dominan, tampilan-tampilan luar dan narasi-narasi dominan yang diciptakan oleh penguasa politik untuk menipu masyarakat. Pilihan-pilihan yang tersedia merupakan hasil dari rekayasa terhadap demokrasi sehingga menghasilkan pilihan yang tidak memenuhi standar yang bisa memuaskan jika digunakan kriteria demokrasi.

Indonesia harus berdamai dengan realitas, tidak ada pilihan kecuali menerima apa yang ada sebagai kenyataan dan mencegah hal yang lebih buruk lagi terjadi. Hal yang patut disyukuri ialah Indonesia berhasil melewati tantangan polarisasi dalam kehidupan sosial yang sangat tajam dampak dari Pemilu 2019.

Demikian juga dalam demokrasi, rakyat yang pada ahirnya memiliki kekuasaan untuk memilih. Sayangnya, pilihan-pilihan yang tersedia bukan pilihan yang tidak mengandung risiko yang menyulitkan.

Tantangan yang masih sangat kuat ke depan ialah politik uang (money politics) dan politik dinasti, serta narasi-narasi yang diciptakan untuk pembenaran terhadap situasi dengan mengabaikan substansi demokrasi.

Cobaan yang sangat sulit bagi kelompok civil society ialah ketakutan untuk berbicara karena kehawatiran terhadap kekuatan politik yang dominan yang bisa menghabisi semua potensi. Indonesia berada dalam situasi serbasalah sebagai hasil rekayasa yang sangat tidak terduga dan hasilnya sangat mengejutkan.

Salah dalam membuat statement, salah dalam memprediksi apa yang terjadi ke depan akan mempertaruhkan masa depan. Ujian yang sangat berat bagi Indonesia, dan semoga tetap kuat dan tetap bertahan. Tentu saja, kita harus mendorong dan sambil tetap berharap semoga generasi muda dan masyarakat sipil masih bisa melakukan sesuatu untuk Indonesia. (Fnh/ZM)

 

Penulis adalah Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Media Indonesia, Jumat 24 November 2023, dan bisa diakses di https://m.mediaindonesia.com/opini/632094/resiliensi-demokrasi-mungkinkah